Opini

Beleidsregel Menegasikan UUPA

Pada 8 Desember 2020 lalu, Aceh `dikejutkan' oleh Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Editor: bakri
HUMAS PEMPROV ACEH
Amrizal J. Prang, Kepala Biro Hukum Sekretariat Aceh 

Oleh Amrizal J. Prang, Kepala Biro Hukum Sekretariat Aceh

Pada 8 Desember 2020 lalu, Aceh `dikejutkan' oleh Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1481/30.01/DJB/2020, perihal Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Ditujukan kepada Para Gubernur Seluruh Indonesia, yang substansinya: pertama, kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (minerba) pemerintah provinsi yang dilaksanakan berdasarkan UU No.4/2009 berakhir 10 Desember 2020; kedua, kewenangan pengelolaan pertambangan minerba beralih kepada pemerintah pusat; dan ketiga, pelayanan perizinan dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Menyikapi surat tersebut, pemerintah Aceh, Wali Nanggroe, Komisi II DPRA, Polda Aceh, serta Kejati Aceh, pada 10 Desember 2020, mengadakan rapat koordinasi terpadu dan merekomendasikan mempertahankan kewenangan khusus Aceh, seperti pengelolaan pertambangan minerba. (Serambi, 11/12/2020). Padahal, sebelum pengesahan UU Minerba, Gubernur Aceh pada 28 Mei 2020 telah menyurati Menteri Dalam Negeri terkait kewenangan pengelolaan minerba di Aceh diatur khusus dalam UUPA.

Keberadaan beleidsregel

Secara administratif surat Dirjen Minerba tersebut-dalam Hukum Administrasi Negara (HAN) dikenal beleidsregel (peraturan kebijakan)/pseudo-wetgeving (peraturan semu)/policy rules (aturan kebijakan)-sebenarnya tidak ada persoalan. Dikarenakan, delegasi UU No.3/2020 tentang Perubahan UU atas UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang diberlakukan untuk seluruh daerah. Sebaliknya, menjadi persoalan besar bagi Aceh, karena bagi pemerintahan Aceh substansi beleidsregel tersebut sudah menjadi kewenangan pemerintah Aceh sesuai Pasal 156 dan Pasal 160 UUPA, PP No.3/2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh dan Qanun No.15/2017 tentang Pengelolaan Minerba.

Secara landasan yuridis pembentukan dan pelaksanaan peraturan kebijakan berdasarkan UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), namun tidak disebutkan secara eksplisit definisi peraturan kebijakan tersebut. Meskipun demikian, Bagir Manan menyatakan peraturan kebijakan (beleidsregel, pseudowetgeving, policy rules) yaitu peraturan yang dibuat-baik kewenangan maupun materi muatannya-tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat, melainkan wewenang yang timbul dari freies ermessen (diskresi). (Sadhu B. Suratno, 2017:167-168).

Dalam Pasal 1 angka 9 UUAP disebutkan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Mengutip pernyataan Ridwan, bahwa dalam pelaksanaan pemerintahan, peraturan kebijakan sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, sehingga tidak dapat mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini semacam bayangan dari undang-undang atau hukum. Begitu juga Indroharto, mengatakan peraturan kebijakan harus memperhatikan, antara lain: a) tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner; b) tidak boleh bertentangan dengan nalar sehat; c) harus dipersiapkan dengan cermat; d) isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan hak dan kewajiban warga yang terkena peraturan tersebut; e) harus jelas tujuan dan dasar pertimbangan kebijaksanaan; dan, f) harus memenuhi syarat kepastian hukum material. (Ridwan, 2011:183-184).

Oleh karenanya, merujuk pendapat para ahli di atas, keberadaan beleidsregel Dirjen Minerba tersebut, selain bukan peraturan perundang-undangan juga keberlakuannya kontradiksi dengan UUPA, karena menegasi kewenangan pengelolaan minerba. Meskipun, untuk daerah-daerah lainya dapat berlaku, seharusnya Aceh dikecualikan karena secara khusus sudah diatur UUPA, PP No.3/2015 dan Qanun No.15/2017. Sesuai asas hukum lex specialist derogate legi generalis (peraturan khusus mengalahkan peraturan umum).

Kontradiksi konstitusi

Untuk itu sudah tepat apa yang dilakukan pemerintah Aceh dan stakeholder lainnya dalam menyikapi beleidsregel Dirjen Minerba. Hal ini, dikarenakan jika merujuk peraturan perundang-undangan eksistensi peraturan kebijakan tersebut telah menabrak (kontradiksi) 4 (empat) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pertama, Pasal 156 dan Pasal 160 UUPA; kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.61-PUU-XV-2017, dalam pertimbangannya, paragraf [3.11] angka 4, alinea kedelapan, disebutkan: bahwa UUPA berlaku khusus maka tidak serta-merta dapat diubah sebagaimana dilakukan dalam pembentukan atau perubahan UU lainnya. Proses pembentukan UU yang berhubungan dengan pemerintahan Aceh maupun rencana perubahan UUPA harus melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan dari DPRA. Jika tidak maka akan terjadi ketidakpastian hukum bagi pemerintahan Aceh maupun rakyat Aceh sehingga bertentangan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Amrizal J. Prang, 2020:457).

Begitu juga, Putusan MK No.66/PUU-XV/2017, paragraf [3.11] angka 2, dalam pertimbangannya dinyatakan, rumusan mekanisme Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 UUPA adalah demi kepastian hukum dalam upaya memelihara kepercayaan masyarakat terhadap keberlakuan UUPA. (Amrizal J. Prang, 2020:460).

Ketiga, UU Minerba itu sendiri, padahal sebagaimana Pasai 173A, disebutkan: Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut.

Artinya, berdasarkan norma UU Minerba tersebut keberlakuan bagi daerah khusus dan istimewa sepanjang tidak diatur dalam UU Khusus atau Istimewa. Sebaliknya, jika sudah diatur tersendiri maka yang berlaku adalah UU Khusus atau Istimewa. Inilah dalam prinsip asas hukum, saling mengisi dan tidak mengenal bertentangan dan tidak hirarkis yang disebut antinomi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved