Jurnalisme Warga

Sekelumit Riwayat ‘Buleun Apam’ di Pidie

Bupati Pidie, Roni Ahmad alias Abusyik menitahkan untuk melakukan pengasapan dengan membakar sampah nonplastik memakai teknik

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Sekelumit Riwayat ‘Buleun Apam’ di Pidie
FOR SERAMBINEWS.COM
MUHAMMAD AFNIZAL, alumnus Progran Studi Sosiologi Universitas Syiah Kuala dan Guru IPS MTsN 8 Pidie, melaporkan dari Sigli, Pidie

OLEH MUHAMMAD AFNIZAL, alumnus Progran Studi Sosiologi Universitas Syiah Kuala dan Guru IPS MTsN 8 Pidie, melaporkan dari Sigli, Pidie

Beberapa waktu lalu, Bupati Pidie, Roni Ahmad alias Abusyik menitahkan untuk melakukan pengasapan dengan membakar sampah nonplastik memakai teknik tertentu di kabupaten yang ia pimpin untuk mengusir hama.

Imbauan itu bertepatan dengan bulan Rajab atau ‘Buleun Apam’ tahun ini dalam penanggalan Hijriah, tapi walaupun tanpa intruksi mungkin puluhan bahkan ratusan tahun silam asap selalu mengepul pada ‘Buleun Apam’ di tanah Pedir ini. Demikianlah, “maasyik dan abusyik” kita di zaman dulu lebih duluan mengamalkannya.

Dinamakan demikian, dikarenakan pada bulan itu di Pidie akan tercium wangi yang khas sebagaimana aroma panggangan adonan yang diolah dari tepung seperti halnya bau semacam roti. Aroma tersebut berasal dari kue yang diberi nama “apam”. Nama makanan inilah yang digunakan untuk menggelari Rajab dengan sebutan Buleun Apam.

Kue apam ini dibuat dari campuran tepung beras, santan kental, dan beberapa bahan lain yang dijadikan adonan kental, kemudian dipanggang sedikit demi sedikit dalam “cuprok tanoh /ceureulop” (panci tanah liat) yang telah dibersihkan di dalamnya dengan garam menggunakan “tapeh” (sabut kelapa). Tujuannya supaya nanti adonan yang telah matang tidak lengket.

Prosesi memasak apam ini wajib menggunakan “ubeu /on‘ue thoe” (daun kelapa yang sudah kering) supaya panasnya pas. Setelah apamnya matang yang biasanya ditandai dengan permukaan adonan yang sudah kering dan berlubang kecil, maka akan dicungkil dengan pisau yang sudah “bugam” (papak pada ujungnya) atau dicungkil dengan “ceunulek apam” (pencungkil apam) dan kemudian akan ditaruh di “beulidi” atau “tapeusi” (sejenis baskom kecil atau talam) untuk kemudian dijadikan kudapan, bahkan menu utama dan disantap dengan “kuah tuhee” (kuah santan) atau kukuran kelapa bersama keluarga dan tetangga sekitar, serangkaian prosesi ini dinamakan dengan sebutan “teot apam”.

Ada beberapa referensi yang menyebutkan tentang asal usul apam ini, di antaranya yang dinukilkan oleh Snouck Hurgronje. Ringkasnya, dia mengisahkan bahwa ada seorang warga Aceh yang ingin mengetahui nasib setelah dikubur, lalu ia berpura-pura mati dan dikuburkan. Di dalam kubur, karena banyak dosanya maka ia dipukul dengan pentungan besi, tepi sebuah benda menyerupai bulan melindunginya dari siksaan. Entah bagaimana ia berhasil “bangkit” dari kuburnya dan segera menemui keluarganya yang saat itu sedang membuat apam untuk “arwah”nya. Mungkin dari kisah inilah sampai sekarang ada masyarakat yang percaya apam bermanfaat untuk arwah dan menjadikan ritual “toet apam” sebagai bagian kenduri arwah.

Referensi lainnya menyebutkan jika kenduri toet apam ini adalah sebuah penghormatan kepada Abdullah Rajab, yakni seorang sufi yang sangat miskin dan tinggal di Makkah, saat dia meninggal, keluarganya tidak mampu menggelar acara kenduri bagi dirinya, maka orang di kampungnya berinisiatif membuat apam dan digelar saat bulan Rajab sesuai namanya.

