Opini

Melacak Rumah Lapuk Teungku Chik di Tiro

Lantunan ayat suci Alquran menggema di bawah rumah panggung lapuk, berarsitektur Aceh itu. Di lain sudut, beberapa kanak-kanak

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Melacak Rumah Lapuk Teungku Chik di Tiro
IST
ULFA YANTI, S.Pd., alumnus Jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah dan Guru Honorer SMAN 1 Beutong, Nagan Raya, melaporkan dari Kecamatan Sakti, Pidie

ULFA YANTI, S.Pd., alumnus Jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah dan Guru Honorer SMAN 1 Beutong, Nagan Raya, melaporkan dari Kecamatan Sakti, Pidie

Lantunan ayat suci Alquran menggema di bawah rumah panggung lapuk, berarsitektur Aceh itu. Di lain sudut, beberapa kanak-kanak terbata-bata mengeja juz amma dengan suara lantang. Hal ini saya saksikan di Dusun Lhok Rheum, Desa Blang Kumot Tunong, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie. Kabarnya, rumoh (rumah) Aceh yang saya sebut di atas adalah peninggalan Teungku Chik di Tiro, panglima perang Aceh melawan Belanda, 1876-1891.

Syekh Muhammad Saman adalah nama asli dari Teungku Chik di Tiro, ia lahir di Tiro sekitar tahun 1830 Masehi. Kabarnya sang panglima lahir dan tumbuh di rumah tersebut.

Kedatangan saya disambut salah satu keturunan dari Teungku Chik di Tiro. Namanya Teungku Fadhil bin Teungku Nyak Zainab bin Teungku Umar Tiro bin Teungku Mahyeddin bin Teungku Chik di Tiro. Uban di kepalanya tidak bisa berbohong, usia beliau sudah senja. Saya dengan Teungku Fadhil berdiri di halaman depan rumah, sengaja tidak langsung hadir di tengah kana-kanak yang tengah khidmat mengaji.

Dari halaman depan tampak rumoh Aceh begitu gagah. Beberapa peulangan (ukirannya) masih tampak asli. Sebelah kiri halaman depan rumah terdapat sumur dengan nurap (batu yang disusun untuk areal sumur). Menurut penuturan sang ahli waris rumah, sumur tersebut adalah sumur bekas peninggalan Teungku Chik di Tiro. Rumah tersebut merupakan milik Syekh Abdussalam, kakek dari Teungku Chik di Tiro.

Begini kisahnya

Pada awalnya Desa Blang Kumot Tunong masuk dalam wilayah Tiro, Pidie, sehingga melekatlah lakab Di Tiro untuk sang panglima. Masa kecil Teungku Chik ia habiskan di sini, menuntut ilmu pada kakeknya yang membuka langgar (balee) di kawasan tersebut. Dan pun, menurut penuturan Teungku Fadhil, dalam hutan maupun kebun warga di desa tersebut banyak terdapat nurap, yang menandakan dulu kawasan ini menjadi episentrum untuk menuntut ilmu agama. Setiap langgar yang dibangun tentunya terdapat sumur dan disertai nurap sebagai tempat untuk bersuci.

Nah, setelah Teungku Chik beranjak dewasa ia menuntut ilmu ke Lamkrak, Aceh Besar. Di sana ilmu agamanya berkembang pesat. Pada saat itu Belanda telah menduduki Kutaraja (Banda Aceh). Kawasan kekuasaan Belanda tatkala itu belum meluas, hanya sebatas wilayah Kutaraja saja dikarenakan pasukan “ureung muslimin” masih begitu gigih melakukan bendungan terhadap pergerakan Belanda.

Kebencian masyarakat Aceh terhadap Belanda sangatlah kuat serta dilandasi semangat perang fisabilillah (perang di jalan Allah). Begitu pula dengan Teungku Chik, tanpa sepengetahuan guru, pada malam hari ia dengan beberapa rekan pengajiannya melakukan aksi pengacauan terhadap tangsi-tangsi militer Belanda di sepanjang Kutaraja. Hal ini rutin dilakukan walau belum mengantongi restu dari sang guru.

Setelah matang mendapatkan ilmu agama di Lamkrak, ia kembali pulang ke Tiro dan mengajar di Dayah Tjok Murong. Berkisar tahun 1877 ia berangkat haji ke Makkah, menyempurnakan rukun Islam yang kelima.

Kepulangannya dari haji, Belanda semakin mengganas. Sehingga, Sultan Muhammad Daud Syah didampingi Panglima Polem dan Tuanku Hasyim menggelar rapat di Gunong Biram, Lamtamot (kaki Gunung Seulawah). Raja meminta utusan dari tiap-tiap daerah di Aceh. Dari kawasan Tiro diutuslah Teungku Chk. Dalam rapat tersebut raja meminta pendapat perihal penjajahan Belanda di Aceh. Maka dengan lantang Teungku Chi mengatakan “perang”.

Begitulah, ia pun dinobatkan sebagai panglima perang lantaran pendapatnya tersebut serta pengalamannya mengganggu tangsi militer Belanda selama ia di Lamkrak dan di Tiro. Perang di bawah komando Teungku Chk memberikan efek jera bagi Belanda. Terbukti, Belanda kewalahan menghadapi pasukan “ureung muslimin” dengan taktik perang gerilya.

Menurut penuturan T.A. Sakti (budayawan dan sejarawan Aceh), Belanda “banting kepala” memikirkan bagaimana cara menghabisi sang panglima, Teungku Chik di Tiro yang begitu apik tanpa gentar di medan pertempuran. Sikap pecundang Belanda pun muncul. Orang-orang Belanda tersebut meracuni Teungku Chik.

Diutuslah seorang wanita tua dengan satu hidangan dalam nampan dengan hidangan kuah daging beureukik. Tak lama setelah Teungku Chik menyantap makanan tersebut, keluarlah darah dari sekujur kulitnya. Empat hari sang panglima terbaring sakit. Ususnya robek keluar bersamaan dengan darah dan tinja. Begitulah kepedihan yang dialami Teungku Chik hingga akhirnya ia mengembuskan napas terakhir pada malam Selasa 10 Jumadil Akhir 1308 Hijriah (Januari 1891). Begitulah penutup kisah perjuangan Teungku Chi di Tiro melawan Belanda.

Mari sejenak kita kembali ke rumah peninggalan sang panglima. Rumah tersebut pernah dibakar pada masa perang Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII), tapi tampaknya haram bagi si jago merah melahap rumah orang mulia itu. Sehingga, usaha membumihanguskan rumah Teungku Chik tidak berhasil. Kini, rumah tersebut telah lapuk seiring dengan usianya yang sudah uzur.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Indahnya Islam 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved