Opini

Analisa Exit Strategi Stabilitas Listrik Aceh

Sistem kita belum kokoh. Lebih baru lagi, pada akhir September hingga awal Oktober, kita mengalami blackout luas yang memukul aktivitas harian

Editor: mufti
IST
Mulkan Fadhli, Alumni Teknik Elektro USK | ITB, dan Sekjen IA ITB Pengda Aceh 

Mulkan Fadhli, Alumni Teknik Elektro USK | ITB, dan Sekjen IA ITB Pengda Aceh

TREN pemadaman serentak yang berulang baru-baru ini menjadi kaca benggala kondisi kelistrikan Aceh. Saat PON XXI Aceh–Sumut, gangguan transmisi membuat sebagian wilayah Aceh gelap di momen krusial. Listrik untuk venue memang terselamatkan oleh genset, tetapi pesan yang ditangkap publik sederhana. Sistem kita belum kokoh. Lebih baru lagi, pada akhir September hingga awal Oktober, kita mengalami blackout luas yang memukul aktivitas harian.

Layanan publik tersendat, bisnis kecil merugi, layanan kesehatan harus berstrategi dengan daya darurat. Di warung kopi, pertanyaannya kembali berulang: “Jika daya kita katanya cukup, mengapa sekali terganggu langsung padam massal?” Pertanyaan tersebut pantas dijawab dengan rencana yang konkret, bukan sekadar janji.Kalau bicara angka, Aceh sebenarnya tidak kekurangan daya.

Pembangkit besar di pantai barat dan utara—PLTU Nagan Raya, PLTMG/PLTG Arun—ditambah unit-unit lainnya, membuat kapasitas terpasang menembus angka di atas kebutuhan puncak. Di atas “kertas”, kita surplus. Namun kelistrikan tidak berhenti pada berapa megawatt tersedia. Penentu rasa aman pelanggan adalah bagaimana daya itu mengalir. Apakah jalur transmisi memadai, sistem punya cadangan jika satu ruas terganggu, dan seberapa cepat pemulihan saat ada trip. Di sinilah celah kita tampak. Daya ada, tetapi tidak selalu sampai ke pelanggan secara andal.

Masalah utamanya, jaringan kita masih “single track”. Bertumpu pada satu–dua koridor utama, sehingga saat satu ruas terganggu tak ada jalur alternatif yang cukup kuat menahan beban dan pemadaman mudah meluas. Transisi ke 275 kV memang berjalan, tetapi sinkronisasi dengan jaringan 150 kV yang lebih tua tidak selalu mulus. Fase hibrida ini menuntut disiplin operasi, cadangan memadai, dan uji bertahap yang konservatif.

Akibatnya, kegagalan sinkron pembangkit atau trip pada ruas 150 kV bisa cepat berantai. Titik lemah bukan di satu menara semata, melainkan ketiadaan jalur alternatif  yang memadai dan jarak pusat beban yang terlalu jauh dari sumber daya lokal.

Apa langkah yang bisa ditempuh? Pertama, tuntaskan backbone transmisi. Tutup loop 150 kV pantai barat (Blangpidie–Tapaktuan–Subulussalam), maupun penguatan koridor 275 kV Sigli–Pangkalan Brandan agar Aceh punya “jalan tol” lainnya. Dengan loop dan jalur ganda, gangguan di satu ruas tak langsung meluas. Kedua, terapkan pemeliharaan berbasis risiko—patroli koridor, inspeksi menara, pemangkasan vegetasi—disertai disiplin operasi. Early warning ke publik, load shedding yang transparan, serta evaluasi pasca insiden yang terbuka. Ketiga, tambah pembangkit dekat pusat beban khususnya Banda Aceh yang fleksibel dan cepat respons, karena keandalan tidak bisa hanya bertumpu pada pembangkit jauh ketika transmisi terganggu.

Kita perlu sumber daya yang dekat, fleksibel, dan cepat respons. Dari semua opsi, mesin gas paling siap menjawab kebutuhan yang cepat dan dekat, itulah mengapa PLTMG Krueng Raya layak jadi prioritas. Posisi di Aceh Besar, dekat Banda Aceh, memangkas ketergantungan pada transmisi jarak jauh. Startup-nya cepat sehingga ideal sebagai peaking/backup saat beban melonjak atau ada insiden di backbone. Secara operasional, unit ±50 MW di Krueng Raya akan menjadi penyangga teknis dan psikologis, sehingga layanan vital dan warga tak sepenuhnya bergantung pada pasokan dari Medan atau koridor pantai barat ketika terjadi fault.

