Kupi Beungoh
Jokowi, Uni Emirat Arab, dan Komitmen Gubernur Aceh
Untuk diketahui, pada triwulan 3 tahun 2020, Aceh berada pada peringkat ke-28 dari 34 provinsi di Indonesia.
Oleh Mulyadi Nurdin, Lc, MH*)
Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan keinginannya berinvestasi di Aceh dengan nilai sekitar Rp 43 triliun.
Angin segar pun kembali berhembus di Aceh.
Harapan itu menjadi oase di tengah rendahnya realisasi Investasi Penanaman Modal Asing di Aceh.
Untuk diketahui, pada triwulan 3 tahun 2020, Aceh berada pada peringkat ke-28 dari 34 provinsi di Indonesia.
Sekedar mereview kembali, Deputi Direktur Bidang Investasi Properti dan Infrastruktur, Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), Salem Al Darmaki, (10/3/2020) mengatakan, setidaknya Emirat berminat pada 3 project di Aceh yaitu, pembangunan bandara baru di Sabang, pembangunan moda transportasi massal monorail Banda Aceh, dan pembangunan pipa gas Lhokseumawe-Banda Aceh.
Selain itu, pihaknya juga melihat potensi Aceh di bidang investasi tourism, Aceh sangat layak menjadi tujuan wisata masyarakat Timur Tengah, mengingat lokasinya yang dekat, serta kesamaan budaya dan agama.
Informasi tersebut juga sudah dideclair oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri acara Kenduri Kebangsaan yang diadakan di Sekolah Sukma Bangsa di Bireuen, Sabtu (22/2/2020).
Saat itu Jokowi mengharapkan semua pihak untuk back up data, kemudian back up penyampaian yang baik, presentasi yang baik untuk meyakinkan investor big fish tersebut.
"Karena beliau ini adalah masuk orang yang memiliki kekayaan yang nggak bisa dihitung. USD 1,4 triliun, bukan rupiah. Coba dihitung sendiri kekayaannya berapa," tegas Jokowi saat itu.
Statement Jokowi itu bukan omong kosong.
Sebelumnya pada bulan Januari 2020, Indonesia dan UEA menyepakati setidaknya 16 perjanjian kerja sama yang ditandatangani kedua negara, dengan total investasi USD 22,89 miliar atau setara Rp 314,9 triliun, di bidang energi, minyak dan gas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset, termasuk investasi di Aceh.
Keakraban Indonesia dan Emirat Arab berlanjut pada pemberian penghargaan kepada jokowi oleh Emirat dengan penobatan President Joko Widodo Street, sebagai nama jalan di Abu Dhabi, pada tanggal 19 Oktober 2020.
Baca juga: Nova Serahkan Proposal Investasi UEA ke Luhut
Jejak Jokowi di Aceh, Hingga Bupati Bener Meriah Abuya Sarkawi Usulkan Pembangunan Museum
Follow Up Gubernur Aceh
Sebagai follow up dari rencana investasi tersebut, Gubernur Aceh Nova Iriansyah melakukan kunjungan kerja ke Abu Dhabi, pada 7 hingga 10 Maret 2020, guna membicarakan realisasi komitmen investasi.
Langkah selanjutnya Gubernur Aceh berjumpa dengan Duta Besar Emirat untuk Indonesia, Abdulla Salem Al Dhaheri di Jakarta, Kamis (8/10/2020) untuk menegaskan dukungan Pemerintah Aceh terhadap rencana investor UEA melakukan investasi tourism di Aceh.
Langkah diplomasi Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, berlanjut dengan melakukan pertemuan dengan berbagai pihak di Jakarta, seperti Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Selanjutnya menyampaikan proposal investasi pariwisata di Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil kepada Menko Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Jumat (13/11/2020).
Sampai di sini tahapan demi tahapan sudah berlangsung dengan baik, mengingat pengalaman penjajakan investor sebelumnya, dan penandatangan MoU dengan banyak calon investor yang berujung gagal, pasti sudah menjadi perhitungan Gubernur Nova dalam melangkah, supaya tidak terulang kembali.