Referensi selanjutanya ada yang meriwayatkan bahwa apam bukan bermula di Pidie, tetapi kue ini dibawa oleh Ki Ageng Gribig yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya ketika dia kembali dari tanah suci. Dia membawa tiga buah makanan apam ini dari sana, tapi karena terlalu sedikit maka dia menyuruh istrinya membuat ulang dan memperbanyak lalu dia membagikan kepada penduduk setempat (ada referensi lain juga yang menyebutkan dibagikan kepada santrinya), lalu karena kue ini direbut maka Ki Ageng Gribig meneriakkan kata “Yaqowiyu” yang berarti “semoga Allah memberikan kekuatan”, dan supaya Allah mengampuni dosa-dosa sebelum masuknya bulan suci Ramadhan, maka berlanjutlah acara pembuatan apam yang diselenggarakan pada bulan Rajab, kata apam sendiri disadur dari kata “affan” dalam bahasa Arab yang bermakna maaf/ampunan.

Ada juga yang menyebutkan bahwa asal muasal kenduri apam di bulan Rajab pada mulanya ditujukan kepada laki-laki dewasa yang tidak shalat Jumat di masjid tiga kali berturut-turut, dan sebagai dendanya diperintahkan membuat kue apam sebanyak seratus buah untuk diantar ke masjid sebagai sedekah, keseringan membawa kue apam akan diketahui oleh masyarakat bahwa sering tidak shalat Jumat dan tentu menimbulkan efek jera.

Namun, dari semua referensi yang telah saya temukan, saya pribadi lebih cenderung kepada sebuah konsep bahwa apam ini dibawa oleh orang-orang India pada zaman dulu. Dalam kebudayaan India sampai sekarang pun kita menemukan kue yang sangat mirip dengan apam di daerah kita, bahkan namanya pun hampir serupa, yaitu “appam/appa/aappam”. Dan apam di India sangatlah banyak jenisnya, di antaranya plain appam, paal appam, kalappam, egg appam, honey appam, achappam, kuzhalappam, neyyappam, pesaha appam, vattayappam, kandarappam, dan Idiyappam (idli-appam).

Selain namanya yang sangat mirip dengan apam di daerah kita, bentuk kuenya pun mirip, di samping itu mengapa di Pidie sangat kental dengan apam daripada daerah lain di Aceh kemungkinan besar karena terdapat pengaruh sangat kuat dari pendatang India ke Pidie pada masa silam. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya penduduk Pidie sampai saat sekarang yang memiliki wajah dan kulit mirip dengan orang India, khususnya India Tamil. Saya tidak melihat di wilayah lain di Aceh penduduknya yang lebih banyak mirip India dibandingkan di Pidie ini.

Selain apam, ada satu lagi kuliner yang khas sekali di Pidie yang juga memiliki kesamaan nama dan rupa dengan kuliner yang ada di India, yaitu kanji rumbi. Kalau di India dinamakan Nombu Kanji.

Tentang apakah Indonesia yang mengadopsi apam dari India atau sebaliknya, keraguan ini disebutkan oleh seorang blogger asal India dalam chanelnya “desireflections”. Ia menyebutkan bahwa salah satu jenis apam, yaitu “kedli-apam”, sejenis apam dari bihun (bukan soun) yang diberi kuah “tuhee”, menurut dia konon pada abad ke-8 seorang raja Hindu dari Indonesia mengunjungi bagian selatan India untuk mencari seorang mempelai wanita. Juru masak yang dibawa raja menyajikan apam jenis ini dan para koki India yang kebetulan membantu juru masak mempelajari dan kemudian memodifikasinya sehingga lahirlah “idli-appam’ di India.

Namun, saya lebih yakin dengan apa yang disebutkan oleh seorang ahli gizi dan sejarawan pangan asal India yang bernama K. T. Achaya, dalam bukunya The Story of Our Food  di halaman 80 dia sebutkan bahwa apam jenis ini berasal dari India, tapi dikembangkan di Indonesia dikarenakan seperti yang disebutkan seorang penjelajah Cina-India Xuan Zang, bahwa sampai abad ke-7 orang di India tidak tahu penggunaan kukusan sebagai bagian pengolahan “idli-appam”.

Semoga masyarakat kita menjaga kekayaan kuliner apam ini. Selain itu, sejarah yang kita pelajari semoga menjadi alasan yang kuat mengapa kita patut memelihara dan melestarikan apam ini, tentunya disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Harapan saya, semoga setiap gigitan apam panas dan kunyahannya yang gurih akan menjadi kian bermakna.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved