Pilkada Aceh Bisa Bergeser ke 2023

Meski Pemerintah Aceh dan DPRA telah sepakat melaksanakan Pilkada serentak pada tahun 2022, tetapi hingga kini masih belum ada kepastian

Editor: hasyim
Humas dan Protokol Setda Aceh
Asisten Bidang Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh, M Jafar memimpin rapat koordinasi Persiapan Pelaksanaan Pilkada Aceh Tahun 2022 di Ruang Potensi Daerah, Banda Aceh, Senin (13/7/2020). 

* KIP Tetap Ingin di 2022 

BANDA ACEH - Meski Pemerintah Aceh dan DPRA telah sepakat melaksanakan Pilkada serentak pada tahun 2022, tetapi hingga kini masih belum ada kepastian apakah pemilihan kepala daerah bisa dilaksanakan pada tahun itu.

Di Komisi II DPR RI saat ini, ada pemikiran agar Pilkada Aceh diserentakkan pada 2023 karena ada tiga kabupaten/kota yang masa pemerintahannya berakhir di tahun tersebut. Yaitu Kabupaten Pidie Jaya (Pijay), Aceh Selatan, dan Kota Subulussalam.

“Pusat dalam hal ini Kemendagri tentu juga melihat hal ini, jangan sampai tiga kabupaten itu untuk seterusnya selalu tidak sama,” ujar Anggota Komisi II DPR RI, Nasir Djamil, kepada Serambi, Minggu (10/1/2021).

Meski demikian, lanjut Nasir Djamil, Aceh masih memiliki peluang untuk memperjuangkan agar Pilkada tetap dilaksanakan pada 2022. Tetapi hal itu akan sangat tergantung pada upaya Pemerintah Aceh dan DPRA dalam memainkan posisi tawarnya melalui norma yang diatur di dalam Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Dalam UUPA ia sebutkan, ada pasal yang mengatur bahwa kebijakan-kebijakan yang terkait dengan Aceh itu harus meminta pertimbangan dari DPRA. “Jadi Aceh masih punya peluang besar, karena adanya ketentuan Pusat harus meminta pertimbangan Aceh,” timpal Nasir Djamil. 

Namun yang jadi persoalan, Pusat terkadang luput meminta pertimbangan itu. Karenanya, Pemerintah Aceh dan DPRA harus mengingatkan Pemerintah Pusat bahwa di Aceh ada norma meminta pertimbangan. “Aceh harus kukuh mempertahankan itu. Pusat juga harus konsisten dengan norma ini,” tegas Nasir Djamil.

Hal lain yang juga perlu dipahami, karena norma itu sifatnya adalah meminta pertimbangan, maka Pusat bisa saja memakai pertimbangan Aceh dan bisa juga tidak. Ini kembali lagi kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menyampaikan argumentasi dengan pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan yang diatur dalam UUPA.

Untuk itu, Nasir Djamil menyarankan DPRA dan Pemerintah Aceh agar ikut menghadiri sidang pembahasan Undang Undang Pilkada di Komisi II DPR-RI yang rencananya dimulai akhir Januari ini. “Masa sidang nanti sangat singkat, hanya 30 hari kerja. Pemerintah dan DPRA nanti bisa datang untuk menyampaikan pertimbangan,” ujar Nasir Djamil.

Tetapi dia mengingatkan, jika pertimbangan yang disampaikan Pemerintah Aceh dan DPRA adalah kekhususan sesuai dengan UUPA, Nasir Djamil mengatakan bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, Pilkada bukanlah kekhususan bagi Aceh karena daerah lain juga melaksanakannya. “Disebut khusus jika tidak ada di tempat lain, seperti wali nanggroe, dana otonoomi khusus, dan lain-lain,” imbuh dia.

Jika ternyata kemudian Aceh tetap ingin memaksakan diri bertahan di 2022, Nasir Djamil juga yakin nanti akan ada titik kompromi. “Pusat ingin di 2024, Aceh ingin 2022, maka jalan tengahnya di 2023. Alasan empirisnya karena ada tiga kabupaten kota yang berakhir 2023,” jelas Nasir Djamil.

“Itulah mengapa saya katakan peluang Pilkada 50:50, antara 2022 dengan 2023. Kalau 2024 itu sudah tidak ada cerita lagi,” imbuh Ketua Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR dan DPD RI asal Aceh ini.

                                                                                                            Tetap ingin 2022

Terpisah, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh berharap Pilkada Aceh 2022 bisa terlaksana sebagaimana diamanahkan UUPA, di mana perhelatan Pilkada Aceh digelar lima tahun sekali. Kelima komisioner KIP juga satu suara, berharap pemilihan bisa terlaksana sebagaimana rancangan jadwal yang telah disusun.

"Kami sesama komisioner belum ada silang pendapat terhadap Pilkada 2022.

Kami berharap 2022 bisa terlaksana," kata Komisioner KIP Aceh, Akmal Abzal, kepada Serambi, Sabtu (9/1/2021).

Namun Akmal melanjutkan, KIP tidak boleh terlalu di depan dalam menyampaikan keinginannya terkait Pilkada Aceh. Jangan sampai nanti ada anggapan bahwa KIP berkepentingan dengan Pilkada. “Yang punya kepentingan terhadap ini adalah pemerintah daerah, DPR. Kami hanya eksekutor pelaksana, ketika regulasi juga anggaran sudah oke," tambahnya.

Tugas KIP Aceh secara undang-undang lanjut Akmal, adalah menyusun jadwal dan juga anggaran. Kedua hal tersebut dia katakan, sudah dilakukan KIP sejak awal 2020. "Maret 2020 rancangan anggaran sudah kami serahkan kepada Gubernur. Dan dari hal itu bisa disimpulkan, kami sebenarnya ingin Pilkada terlaksana di 2022 atau tidak?" kata Akmal bertanya.

Namun, dia mengakui hingga saat ini belum ada kejelasan apakah Pilkada di Aceh bisa terlaksana di tahun 2022. Hal itu terlihat dengan tidak adanya anggaran yang diplot Pemerintah Aceh untuk Pilkada 2022. "Anggaran waktu rapat katanya di Dana Tak Terduga (DTT) dan kami diminta tak perlu tanyakan lagi, tak perlu risau. Jadi kami pun tak tanyakan lagi. Tapi hingga kini di APBN tidak ada dan APBA juga tidak ada," jelas Akmal.(yos/dan)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved