Opini
Aceh di Mata Seorang Hamka
Siapa yang tak kenal Hamka. Seorang tokoh besar Islam di Indonesia. Namanya masyhur di rantau nusantara ini

Oleh Dandi Bachtiar, Pencinta Sejarah Aceh, Pernah bekerja sebagai Senior Lecturer di Universiti Malaysia Pahang
Siapa yang tak kenal Hamka. Seorang tokoh besar Islam di Indonesia. Namanya masyhur di rantau nusantara ini. Umat Islam di Malaysia, Singapura, Brunei sampai sekarang tetap mengingat beliau sebagai ulama besar. Buku-bukunya terus dicetak ulang dan dibaca orang di sana.
Hamka kita kenal dengan banyak predikat. Ulama, dai, pujangga, sastrawan, pejuang, dan banyak lagi. Beliau penulis yang sangat produktif. Buku-bukunya mulai dari bertema roman, religius, pedoman hidup, hingga tafsir Alquran. Beliau pujangga Islam dengan buku-bukunya yang melegenda, mulai "Di Bawah Lindungan Kabah", "Merantau Ke Deli", "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk", "Tuan Direktur" sampai "Di Dalam Lembah Kehidupan".
Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir di tanah Minang pada 14 Februari 1908 tepatnya di desa Kampung Molek, Sumatera Barat. Beliau lahir sebagai putra seorang ulama Islam berpengaruh, Tuanku Syeikh Abdul Karim bin Amrullah. Tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Abdul Malik kecil memang sudah diharapkan sang ayah untuk kelak menjadi ulama juga menggantikan posisi ayahnya.
Sejak kecil Hamka sudah mengenal nama Aceh. Aceh di benak Hamka adalah sebuah tempat yang familiar, karena banyak orang di kampungnya yang pergi merantau ke Aceh. Biasanya ketika pulang dari rantau, mereka suka bercerita tentang Aceh. Tahun 1916 ayah beliau Dr Syeikh Abdul Karim Amrullah pergi ke Aceh, dan berfoto di depan Mesjid Raya Baiturrahman bersama orang-orang kampungnya yang tinggal di Aceh.
Sang ayah bercerita, bahwa mesjid megah itu buatan Belanda karena mesjid yang aslinya sudah dibakar. Lama sekali rakyat tidak mau sembahyang di situ, karena dianggap harta syubhat. Kisah mesjid raya dan peperangan Aceh dengan Belanda yang dahsyat itu sangat berbekas di benak Hamka kecil, yang baru berusia 8 tahun itu.
Akhirnya Hamka berkesempatan mengunjungi Aceh pertama sekali di tahun 1929 dalam usianya 21 tahun. Hamka baru beberapa bulan menikah. Hamka muda yang sudah mulai tumbuh matang datang ke Aceh sebagai kader Muhammadiyah. Ketika itu Muhammadiyah mengadakan konferensi pertamanya di Sigli. Hamka bertemu dengan pemuka masyarakat di Aceh yang bersimpati kepada Muhammadiyah, antara lain Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong.
Teuku Hasan adalah tokoh yang paling berkesan di mata Hamka. Jabatannya adalah ambtenaar ter beschlking atau pegawai tinggi yang diperbantukan di kantor Gubernur Aceh. Teuku Hasan tertarik untuk memajukan Muhammadiyah di Aceh karena jiwanya telah tersentuh semangat pembaharuan Islam ketika belajar dulu di Bukit Tinggi. Pada konferensi di Sigli itu Muhammadiyah mencalonkan Teuku Hasan sebagai konsul pertama Muhammadiyah untuk daerah Aceh. Sejak itu mereka bersahabat karib.
Kunjungan Hamka ke Aceh pada tahun 1929 itu mendampingi sang ayah. Mereka berkeliling ke kota-kota di Aceh melakukan dakwah. Hamka muda digembleng langsung ayahnya menjadi mubaligh handal. Kota-kota yang mereka singgahi, antara lain Bireuen, Lhokseumawe, Panton Labu, Kuala Simpang, dan Langsa. Masyarakat Aceh sangat antusias mengikuti dakwah mereka. Bahkan ketika di Bireuen, datang masyarakat dari Takengon meminta mereka berceramah di sana.
Di Lhokseumawe Hamka dan ayahnya berdakwah di gedung bioskop. Tabligh akbar tidak hanya dihadiri masyarakat umum, namun juga beberapa zelfbestuur (uleebalang) setempat. Ceramah ayah Hamka sangat menyentuh, sehingga ada uleebalang yang sampai menangis tersedu-sedu. Syeikh Abdul Karim Amrullah berpidato, menjadi raja atau uleebalang adalah memikul tanggung-jawab. Yang paling utama adalah tanggung-jawab kepada Allah.
