Jurnalisme Warga
Simeulue, dari Cengkih ke Lobster
Saya menempuh jalur udara dari Aceh Besar ke Medan (Kuala Namu), lalu lanjut ke Bandara Lasikin di Sinabang menggunakan pesawat Wing Air

OLEH DR. ABDUL GANI ISA, Ketua Badan Wakaf Indonesia Perwakilan Aceh, melaporkan dari Sinabang
Alhamdulillah, baru-baru ini selama empat hari saya berada di Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue. Saya menempuh jalur udara dari Aceh Besar ke Medan (Kuala Namu), lalu lanjut ke Bandara Lasikin di Sinabang menggunakan pesawat Wing Air.
Terus terang, ini kunjungan pertama saya ke pulau penghasil cengkih, kelapa, dan lobster ini. Sebagai kunjungan pertama, tentu saja memberikan kesan tersendiri sehingga saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Simeulue.
Dari beberapa catatan yang saya peroleh, Kabupaten Simeulue adalah salah satu kabupaten di Aceh yang berada kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh. Kabupaten ini berdiri tegar di tengah Samudra Indonesia.
Kabupaten ini hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 1999 dan saat ini dipimpin Bupati Erli Hasim dan wakilnya, Hj Afridawati.
Berdasarkan letak geografisnya, Simeulue dikelilingi oleh lautan lepas (Samudra Hindia). Pulau ini memiliki sumber daya alam laut yang sangat beragam dan cukup potensial untuk dikembangkan dan dipasarkan, seperti ikan, gurita, teripang, udang, lobster, dan sumber daya laut lainnya.
Simeulue juga memiliki sumber daya alam bumi yang cukup potensial seperti rotan, pinang, kelapa, sagu, dan pisang abaka. Pisang ini merupakan tumbuhan asli Filipina, tapi tumbuh liar dengan baik di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Nama lain pisang ini adalah pisang manila atau pisang serat karena kaya serat dan seratnya cocok untuk membuat uang kertas.
Belakangan ini diisukan bahwa dasar laut Simeulue memiliki hidrokarbon (minyak bumi dan gas) yang cukup besar dan diprediksi lebih besar dari yang dimiliki Kuwait.
Dari sisi bahasa, penduduk pulau ini setidaknya menggunakan tiga bahasa utama yang dominan dalam pergaulan sehari-hari, yakni bahasa Devayan, bahasa Sigulai, dan bahasa Lekon/Leukon. Bahasa Devayan umumnya digunakan oleh penduduk yang berdomisili di Kecamatan Simeulue Timur, Teupah Selatan, Teupah Barat, Simeulue Tengah, dan Teluk Dalam. Bahasa Sigulai umumnya digunakan oleh penduduk di Kecamatan Simeulue Barat, Alafan, dan Salang. Sedangkan bahasa Lekon digunakan khususnya oleh penduduk Desa Langi dan Lafakha di Kecamatan Alafan.
Selain itu, digunakan juga bahasa pengantar (lingua franca) antarsesama masyarakat yang berlainan bahasa di Simeulue, yaitu bahasa Aneuk Jamee (tamu). Bahasa ini awalnya dibawa oleh para perantau niaga dari Minangkabau dan Mandailing.
Kabupaten terluar di Aceh ini sangat harmonis dan hal ini dapat dibuktikan dengan ciri khas pusat informasi masyarakat di daerah ini, yaitu banyaknya warung kopi yang hampir 100% menghiasi kota yang ada di Kabupaten Simeulue. Sempat muncul suatu statemen di kalangan masyarakat yang mengatakan bahwa jika satu hari saja tidak ke warung kopi maka tidak akan mendapatkan informasi terbaru.
Sisi lain dari wajah Kabupaten Simeulue yang belum terungkap di masyarakat luas, tidak hanya tingkat nasional bahkan di tingkat internasional adalah beraneka ragam jenis budaya, bahasa, makanan khas daerah dan tidak hanya itu.
DI kabupaten terluar ini dahulu hidup seorang penyebar agama Islam pertama yang dikenal dengan nama Tengku Diujung. Untuk mengingat jasanya, pemerintah daerah menabalkan nama Masjid Agung dengan nama ulama besar tersebut.
Masyarakat Simeulue tergolong peramah dan memuliakan tetamunya yang datang dari daratan Aceh. Hal ini kami rasakan sendiri saat tiba di Bandara Lasikin, kami disambut dengan ramah seperti keluarga sendiri. Jajaran Kemenag menjamu kami, juga pada malam terakhir kami berada di Simeulue kami juga diundang khusus oleh bupati. Suasananya sangat hangat, seolah kami sudah lama kenal seperti dalam keluarga sendiri. Kepada kami juga disuguhkan lobster, udang khas kabupaten ini.
