Opini

Membangun Aceh dengan Cinta

Provinsi Aceh memiliki tiga belas suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh Selatan)

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Membangun Aceh dengan Cinta
IST
Munawir Umar, S.Ag, MA, Dosen Institut Agama Islam Al-Ghuraba Jakarta, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh Munawir Umar, S.Ag, MA, Dosen Institut Agama Islam Al-Ghuraba Jakarta, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Provinsi Aceh memiliki tiga belas suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh Selatan), Naeuk Laot, Simeulue dan Sinabang (Simeulue), Gayo (Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues), Pakpak, Lekon, Haloban dan Singkil (Aceh Singkil), Kluet (Aceh Selatan).

Anugerah keberagaman ini haruslah menjadi batu loncatan bagi bangsa Aceh untuk saling bersama menguatkan, saling memberikan solusi dalam rangka sebuah tujuan berkemajuan. Namun persoalan ini tentu bukanlah hal yang mudah digapai tanpa solidaritas dan saling percaya. Namun, jika keberagaman ini tak mampu kita rawat maka ia akan menjadi sebuah bola api kehancuran.

Sebab banyak orang, masyarakat dan bangsa tak mampu bertahan karena mereka tak mampu merawat perbedaan. Akar perbedaan inilah banyak orang terjerus dalam pertikain yang tak mampu diselesaikan.

Dalam kacamata penulis, Aceh dan stackhodernya dewasa ini belum mampu melakukan terobosan yang didambakan. Justru yang mereka kedepankan adalah kepentingan pribadi dan golongan yang berlandaskan nasfu belaka. Betapa banyak Sumber Daya Alam (SDA)

melimpah di Aceh, tapi tak mampu mensejahterakan masyarakatnya, tak mampu membuat negeri ini menjadi negeri yang disegani banyak orang. Apakah kita kekurangan orang pintar?

Apakah kita kekurangan cendikiawan? Tentu ada jawaban yang paling mendekat kepada yang benar yang ingin penulis utarakan adalah bahwa begitu banyak orang hebat di Aceh, namun belum mampu membuat Aceh ini hebat. Diperparah dengan pemandangan tidak mengenakkan dan nyata di depan mata bahwa sudah beberapa dekade Aceh berada di peringkat sangat jauh dari provinsi yang lain dalam pendidikan. Bahkan lebih menyedihkan lagi MTQN pun di peringkat 24, berada di bawah Papua.

Masa lalu

Berkaca pada masa lalu, ketika sultan Iskandar muda memerintah Aceh digambarkan dalam rentetan sejarah sebagai masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam sejarah perkembangan kerajaan Aceh Darussalam dikatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang dengan cukup pesat, sultan berusaha memajukan berbagai sektor pendidikan, antara lain pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, seni budaya, militer dan olah raga.

Para ahli sejarah lokal maupun internasional telah menulis dalam karya mereka tentang sejarah Aceh, bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda memegang kekuasaan, Aceh adalah pusat ilmu pendidikan dan kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang masyhur di antara kerajaan-kerajaan lain hingga mencapai kejayaan. Dan begitu pula dalam aspek keagamaan, orang Aceh pada masa itu begitu menjiwai nilai agamanya mulai dari norma teologis, syariat hingga akhlak. Sehigga gelar Serambi Mekkah pun disemat kepada Aceh dan masyarakatnya.

Kemajuan bidang pendidikan, ekonomi, dan agama diraih melalui lembaga pendidikan meunasah. Lembaga ini bukan hanya tempat ibadah semata tetapi lembaga ini digunakan pula sebagai sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia yang memberi manfaat kepada

orang lain. Untuk meningkatkan pendidikan agama dalam kerajaan Aceh, para sultan Aceh telah menempuh berbagai kebijakan antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh sultan Iskandar Muda, sebagaimana yang termaktub dalam Qanun Meukuta Alam, yakin menyusun

lembaga-lembaga pendidikan dalam tiga bidang dan tugas khusus: masalah pendidikan, pengajaran dan pengembangan Ilmu pengetahuan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut antara lain, 1) Balai Setia Hukama; 2) Balai Setia Ulama; dan 3) Balai Jamiah Himpunan Ulama, yakni tempat para Ulama berkumpul dan mendiskusikan masalah-masalah pendidikan dan pengajaran serta pengembangan Ilmu Pengetahuan (Ali Hasymy, 1975: 13).