Untuk langkah awal Gubernur Nova Iriansyah bisa saja fokus ke investasi tourism di Pulau Banyak terlebih dahulu, kemudian baru dilanjutkan dengan investasi di daerah lain.
Baca juga: Istana Tunjukkan Syahrul Yasin Limpo Gantikan Luhut Pandjaitan Jadi Menteri KKP Ad Interim, Ada Apa?
Baca juga: Bertemu Perbankan, Bupati Aceh Singkil Minta Dukungan Rencana Investasi Uni Emirat Arab
Pesona Wisata Ujung Batu di Pulau Banyak Aceh Singkil, 'Kolam Surga' dan Kisah Legenda Perahu Pecah
Dinamika Investasi
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menghadirkan investor terutama dari luar negeri, mengingat sejauh ini berbagai hambatan investasi masih saja terjadi di tanah air.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan, dalam berbagai hal, kebijakan Indonesia kalah dengan kebijakan di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Vietnam.
Hal itu dinilai menghambat investor asing masuk ke Tanah Air.
"Persoalan kita hanya tiga saja, birokrasi, tanah, dan upah," ujar Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam Webinar Internasional, Selasa (4/8/2020).
Faktor Birokrasi dan perizinan menjadi satu faktor investor malas masuk ke Indonesia, untuk itu harus disiapkan sistem perizinan yang simpel, transparan, dan tepat waktu supaya investor tidak keburu jengkel saat berinvestasi.
Kepastian hukum sangat penting bagi investor, untuk itu diperlukan regulasi yang simpel, efektif dan efisien dalam pengurusan bebagai dokumen.
Sebagai pemilik modal, investor pasti ingin dilayani bak raja, karena mereka datang membawa uang dan membuka lapangan kerja, yang perlu disambut dengan karpet merah.
Baca juga: VIDEO - Pesona DANAU TOSKA, Refleksi Air Mineral dan Batu Kapur
Baca juga: Jalur Rempah Aceh Jadi Warisan Dunia
Lahan
Persoalan lahan adalah persoalan klasik dalam dunia investasi, untuk itu diperlukan lokasi yang fleksibel dalam pembebasan lahan, semua investor tidak mau berlarut-larut menghadapi persoalan lahan apalagi hingga turun-temurun, biasanya mereka ingin cash and carry, ada lahan ada uang, dan tidak mau ribet dengan sengketa antar warga atau ahli waris.
Pengalaman yang dialami oleh PT Semen Indonesia di Laweung menjadi contoh bagaimana investor bisa get out jika konflik lahan tidak selesai.
Baca juga: TKI Ditemukan Tewas di Dalam Koper di Mekkah Setelah Kabur dari Majikan, Pelakunya WNI
Local Partner
Biasanya investor kelas kakap menjalin kerjasama dengan local partner saat berinvestasi, untuk melakukan langkah-langkah realisasi investasi, mitra lokal tersebut bisa dalam bentuk perusahaan pemerintah atau perusahaan swasta.
Hal ini menjadi penting karena saat investasi dimulai, Pemerintah berfungsi sebagai regulator, sedangkan mitra lokal sebagai partner bisnis dengan prinsip untung dan rugi. Dalam hal ini bahasa antar perusahaan lebih nyambung daripada bahasa investor dengan pemerintah yang birokratis.
Oleh sebab itu semua kontrak kerjasama bisnis harus dilakukan dengan perusahaan yang kredibel dan mendapat trust dari investor global, jika tidak kepercayaan mereka akan meredup.
Misalnya saat persiapan lahan dan teknis pembangunan kawasan investasi, keberadaan mitra lokal sangat penting, karena investor yang datangnya dari negeri Arab misalnya, pasti maunya terima beres, semua persoalan di lapangan harus ada yang bereskan.
