Opini
Aceh di Mata Seorang Hamka
Siapa yang tak kenal Hamka. Seorang tokoh besar Islam di Indonesia. Namanya masyhur di rantau nusantara ini

Di sini Hamka kembali bertemu dan berdiskusi intens dengan tokoh-tokoh Aceh terkemuka. Hamka berjumpa dengan Teuku Nyak Arif, Teuku Cut Hasan Meuraxa, dan lain-lain. Beliau sempat pula mengunjungi Teuku Panglima Polem Muhammad Daud sang pahlawan Aceh yang gigih berperang melawan Belanda ketika muda dulu. Hamka bersahabat karib dengan anaknya Teuku Panglima Polem Muhammad Ali.
Kunjungan di tahun 1936 itu menjadi tonggak penting, karena sangat berkesan bagi masyarakat Aceh dan diri Hamka sendiri. Tahun-tahun berikutnya Hamka berulangkali diundang datang ke Aceh. Sahabat karibnya Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong kerap mengundang Hamka ke rumahnya jika Hamka ke Aceh. Di mata Hamka, tokoh Aceh ini sangat besar perhatiannya kepada Muhammadiyah. Dan beliau selalu mengamalkan ajaran agama dalam kesehariannya sesuai dengan fatwa Majelis Tarjih.
Perjumpaan pertama Hamka dengan tokoh besar Aceh lainnya Teungku Muhammad Daud Bereueh berlangsung di kediaman Teuku Hasan di Teupin Raya. Ketika itu tuan rumah menghelat sebuah musyawarah besar ulama-ulama Aceh.
Ketika Teungku Daud Bereueh dan para ulama Aceh mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tahun 1939, Hamka turut hadir. Beliau sebagai wakil Muhammadiyah bersama Teuku Hasan mendukung penuh Kongres PUSA, karena memiliki semangat pembaharuan Islam yang sama. Walau akhirnya kemudian terjadi pertentangan tajam secara politik antara tokoh di dalam kedua organisasi Islam tersebut. Hamka selalu bersikap netral, karena tetap menjadikan Muhammadiyah organisasi dakwah yang non-politik.
Pergaulannya yang rapat dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Aceh telah membuka mata batinnya tentang dinamika pergumulan amalan ajaran Islam di Aceh. Beliau menyaksikan sendiri bagaimana Islam menjadi amalan keseharian di kalangan masyarakat Aceh di segala strata sosial.
Semua kisah ini ditulis Hamka dalam majalah Panji Masyarakat edisi Februari 1981, hanya 5 bulan sebelum beliau wafat pada 24 Juli 1981. Tulisan bertajuk `Kenang-kenangan di Aceh' itu sangat penting bagi kita di Aceh. Isinya menjadi warisan tak ternilai bagi kita dalam merefleksi pandangan orang luar bagaimana Aceh di mata mereka pada rentang zaman tersebut.
Ini dapat membantu kita untuk lebih memahami identitas diri kita, dan dapat mengambil iktibar darinya untuk mengatur sikap yang semestinya.