Konflik Antarnelayan
JKMA Aceh: Konflik Nelayan Simeulue Harusnya Diselesaikan Secara Adat
Pihak JKMA Aceh berharap persoalan konflik antar nelayan di Simeuleu hendaknya bisa diselesaikan secara adat.
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Konflik antarnelayan di Desa Air Pinang Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue telah memasuki bulan ketiga dan belum menunjukkan akan segera selesai.
Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Zulfikar Arma pun berharap persoalan ini hendaknya bisa diselesaikan secara adat.
Menurutnya, dengan potensi adat, budaya dan kebiasaan yang dilakukan Lembaga Adat Panglima Laot Air Pinang yang telah dimulai sejak tahun 2014 pada dasarnya patut diacungi jempol.
Sebab, yang mereka lakukan merupakan wujud rasa tanggung jawab terhadap sumber penghidupan di wilayahnya yang juga merupakan bagian dari Kawasan Koservasi Perairan.
Sejalan dengan itu, dalam perspektif Aceh sebagai daerah istimewa dimana salah satu keistimewaannya ada di bidang adat-istiadat, ternyata mereka gunakan sebagai salah satu instrumen dalam pengelolaan wilayahnya (Lhok).
Sementara itu, model pengawasan berbasis masyarakat tersebut sejalan dengan Undang Undang 45 Tahun 2009 perubahan atas 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; dan telah diformulasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Tata cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.
Namun yang sangat disayangkan adalah peran dan partisipasi masyarakat telah menimbulkan konflik dan mengakibatkan kerugian bagi Pokmaswas Air Pinang.
Secara khusus, penanganan kasus yang dilakukan melalui jalur hukum negara telah mendegradasi eksistensi hukum adat di Aceh.
Baca juga: Kasus Nelayan Kompresor di Simeulue Dilimpahkan ke Jaksa, 5 Anggota Pokmaswas Masih Ditahan
Baca juga: Partai Hijau Indonesia Gelar Kongres Pertama secara Virtual
Baca juga: Setelah Istri Pergi Selamanya, Teddy Syach Ungkap Romantis di Pagi Hari Hingga Kesedihan Anak
Baca juga: Kisah Pencari Suaka di Eropa, Sudah Enam Tahun Ahmad Melanglangbuana Tak Tentu Arah
Sepertinya implementasi penyelenggaraan kehidupan adat dan istiadat sebagaimana kekhususan Aceh masih saja luput dari perhatian pemerintah maupun aparat penegak hukum yang bertugas di Aceh.
Mirisnya, sebahagian besar para penegak hukum yang bertugas di Aceh notabennya adalah orang-orang Aceh yang juga paham kultur budaya, adat istiadat.
Seharusnya mereka berkerja lebih maksimal dan menjadi yang terdepan dalam rekonsiliasi konflik melaui mekanisme penyelesaian sengketa/perselisihan adat istiadat di Aceh.
Sebagaimana mengacu kepada Keputusan Bersama Gubernur, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, dan Ketua Majelis Adat Aceh, nomor 189/677/2001, 1054/MAA/XII/2011, B/121/I/2012, tanggal 20 Desember 2011 tentang Penyelenggaraan Peradatan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di Aceh.
Berkaca dari konflik antara Pokmaswas dengan nelayan yang melanggar aturan adat dan aturan pemerintah, apakah proses penyelesaian sengketanya telah mendahulukan peradilan adat? Atau apakah rekonsiliasi mediasi yang dilakukan telah sesuai dengan kebiasaan peradilan adat di daerah tersebut?
Merujuk kepada aturan yang ada, peluang yang diberikan kepada tokoh adat gampong dan mukim untuk menangani sengketa secara adat sangat luas, hal itu juga merupakan pengakuan negara terhadap fungsi adat yang telah diperankan lembaga tersebut selama berabad-abad lamanya.
Berdasarkan Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Perselisihan yang boleh diselesaikan secara adat adalah: 1. perselisihan dalam rumah tangga; 2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; 3. perselisihan antar warga; 4. khalwat mesum; 5. perselisihan tentang hak milik; 6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); 7. perselisihan harta sehareukat; 8. pencurian ringan; 9. pencurian ternak peliharaan; 10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; 11. persengketaan di laut; 12. persengketaan di pasar; 13. penganiayaan ringan; 14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); 15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; 16. pencemaran lingkungan (skala ringan); 17. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan 18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.