Baca juga: Mantan Penasihat Keamanan Minta Trump Umumkan Darurat Militer, Pemilu Ulang, Cegah Perang Saudara
Peluang Produk Lokal
Investasi pariwisata termasuk industri yang low budget, lumayan murah dalam investasi, karena destinasi yang dijual tidak perlu dilakukan pembangunan secara massive, malah sebagaimana yang diutarakan oleh pihak Emirat mereka menginginkan lokasi yang natural dan jauh dari hiruk pikuk.
Potensi daya tarik dari industri pariwisata adalah nature and culture, keindahan alam dipadukan dengan nilai budaya setempat yang dikemas dengan menarik dan modern, sehingga semua wisatawan penasaran untuk mengunjunginya.
Mempromosikan budaya Aceh kepada calon wisatawan Timur Tengah misalnya, menjadi salah satu daya tarik yang tidak akan didapatkan di tempat lain, sehingga wisatawan Timur Tengah yang memang tajir akan tersedot untuk berkunjung ke Aceh.
Budaya itu bisa saja dikemas dalam bentuk even, produk kuliner, fashion, souvenir, industri kreatif, situs sejarah, serta keramah-tamahan masyarakat. Di samping itu juga bisa dioptimalkan ekowisata, wisata olahraga, dan lain-lain.
Aceh dengan syariat Islam bisa mengandalkan Halal Tourism yang sedang menjadi trend di berbagai penjuru dunia.
Baca juga: Aceh-ANI Konektivitas Ekonomi Baru Aceh
Membangun Hub Destinasi
Seluruh dunia sedang bersaing mengundang wisatawan ke negara mereka, di dalam negeri pun berbagai provinsi melakukan yang sama. Untuk bersaing memerlukan keunggulan dan kemitraan.
Misalnya dalam rangka mempromosikan tourism di pulau banyak Singkil, diperlukan keunggulan fasilitas, baik bandara, pelabuhan, transportasi darat, serta alternatif transportasi rakyat.
Untuk itu diperlukan Bandara Internasional, Pelabuhan Internasional, Terminal Bus yang layak, yang bisa mengakses seluruh daerah terdekat, baik dalam Provinsi Aceh, Provinsi tetangga, hingga Negara tetangga.
Untuk tahap awal Aceh bisa melakukan kerjasama dengan perusaan travel yang ada di Indonesia untuk memasukkan destinasi Aceh ke dalam list kunjungan mereka, misalnya satu paket dengan Toba tour, serta daerah lain di Sumatera.
Perlu juga dilakukan kerjasama dengan perusahaan di luar negeri supaya mendapatkan list kunjungan dari paket wisata Asean dan negara lainnya.
Seperti wisatawan dari Langkawi, Phuket, serta dari penumpang Cruise Ship yang berpusat di Singapore.
Sementara untuk pasar Timur Tengah pastinya Emirat akan melakukan promosi tersendiri, mengingat jaringan dan akses yang mereka miliki sudah pasti memadai.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi menginginkan Wisata menjadi penghasil Devisa nomor satu di Indonesia.
Pada tahun 2019 devisa dari sektor tourism mencapai Rp 280 triliun, yang menampung sebanyak 13 juta tenaga kerja.
Hal yang sama juga sudah sepatutnya menjadi target Pemerintah Aceh ke depan, mengingat tourism merupakan salah satu sektor investasi yang murah, tapi berdampak besar bagi ekonomi warga.
Kerja keras yang dilakukan oleh Gubernur Nova Iriansyah menggait Investor sudah on the track, sebagai wujud dari komitmen dirinya dalam mewujudkan Aceh hebat.
Presiden Jokowi pun sudah memberikan lampu hijau, selanjutnya mampukah tim work sang Arsitek mengejar target tersebut, sang waktu akan menjawabnya.
* PENULIS adalah Direktur Intermedia Research Indonesia/Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh Tahun 2017-2018)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.