Rangkaian kegiatan
Kunjungan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bersama rombongan Kanwil Kemenag Aceh dirangkaikan dengan sejumlah kegiatan. Misalnya, pelantikan pengurus BWI Perwakilan Kabupaten Simeulue, juga dilakukan pembinaan nazir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dan Penyuluh Agama Sekabupaten Simeulue.
Pelantikan Pengurus BWI Simeulue oleh Ketua BWI Aceh di Islamic Centre Sinabang dihadiri langsung oleh Ibu Wakil Bupati, Hj Afridawati. Dalam sambutannya ia memberikan apresiasi dan dukungan penuh kepada BWI yang baru dikukuhkan. Ia sebagai salah seorang Pembina BWI Simeulue berencana untuk menghibahkan atau mewakafkan tanah miliknya seluas 5 hektare yang nantinya akan diperuntukkan bagi pembangunan pesantren/dayah di wilayah itu. Di akhir sambutannya ia tegaskan bahwa pikiran dan waktu--bila diperlukan--siap ia berikan untuk BWI, terutama dalam menyelamatkan aset tanah wakaf di Simeulue, sekaligus berupaya untuk memproduktifkan tanah wakaf yang selama ini strategis, tapi telantar.
Sementara itu, Ketua BWI Aceh menyahuti apa yang disampaikan Ibu Wakil Bupati tersebut dengan mempertegas kembali empat hal.
Pertama, kepada pengurus diharapkan agar secara bersama instansi terkait menyampaikan/ menyosialisasikan literasi wakaf kepada semua lini masyarakat yang saat ini dinilai masih rendah pemahamannya tentang wakaf, termasuk zakat, infak, dan sedekah (ZIS).
Kedua, kepada pengurus diharapkan untuk membantu pendataan/inventarisasi aset wakaf lama dan mendorong masyarakat untuk memberikan wakaf baru, baik benda tetap maupun bergerak, seperti wakaf uang dan berupaya menyiapkan dokumennya untuk diusulkan ke Badan Pertanahan agar bisa diterbitkan sertifikat wakaf sehingga terjamin kepastian hukumnya.
Ketiga, pengurus BWI yang baru dilantik dihaapkan kompak dan memiliki persepsi yang sama, sekaligus bertekad menjadikan diri mereka sebagai mujahid wakaf. Untuk penguatan kelembagaan, pengurus diminta segera beraudiensi dengan pemerintah daerah untuk menyampaikan program, baik jangka pendek maupun menengah, dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat Simeulue yang lebih bermartabat melalui wakaf dan ZIS yang dinilai memiliki potensi strategis ke depan.
Keempat, mari kita bercermin sekaligus mengambil iktibar dari wakaf Baitul Asyi di Arab Saudi (Makkah) yang sudah pernah diwakafkan oleh Habib Bugak pada tahun 1809 yang terjaga dengan baik sampai hari ini, yang manfaatnya (mauquf alaih) diberikan kepada jamaah haji asal Aceh sesuai ikrar si wakif dahulu.
Cengkih ke lobster
Saat kami dijamu di pendopo, Bupati Erli Hasim menyampaikan bahwa era tahun '80-an masyarakat Simeulue dikenal dengan cengkih sebagai primadonanya, sehingga saat itu umumnya hasil penjualan cengkih digunakan untuk hal-hal yang konsumtif. Mereka biasanya menghabiskan uang dengan pergi ke Medan, Malaysia, dan lainnya, hanya untuk bisa menghabiskan uangnya.
"Mereka belum mau pulang sebelum uangnya dihabiskan," tutur Pak Bupati. Bahkan mereka membeli jenis barang yang ketika itu belum diperlukan, seperti membeli kulkas, padahal saat itu di Simeulue belum ada listrik, sehingga kulkas itu mubazir, bahkan akhirnya digunakan untuk lemari pakaian. Begitulah cara-cara petani cengkih menghabiskan uangnya kala itu. Karena uang hasil cengkih begitu banyak, sehingga warga bingung di mana menyimpannya. "Nah, di sinilah cikal bakal menghadirkan Bank BPD Aceh yang pertama di Simeulue," ungkap Bupati Erli.
Untuk saat ini cengkih sudah sangat kecil bahkan harganya pun menurun, sehinga motivasi merawat cengkih pun kurang bersemangat. Sementara kini, warga beralih ke usaha lobster yang juga merupakan hasil utama di kabupaten di tengah samudra itu. Semoga bermanfaat.