Pergeseran nilai

Namun dewasa ini, nilai dan norma tersebut kian tergesar bahkan telah jauh dari peradaban. Betapa tidak, mulai rakyat dan pejabat seakan meraka acuh tak acuh seakan mereka tak pedulu dengan persoalan yang terjadi. Rakyat selalu berharap yang instan, tapi melupakan proses yang harus mereka jalani untuk sebuah tujuan. Begitu pula dengan pejabat, mereka disibukkan dengan legalitas diri dalam rangka mencari materi tanpa peduli bahwa itu benar atau tidak di sisi Ilahi. Diperparah dengan persoalan saling menyalahkan, hilangnya kepercayaan, dan saling curiga antarsesama sesama anak bangsa. Pendidikan bukan lagi menjadi tolak ukur dan target yang diutamakan, tetapi malah pendidikan dijadikan agenda proyek memperkaya diri demi memenuhi hasrat sesaat tetapi melupakan kebermanfaatan bagi generasi masa depan. Jika seperti ini adanya, maka sejarah akan mencata bahwa penerus bangsa akan meneguk malapetaka yang lebih berat terhadap apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu mereka.

Maka teori norma dan nilai pada dasarnya harus kita pahami bersama, tujuannya adalah agar setiap kebiasan kita senantiasa berada dalam koridor yang ditetapkan, tidak terjadi biar yang menjadikan kita tidak solid. Karena itu, bila merujuk pada konsep norma atau nilai yang diusung oleh beberapa pakar, misalnya John J. Macionis maka akan mengandung definisi sebagai segala aturan dan segala harapan masyarakat yang memandu segala perilaku anggota masyarakat untuk mecapai sebuah tujuan.

Begitu pula dengan Soerjono Soekanto berkata bahwa, "Norma adalah sebuah perangkat dimana hal itu dibuat agar hubungan didalam suatu masyarakat dapat berjalan seperti yang diharapkan. Segala norma yang dibuat akan mengalami proses dalam suatu masyarakat sehingga norma-norma tersebut diakui, dihargai, dikenal dan ditaati oleh warga mayarakat dalam kehidupannya sehari-hari."

Karena itu, marilah kita semua bersatu merawat Aceh dalam bingkai kedamaian, satukan suara, satukan pula tekad demi sebuah tujuan dan bangunlah Aceh dengan cinta. Singkirkan segala kepentingan-kepentingan yang sifatnya sementara saja, jangan pula engkau bawa

kobaran bola api untuk kepentinganmu sesaat. Mari menatap masa depan Aceh yang lebih bermartabat. Karena bila pembangun Aceh dilakukan atas dasar cinta dan ikhlas, maka yakinlah Aceh akan mampu kita bawa ke puncak kejayaan.

Tetapi ingatlah, manakala pembangunan Aceh tidak didasarkan pada cinta, maka bersiaplah bahwa Aceh tak akan berjaya dan terus terpuruk dalam lobang hitam penuh bentangan. Keragaman harus mampu kita rawat untuk menjadikannya sebagai bahan pertimbangan bersama, karena keragama dan perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat terelakkan oleh kita. Karena itu Rasulullah Saw jauh hari telah berpesan bahwa, "Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat." (HR. Baihaqi)

Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengutip sebuah petuah dari seorang ulama besar asal Mesir Dr. Ali Jum'ah berkata, "Masuklah kamu melalui pintu cinta, jika engkau masuk melalui pintu cinta, maka dunia akan terbuka untukmu, engkau akan merasa tenteram dan bisa menikmati kehidupanmu, engkau juga akan mendapatkan sesuatu yang berbeda. Maka janganlah engkau masuk melalui pintu ketakutan, tetapi masuklah melalui pintu cinta.

Cintailah hidupmu, pekerjaanmu, agamamu, ibadahmu, tetanggamu, keluargamu, Tuhanmu, Rasulmu. Cintailah! Cintailah! Dan tetaplah menjadi seorang pecinta yang selalu mencintai segalanya." Karena itu, cintailah Aceh! Wallahu A'lam.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Indahnya Islam 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved