Berita Banda Aceh
Apersi Aceh Sambut Baik Kebijakan Pemerintah, Perbankan di Aceh Harus Dipacu Lagi
Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Aceh menyambut baik kebijakan pemerintah.
Penulis: M Nur Pakar | Editor: M Nur Pakar
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Aceh menyambut baik kebijakan pemerintah.
Hal itu seiring kebijakan Bank Indonesia memberlakukan kelonggaran ketentuan uang muka kredit atau down payment (DP) menjadi 0 persen untuk pembelian rumah, selain sepeda motor dan mobil baru.
Adapun kebijakan ini mulai berlaku pada 1 Maret 2021 sampai 31 Desember 2021.
Gubernur BI, Perry Warsito menyampaikan stimulus untuk sektor otomotif, termasuk rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100 persen.
Artinya konsumen dapat mendapatkan kredit pemilikan rumah (KPR)/ pembiayaan kepemilikan rumah (PKR) dengan DP hanya 0 persen atau tanpa uang muka.
Baca juga: Apersi Aceh Minta Penetapan Zona NIlai Tanah Ditinjau Ulang, Masyarakat Mulai Keberatan
Kebijakan itu untuk menyelamatkan ekonomi di tengah pandemi dan salah satu program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional)
Afwal Winardy ST MT, Ketua Apersi Aceh kepada Serambinews.com, Selasa (2/3/2021) mengatakan menyambut baik kebijakan tersebut.
Khususnya pemberian kelonggaran untuk masyarakat untuk memiliki rumah tinggal pertama juga rumah kedua dan ketiga.
Dia menjelaskan dalam sektor properti komersil mungkin akan mudah untuk memiliki rumah tinggal.
Tetapi untuk kalangan menengah ke bawah masih ditemukan banyak kendala.
Dia berharap seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam merumahkan rakyat, melalui rumah murah.
Afwal menyatakan para pengembang memeri apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang tidak tinggal diam dalam meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca juga: Pemerintah Tetapkan 222.876 Rumah Subsidi, Aceh Dapat Alokasi 3.300 Unit
Dikatakan, banyak kendala yang dialami para pengembang di Aceh yang bergerak menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Rumah untuk kelas menengah ke bawah ini tidak selalu ready stock," ujarnya.
Bahkan, katanya, jika DP nol persen untuk rumah subsidi ini, maka pengembang di Aceh menjadi kelabakan, bahkan rata-rata, keuangannya akan terganggu.
Dia berharap, perbankkan di Aceh harus benar-benar menjadi mitra utama dalam pengucuran KPR dan modal kerja untuk pengembang.
Sehingga, akan dapat memproduksi rumah secara berkelanjutan dan sehat.
Dia mengungkapkan perbankan di Aceh belum sepenuhnya berpihak kepada pengembang dalam pembiayaan karena skema yang diterapkan sangat ketat.
Afwal berharap perbankan di Aceh harus dipacu lagi, sehingga pro-aktif dalam membantu pengembang menyediakan rumah layak huni bagi MBR.
Diakuinya, pengembang harus berjibaku dengan perbankan dalam mendapatkan kredit konstruksi atau juga kredit bagi konsumen.
Baca juga: Rumah Subsidi Masih Jadi Primadona, Harga Belum Ada Kenaikan, Masih Berkisar Rp 150 Jutaan
"Dengan kondisi perbankan hari ini, maka pengembang akan terus mengalami kesulitan dalam membangun perumahan," katanya.
Dia berharap pemerintah juga memacu perbankan agar lebih terbuka dalam menyalurkan pembiayaan, sehingga perekonomian kembali bergulir dengan baik lagi.
"Tanpa dukungan perbankan, sektor properti tentunya akan jalan di tempat, termasuk usaha pendukungnya," tambahnya.
Selain itu, Ketua Apresi Ace ini meminta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota agar mempermudah proses perizinan.
Dia mengatakan pemerintah pusat sudah mengeluarkan aturan tentang perizinan pembangunan perumahan, tetapi di tingkat bawah selalu bermasalah.
Afwal mengungkapkan masih banyak terdapat perbedaan kebijakan antar satu daerah dalam penerapan aturan/kebijakan, sehingga bisa menggangu produksi rumah hingga memakan waktu lama.
Begitu juga dengan perbankan, seharusnya tidak menunggu waktu meminta bagi hasil atau kewajiban setiap bulan.
Dia menambahkan, pembiayaan perbankan tidak sesuai proses yang dilaksanakan pengembang.
Dia mencontohkan, seperti modal awal hanya 20 % dari jumlah pengajuan kredit.
Setelah itu pengembang dipacu untuk membangun rumah dengan jumlah melebihi kucuran dana tersebut.
"Jika kami menghitung lagi modal yang diluncurkan pertama tidak perlu lagi dikucurkan untuk termin selanjutnya," ujarnya.
:Artinya, perbankan harus memberikan keringanan dengan menganalisis keperluan sebenarnya di lapangan," harapnya.
Dia berharap pengembang juga bisa mendapatkan Stimulus, dibarengi kemudahan mengakses perbankan dalam memperoleh modal kerja
"Para pengusaha properti sebagai mitra kerja, baik perbankan maupun pemerintahan, sehingga bisa bersinergi dalam membangun daerah tercinta ini," tutupnya.(*)