Butuh keberanian

Penekanan ke PLTMG Krueng Raya terutama soal waktu dan fleksibilitas. PLTU butuh ±4–5 tahun, sementara PLTA/PLTP memerlukan studi, lahan, dan pengeboran—umumnya multi-tahun. Bahkan penyelesaian transmisi 150 kV (±130–140 km) dan 275 kV (±300 km) kerap tersendat di pembebasan lahan. Mesin gas bisa modular dan cepat. Banyak proyek 30–200 MW rampung ±12–24 bulan dengan packaged engine dan lokasi yang siap. Jadi, untuk menutup celah keandalan 1–2 tahun ke depan, PLTMG Krueng Raya paling masuk akal sebagai bridge solution sambil backbone 275 kV dituntaskan.

Lalu muncul pertanyaan praktis, kalau ini begitu rasional, mengapa PLN belum mengeksekusi? Jawabnya bisa beragam. Prioritas investasi nasional, antrean proyek transmisi, dinamika permintaan yang fluktuatif, atau strategi fleet nasional. Di sinilah kita perlu menggeser cara pandang, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh dapat dan seharusnya ikut mengambil peran, memanfaatkan instrumen BUMD seperti PEMA. Skemanya bisa joint venture atau KPBU. PEMA membentuk special purpose vehicle bersama mitra teknologi dan pendana, PLN menjadi off-taker melalui skema yang diatur regulasi. Dengan model ini, bottleneck anggaran di pusat tidak menjadi penghambat total.

Keterlibatan daerah juga membuka ruang de-risking. Penyediaan lahan, kemudahan perizinan, integrasi dengan rencana tata ruang, hingga dukungan logistik bahan bakar gas lewat pelabuhan Krueng Raya. Di pasokan gas, tidak harus menunggu produksi lokal, kalau pun menunggu durasinya sama dengan harapan proses eksplorasi blok tangkolo atau layaran 1. Rantai suplai LNG domestik telah berjalan dan secara ekonomi bisa didesain agar landed cost tetap kompetitif dibanding BBM.

Secara ekonomi, PLTMG kapasitas menengah (±50–150 MW) tergolong ramah modal bagi daerah. Mengacu PLTMG Ambon Peaker 30 MW ≈ Rp234 miliar, maka PLTMG Krueng Raya 50 MW wajar di kisaran ≈ Rp400 miliar (tergantung konfigurasi, balance of plant, dan fuel handling). Biaya per kWh berbasis gas umumnya lebih rendah dari diesel, dan karena perannya sebagai peaking/backup, jam operasi terkontrol sehingga OPEX tidak melonjak. Dibanding biaya sosial-ekonomi blackout (pangan rusak, UMKM berhenti, layanan kesehatan terganggu), investasi penyangga ini cepat “balik nilai”. Dari sisi time-to-value, setiap bulan PLTMG lebih cepat beroperasi berarti risiko padam segera turun dan aktivitas ekonomi lebih tenang.

Bukan berarti opsi lain diabaikan. Penyelesaian transmisi 150 kV barat–selatan, penyempurnaan 275 kV Sigli–Pangkalan Brandan, dan percepatan PLTP Seulawah adalah fondasi jangka menengah–panjang yang harus terus dikejar. Namun prioritas taktis harus jelas yaitu menjaga Banda Aceh dan sekitarnya tetap menyala saat ada gangguan. PLTMG Krueng Raya adalah first-best move yang bisa dimulai sekarang. Begitu unit ini berdiri, ia menjadi “katup pengaman” sistem. Sementara proyek-proyek backbone menyusul memberi nilai tambah keberlanjutan.

Akhirnya, kita butuh keberanian pengambilan keputusan. Pemerintah Aceh dan Banda Aceh punya instrumen (PEMA), komunitas teknis kita punya modal intelektual (Ikatektro dan kampus), dan PLN punya jaringan serta pasar. Satukan ketiganya dalam satu lintasan eksekusi: land readiness, financing structure, kontrak EPC yang realistis, dan fuel supply yang aman. Transparansi jadwal dan risiko disampaikan ke publik sejak awal. Dengan begitu, diskusi di warung kopi tak lagi soal “kenapa padam?”, melainkan “kapan commissioning?”. Aceh tidak kekurangan daya, yang kita butuhkan adalah daya yang sampai, stabil, dan cepat pulih dan untuk itu, Krueng Raya adalah langkah pertama yang paling rasional.  

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved