Opini
Aceh "Tak Lagi" Istimewa
Tarik ulur pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh nampaknya menjadi sentral isu yang menarik untuk dibicarakan

Oleh Dr. Munawar A. Djalil. MA, Pegiat Dakwah dan PNS Pemerintah Aceh, Tinggal di Cot Masjid, Banda Aceh
Tarik ulur pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh nampaknya menjadi sentral isu yang menarik untuk dibicarakan. Karena di satu sisi merujuk Pasal 65 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) bahwa Pilkada Aceh diselenggarakan setiap lima tahun sekali, artinya pelaksanaan Pilkada mesti dilaksanakan pada 2022 mendatang.
Meskipun ada tiga kabupaten/kota (Pidie Jaya, Kota Subulussalam dan Aceh Selatan) tidak masuk dalam agenda 2022 kecuali hanya pemilihan Gubernur.
Sementara itu di sisi lain Pasal 201 Ayat 1 dan 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan bahwa Pilkada baru digelar kembali secara serentak pada 2024. Diskusi ini menjadi menarik ketika memposisikan kedua Undang-undang tersebut, UUPA sebagai aturan berlaku khusus bagi Aceh, sementara Undang-undang Pilkada berlaku secara umum.
Semakin menarik lagi kalau dihubungkan dengan sebuah asas penafsiran hukum berbunyi, lex specialis derogate lex generalis (hukum yang berlaku khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum).
Tulisan singkat ini tidak untuk menelisik terlalu jauh tentang keberadaan dua Undang-undang tersebut. Namun sekadar mengajak semua pihak agar dapat melihat Aceh secara realistis dengan berbagai pendekatan baik sosial, kultur maupun pendekatan psikologi politik masyarakat Aceh sehingga kemudian keistimewaan dan kekhususan Aceh yang telah lama melekat tidak mudah luntur.
Padahal seingat penulis kelahiran UUPA-pun karena fenomena sosial kultur dan psikologi politik masyarakat Aceh yang mengemuka selama tiga dekade lebih, lalu mendapat penguatan baru melalui jalur politik sehingga Aceh menjadi wilayah otonomi khusus untuk dapat mengatur dirinya dalam semua sektor publik.
Pada dataran ini UUPA memberi petunjuk bahwa Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota berwenang mengurus semua urusan publik kecuali beberapa urusan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi (kehakiman, peradilan), moneter dan fiskal nasional. Artinya semua pasal dan ketetapan dalam UUPA berlaku secara khusus bagi Aceh kecuali beberapa perkara yang telah disebutkan.
Nah pada titik ini, hakikatnya UUPA ditetapkan sebagai sebuah pengakuan Pemerintah Pusat terhadap keistimewaan dan kekhususan Aceh. Namun justifikasi itu nampaknya tidak sepenuhnya dibarengi dengan implementasi. Misalnya, fakta sebelumnya menunjukan banyak turunan perjanjian damai sebagai cikal bakal UUPA yang menuntut harus adanya aturan teknis seperti Peraturan Pemerintah (PP) sampai kini belum ditetapkan. Fakta berikutnya terkait pelaksanaan Pilkada di Aceh, ada upaya "pemaksaan" agar Aceh tunduk kepada regulasi nasional untuk Pilkada serentak 2024. "Pemaksaan" itu justru paradok dengan Pasal 199 Undang_undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa ketentuan dalam Undang-undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Aceh, Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Daerah Istimewa Jokjakarta, Papua dan Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-undang tersendiri. Nah pada titik ini, sebenarnya terkait Pilkada Aceh tak perlu dipersoalkan lagi karena Aceh telah memiliki UU tersendiri yang mengatur khusus agenda 5 tahunan untuk Pilkada. Kalau "pemaksaan" ini terus berlanjut, maka wajar banyak orang berasumsi bahwa Pemerintah Pusat seakan tidak lagi memandang Aceh sebagai daerah istimewa dan khusus.
Asumsi tersebut sangat beralasan, karena bercermin dari beberapa keadaan masa silam banyak pihak, yang memang tidak mau mengindahkan keistimewaan Aceh. Ketika konflik mendera Aceh misalnya, tindakan refresif dengan pemberlakukan Daerah Operasi Militer, Darurat Militer, Darurat Sipil, telah mencoreng wajah Aceh yang istimewa. Banyak korban berjatuhan dengan penderitaan masyarakat yang tidak terperi. Seakan saat itu Aceh menjadi "budak di tanah sendiri" tidak ada yang menghargai apalagi mengistimewakannya.
Walaupun Aceh memang tidak seperti Jakarta, tapi tetap saja patut disebut "Daerah Istimewa". Dijuluki demikian bukan saja lantaran Aceh adalah modal awal republik ini, bukan pula lantaran rakyatnya yang tak bisa ditaklukkan Pemerintah Hindia Belanda dan sudi bergabung dengan saudaranya di wilayah lain nusantara yang sudah mengalami penjajahan 300 tahun sebelumnya.
Bukan saja semata-mata akibat kekayaan alamnya, terutama minyak, gas dan hasil hutan, seperti juga di tambangpura di Papua, Bontang di Kalimatan timur dan Dumai di Riau yang menyumbangkan sebagian devisa untuk memungkinkan roda perekonomian negeri ini berputar.
Bukan sekadar itu, Aceh menjadi istimewa sebagaimana propinsi lain dengan kelebihan masing-masing, karena tanpa dia Indonesia bukan Indonesia dan kita bukanlah kita.
Bagi penulis, ketika sekarang Aceh telah hidup damai, maka cara menyikapi pergolakan kehendak rakyat haruslah dilihat dari perspektif kultural psikologis yang melekat pada rakyat Aceh. Karena damai itu adalah aspirasi rakyat Aceh dan patut diindahkan oleh siapun juga.