Konflik Antarnelayan

Jaringan KuALA Minta Bupati dan Panglima Laot Aceh Bantu Selesaikan Konflik Nelayan di Simeulue

Dalam percepatan penyelesaian kasus ini, Bupati Simeulue diharapkan membantu Pokmaswas Air Pinang untuk mendapatkan keadilan.

Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
hand over dokumen pribadi
Gemal Bakri Sekretaris Jendral Jaringan KuALA 

“Jika Bupati tidak mau berjuang untuk kebebasan mereka, berikan mereka ruang untuk sesegera mungkin berjuang di Pengadilan. Jaringan KuALA akan mengawal kasus ini dan akan mendampingi mereka yang merupakan nelayan kecil yang harusnya dilindungi sesuai dengan mandat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam,” kata Gemal.

Baca juga: JKMA Aceh: Konflik Nelayan Simeulue Harusnya Diselesaikan Secara Adat

Baca juga: DKP Aceh Dukung Penertiban Kompressor, Perlu Perlakuan Khusus untuk Lindungi Kawasan Konservasi

Baca juga: Tim Patroli Polairud, DKP dan Pokmaswas Tertibkan Penggunaan Kompressor, 9 Nelayan Ditangkap

Panglima Laot Aceh Perlu Turun Tangan

Selain itu, Provinsi Aceh merupakan provinsi yang memiliki keistimewaan salah satunya dalam struktur adat.

Melalui Qanun Pemerintah Aceh Nomor 9 dan 10 tahun 2008, pemerintah Aceh secara Sah telah mengakui Lembaga Adat yang di dalamnya juga terdapat Lembaga Adat Panglima Laot yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa adat di Laot.

Selain Panglima Laot, pemerintah juga mengakui bahwa pemerintah Gampong dan Mukim merupakan Lembaga adat yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di wilayah gampong dan mukim.

Berdasarkan perspektif Aceh dan semangat lahirnya kebijakan tentang sistem pengawasan berbasis masyarakat, Pokmaswas adalah representasi fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Panglima Laot.

Untuk itu, khusus di Aceh Panglima Laot adalah Pokmaswas dan Pokmaswas adalah Panglima Laot Lhok.

Karena itu, Jaringan KuALA mendesak agar Panglima Laot Aceh turun tangan dan mengambil langkah cepat dalam menyelesaikan persoalan ini. Jika memungkinkan, bisa minta bantua Polda dan Kejati Aceh juga.

“Jika tidak segera ditengahi, kedepan kasus-kasus seperti ini akan berpotensi muncul kembali. Jika penegakan hukum formal dilaksanakan dengan arogan, kedepan penegak hukum akan kewalahan menghadapi laporan-laporan dari masyarakat,” kata Gemal.

Hal ini terjadi karena kita tidak memandang penyelesaian adat sebagai instrument utama dalam penyelesaian konflik sosial di Aceh.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved