Kebijakan Luar Negeri
Tahun 2021, Kebijakan Luar Negeri Indonesia Bertumpu pada Enam Langkah Diplomasi Ekonomi
Penguatan diplomasi ekonomi ini tidak lepas dari kebijakan Diplomasi 4+1 yang ditetapkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Memasuki tahun 2021, dimana banyak negara termasuk Indonesia masih belum bisa melepaskan diri dari jerat wabah Covid-19, pemerintah akan memfokuskan diplomasi ekonomi dalam memasuki tahun 2021 di tengah pandemi Covid-19.
Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Yusron B Ambary menyampaikan penguatan diplomasi ekonomi ini tidak lepas dari kebijakan Diplomasi 4+1 yang ditetapkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Oktober 2019 lalu.
“Penguatan diplomasi ekonomi ini tetap kita lakukan ada maupun tidak ada Covid-19,” kata Yusron dalam diskusi virtual mengenai capaian diplomasi dan arah kebijakan luar negeri Indonesia.
Yusron mengatakan setidaknya ada enam langkah yang akan dilakukan Indonesia untuk menguatkan diplomasi ekonomi.
Pertama, kapitalisasi penguatan pasar domestik.
Kedua, penguatan pasar tradisional dan terobosan pasar non tradisional.
Ketiga, kata Yusron, penguatan perundingan perdagangan dan investasi.
Keempat, promosi terpadu perdagangan dan investasi, serta mendorong outbound investment ke luar negeri yang sinergis dengan kepentingan ekonomi nasional.
Kelima, menjaga kepentingan strategis ekonomi Indonesia.
Terakhir, yang keenam, mendorong ekonomi 4.0 yang meliputi industri digital, ekonomi kreatif, dan pengembangan SDM Indonesia.
“Prioritas ini akan kita jalankan, tinggal kita bagaimana menyesuaikan dengan situasi yang ada,” terang Yusron merujuk pada pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung.
Yusron mencontohkan jika dahulu Kementerian Luar Negeri pergi mengikuti pameran di negara-negara lain dan mengundang para perwakilan negara asing ke sebuah daerah untuk melihat potensi ekonomi, kini pemerintah aktif menggelar kegiatan-kegiatan virtual untuk mempromosikan produk-produk Indonesia dengan menyesuaikan waktu dari negara-negara luar.
Hal ini selaras dengan prioritas kementerian Luar Negeri untuk memasuki pasar non tradisional dalam diplomasi ekonomi.
“Cara-caranya mau tidak mau kita sesuaikan dengan kondisi saat ini,” tukas Yusron.
Kementerian Luar Negeri, kata Yusron, juga membuka pintu para pebisnis muda Tanah Air untuk memasarkan produknya secara internasional lewat jaringan 135 perwakilan Indonesia di luar negeri.
Oxford Economics bersama the Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) memproyeksikan Produk Domestik Bruto (PDB) di seluruh Asia Tenggara akan terkontraksi 4,1 persen pada 2020, sebelum melonjak tajam menjadi 6,2 persen pada 2021.
Dalam siaran persnya, CAEW Regional Director, Greater China and South-East Asia, Mark Billington menyampaikan pemulihan ekonomi Indonesia masih belum pasti, terutama akibat tren mobilitas yang lemah, impor yang tergelincir dua digit, dan melemahnya penjualan retail.
Meski demikian, kata Billington, volume penjualan retail dan produksi industri di Indonesia relatif stabil jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya yang terdampak kuat oleh pandemi Covid-19.
Baca juga: BREAKING NEWS: Hujan Lebat Guyur Langsa, Kawasan Perumnas PB Seleumak Langsa Baro Banjir
Baca juga: Pembebasan Tanah di Jalur Tol Lembah Seulawah-Sigli Segera Tuntas
Baca juga: Seorang IRT di Peulimbang Menghilang Sejak 16 November 2020, belum Diketahui Keberadaannya
Tak bisa dengan pola lama
Ramdhan Muhaimin, pengamat Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia, menyampaikan Indonesia tidak bisa hanya menyandarkan diri pada Diplomasi 4+1 yang ditetapkan sebelum ada pandemi.
Ramdhan menjelaskan pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya pengadaan vaksin yang diharapkan membuat ekonomi membaik pada 2021.
Namun, kata dia, tantangannya adalah terjadinya gelombang pandemi kedua dan ketiga yang dialami sejumlah negara, serta adanya mutasi baru Covid-19.
“Kejadian ini akan berpengaruh terhadap Indonesia dalam merumuskan kebijakan politik, terutama politik luar negeri,” ucap Ramdhan.
Hal lain, menurut Ramdhan, adalah transisi politik di Amerika Serikat pasca pemilu yang akan berpengaruh terhadap situasi kebijakan luar negeri Indonesia.
Kondisi ini, kata Ramdhan, membuat kawasan Asia Pasifik menjadi episentrum dinamika politik global, terkait konflik dagang AS-China, Laut China Selatan, dan Semenanjung Timur.
“Transisi politik di AS dari Donald Trump kepada Joe Biden sedikit banyak mempengaruhi geopolitik, dan akhirnya mendorong bagaimana Indonesia bersikap,” terang Ramdhan.
Ramdhan mencontohkan di penghujung kekuasaan Trump tiba-tiba menguat isu normalisasi Indonesia-Israel.
Joe Biden juga merestui upaya normalisasi ini, sebagai bagian dari Abraham Accord.
“Apakah [normalisasi] ini berhenti di Trump? Saya tidak yakin. Dalam arti, pemerintah Biden boleh jadi akan meneruskan upaya normalisasi ini,” ungkap Ramdhan.
Ramdhan juga menyampaikan pandemi korona yang semakin ‘menggila’ menggerus ekonomi negara-negara di dunia.
Situasi ini dapat mendorong Indonesia semakin terpuruk ke dalam resesi ekonomi.
Dia pun bertanya sejauh mana pemerintah Indonesia akan konsisten menolak bantuan AS dalam rangka normalisasi hubungan diplomatik Indonesia-Israel, sementara anggaran negara untuk memenuhi kebutuhan mitigasi dan penanggulangan Covid-19 sangat terbatas.
“Ini salah satu tantangan polugri Indonesia di tahun akan datang,” ucap Ramdhan.
Baca juga: Pelapor Gisel dan Nobu Sarankan Keduanya Minta Maaf ke Publik, Pitra Romadoni Malah Dibully Netizen
Baca juga: Siapkan NIK, Begini Cara Cek Daftar Penerima Vaksin Covid-19 Gratis di pedulilindungi.id/cek-nik
Baca juga: Pablo Benua dan Galih Ginanjar Sudah Bebas dari Penjara, Rey Utami Ngaku Tak Tahu
Digital-based policy
Sementara itu Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Paramadina Tatok Djoko Sudiarto menyampaikan pemerintah Indonesia harus menguatkan big data untuk menentukan arah diplomasi pada 2021.
Tatok mengatakan pandemi telah mendorong transformasi digital di berbagai lini, termasuk dalam kebijakan luar negeri.
“Beli apa-apa sekarang sudah big data, karena algoritma itu dihitung, jadi sciences-based policy. Kemlu harus punya basis data,” ucap Tatok dalam diskusi virtual capaian diplomasi dan arah kebijakan luar negeri Indonesia pada Senin.
Menurut Tatok, Kemenlu dalam hal ini harus menjadi komando big data untuk menguraikan arah kebijakan internasional pemerintah.
Selain itu, kata Tatok, pemerintah juga perlu mengembangkan industri kreatif dalam arah kebijakan diplomasi ekonomi.
“Di era Covid-19 ini, kita dipaksa betul untuk beradaptasi dengan teknologi,” tutur Tatok.
Tatok juga menekankan pentingnya Kementerian Luar Negeri memiliki paradigma human security di era pandemi.
Menurut Tatok, pemerintah harus menyeimbangkan kebutuhan antara ekonomi dan kesehatan.
“Harus ada sintesis antara ekonomi dan kesehatan. Harus dicari solusi ketika kunjungan wisatawan di Bali turun 90 persen karena ada kewajiban swab antigen,” ucap Tatok.
Menurut Tatok, munculnya varian baru Covid-19 menuntut pemerintah untuk memikirkan ulang formulasi dalam kebijakan diplomasi.
“Ini akan menjadi pekerjaan berat tahun 2021,” kata dia.(AnadoluAgency)