Di Lhokseumawe ini juga Hamka berkenalan dengan Teungku Abdul Jalil, yang di kemudian hari membuat sejarah ketika beliau memberontak melawan pendudukan Jepang. Teungku Abdul Jalil sempat mengajukan pertanyaan khusus kepada Hamka, sepertinya untuk menguji. Dan Hamka berhasil menjawabnya dengan lancar.
Pada tahun 1942, Teungku Abdul Jalil ulama pertama yang menentang Jepang secara terbuka. Dalam ceramah-ceramahnya Teungku Abdul Jalil mengatakan Jepang itu kafir, setan laknatullah. Kita wajib melawannya. Beliau syahid di Bayu di dayah miliknya sebagai syuhada pembela bangsa dan agama.
Dalam perjalanan dari Lhokseumawe ke Pangkalan Berandan, Hamka dan sang ayah secara kebetulan bertemu dengan Teuku Chik Muhammad Thayeb uleebalang Peureulak. Bus yang mereka tumpangi kecelakaan, dan kebetulan sekali Teuku Chik Thayeb melintas di jalan yang sama. Beliau pun mengulurkan bantuannya, membantu menghantar Hamka dan ayah ke tempat tujuan yaitu Pangkalan Berandan.
Teuku Chik Thayeb adalah uleebalang berwibawa yang teguh harga dirinya. Beliau pernah menampar kontelir Belanda karena sebuah perselisihan, yang akhirnya menyebabkan beliau dibuang ke Batavia. Hamka bersahabat karib dengan anak-anak beliau, yaitu Teuku Syarif Thayeb (kemudian hari menjadi Menteri Pendidiikan dan Kebudayaan) dan Teuku Hadi Thayeb yang pernah pula jadi Gubernur Aceh tahun 1980-an.
Lawatan kedua Hamka ke Aceh berlangsung pada tahun 1936. Hamka sudah jadi mubaligh yang handal pada usianya 28 tahun. Hamka menetap di Medan memimpin majalah Islam mingguan Pedoman Masyarakat. Tulisan-tulisan Hamka di majalah menggugah banyak orang, termasuk sampai ke Aceh. Pada Idul Adha tahun 1936 itu Hamka diundang jadi imam dan khatib shalat Id di Lapangan Blang Padang, Kutaraja.
Di sini Hamka kembali bertemu dan berdiskusi intens dengan tokoh-tokoh Aceh terkemuka. Hamka berjumpa dengan Teuku Nyak Arif, Teuku Cut Hasan Meuraxa, dan lain-lain. Beliau sempat pula mengunjungi Teuku Panglima Polem Muhammad Daud sang pahlawan Aceh yang gigih berperang melawan Belanda ketika muda dulu. Hamka bersahabat karib dengan anaknya Teuku Panglima Polem Muhammad Ali.
Kunjungan di tahun 1936 itu menjadi tonggak penting, karena sangat berkesan bagi masyarakat Aceh dan diri Hamka sendiri. Tahun-tahun berikutnya Hamka berulangkali diundang datang ke Aceh. Sahabat karibnya Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong kerap mengundang Hamka ke rumahnya jika Hamka ke Aceh. Di mata Hamka, tokoh Aceh ini sangat besar perhatiannya kepada Muhammadiyah. Dan beliau selalu mengamalkan ajaran agama dalam kesehariannya sesuai dengan fatwa Majelis Tarjih.
Perjumpaan pertama Hamka dengan tokoh besar Aceh lainnya Teungku Muhammad Daud Bereueh berlangsung di kediaman Teuku Hasan di Teupin Raya. Ketika itu tuan rumah menghelat sebuah musyawarah besar ulama-ulama Aceh.
Ketika Teungku Daud Bereueh dan para ulama Aceh mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tahun 1939, Hamka turut hadir. Beliau sebagai wakil Muhammadiyah bersama Teuku Hasan mendukung penuh Kongres PUSA, karena memiliki semangat pembaharuan Islam yang sama. Walau akhirnya kemudian terjadi pertentangan tajam secara politik antara tokoh di dalam kedua organisasi Islam tersebut. Hamka selalu bersikap netral, karena tetap menjadikan Muhammadiyah organisasi dakwah yang non-politik.
Pergaulannya yang rapat dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Aceh telah membuka mata batinnya tentang dinamika pergumulan amalan ajaran Islam di Aceh. Beliau menyaksikan sendiri bagaimana Islam menjadi amalan keseharian di kalangan masyarakat Aceh di segala strata sosial.
Semua kisah ini ditulis Hamka dalam majalah Panji Masyarakat edisi Februari 1981, hanya 5 bulan sebelum beliau wafat pada 24 Juli 1981. Tulisan bertajuk `Kenang-kenangan di Aceh' itu sangat penting bagi kita di Aceh. Isinya menjadi warisan tak ternilai bagi kita dalam merefleksi pandangan orang luar bagaimana Aceh di mata mereka pada rentang zaman tersebut.
Ini dapat membantu kita untuk lebih memahami identitas diri kita, dan dapat mengambil iktibar darinya untuk mengatur sikap yang semestinya.