Breaking News

Opini

Pilkada Aceh: Dulu dan yang Akan Datang

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh selalu memiliki banyak sisi menarik. Saat pilkada pertama 2006, alih-alih berpasangan

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Pilkada Aceh: Dulu dan yang Akan Datang
SAIFUDDIN BANTASYAM

Saifuddin Bantasyam

Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh selalu memiliki banyak sisi menarik. Saat pilkada pertama 2006, alih-alih berpasangan dengan calon wakil gubernur (cawagub) partai nasional (parnas) karena belum ada partai lokal, Irwandi memilih Muhammad Nazar (Ketua SIRA) sebagai cawagub. Lalu, dengan dukungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Humam Hamid (Unsyiah-sekarang USK) maju berpasangan dengan Hasbi Abdullah (mantan dosen FE USK yang dihukum penjara karena dianggap terlibat membantu Gerakan Aceh Merdeka-GAM).

Awalnya GAM diwakili Muzakir Manaf yang memimpin Komite Peralihan Aceh (KPA) memberi dukungan kepada pasangan ini, namun kemudian menariknya. KPA juga tak mendukung Irwandi-Nazar yang kemudian terpilih memimpin Aceh sampai 2011. Tetapi pilkada 2011 terpaksa diundurkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ini bermula karena adanya gugatan Partai Aceh (PA-yang resmi menjadi partai lokal pada 2007) yang tak mendaftarkan pasangan saat waktu pendaftaran habis, menggugat ke MK agar MK membuka kembali pendaftaran.

Gugatan dikabulkan. Pilkada 2011 pun diundurkan ke 2012. Lalu, mendaftarlah Zaini Abdullah-Mualem dengan mengandalkan dukungan PA yang mayoritas di DPRA pada pemilu legislatif (pileg) 2009. Irwandi (yang membentuk Partai Nasional Aceh pada April 2012 dan menjadi Partai Nanggroe Aceh-PNA pada Mai 2017) sempat memerotes putusan MK yang membuka kembali pendaftaran itu namun memilih tetap maju bersama Muhyan Yunan, birokrat asal Aceh Selatan, sebagai cawagub. Nazar (Partai SIRA) juga maju bersama Nova (Partai Demokrat-PD). Hasilnya, Zaini-Muzakir terpilih untuk memimpin Aceh sampai 2017.

Dalam pilkada 2017, Irwandi-Nova berhadapan langsung dengan Mualem (yang pecah kongsi dengan Zaini) dengan cawagub TA Khalid (Partai Gerindra di bawah pimpinan Prabowo). Namun mereka gagal karena mayoritas pemilih memberi dukungan kepada Irwandi-Nova.

Hasil ini digugat oleh Muzakir namun gugatannya ditolak MK. Dalam

pemilu presiden (pilpres) 2019, Mualem memberi dukungan kepada Prabowo, sedangkan Irwandi mendukung Jokowi. Kontestasi politik di Aceh menjadi semacam laboratorium politik lengkap. Misalnya langsung majunya Irwandi dari kalangan GAM yang baru berdamai dengan RI pada Agustus 2005 tanpa menunggu terbentuknya partai lokal seperti amanah MoU Helsinki. Pada saat yang sama, ketidakakuran sepertinya juga terjadi sangat cepat antarelite GAM karena perbedaan sikap politik.

Lalu, saat pileg 2009, PA langsung meraih suara mayoritas, mendapatkan 38 kursi di DPRA. Sejumlah mimpi pun dimunculkan karena ada anggapan bahwa segalanya akan mudah membangun Aceh karena PA sebagai representasi GAM, yang dulu angkat senjata demi kesejahteraan rakyat Aceh, sudah menguasai DPRA. Apatah lagi Irwandi juga adalah dari kalangan GAM.

Bahwa Irwandi memilih Muhammad Nazar juga sebuah pilihan yang sangat pragmatis. Meskipun pada masa proses perdamaian, Nazar seperti tenggelam, namun Irwandi punya perhitungan bahwa rakyat akan menerima Nazar dengan mengingat jasanya saat memimpin SIRA.

Irwandi terbukti benar. Namun dia kemudian salah hitung ketika mengajak Muhyan menjadi cawagub, meskipun logikanya dapat dimengerti: bahwa membangun Aceh perlu sentuhan birokrat dan bahwa Aceh bukan hanya dari Banda Aceh sampai Langsa, namun juga ada Aceh Jaya sampai ke Subulussalam, yang kemudian kerap disebut dengan Barsela (Barat Selatan Aceh).

Berikutnya, pada pilkada 2012 PA mengambil langkah yang sangat berani: memasang orang PA dengan sesama PA (Zaini-Muzakir).

Ternyata rakyat memberi kepercayaan kepada pasangan tersebut untuk memimpin Aceh sampai 2017.

Sudah berakhirkah sisi menarik pilkada Aceh? Ternyata belum.

Setelah dulu Irwandi gagal saat menggandeng Yunan (parlok-birokrat), giliran Mualem yang gagal saat menggandeng TA Khalid pada 2017 (parlok-parnas) padahal didukung oleh PA dan beberapa parnas besar lainnya. Pada 2017, Irwandi mengubah; mengajak Nova (PD) sebagai cawagub (parlok-parnas). Pasangan ini kemudian menang walaupun hanya diusung oleh PNA, PD, PBB, dan PDI.

Pilkada Aceh berikutnya belum pasti kapan. Jokowi-Puan sudah memutuskan tak ada pilkada 2022 dan 2023, melainkan harus serentak semuanya pada 2024 (sesuai dengan UU No. 10/ 2016). Sebaliknya, berbagai kalangan di Aceh berharap pilkada di Aceh berlangsung pada 2022. Bahkan Mualem mengaitkan hal tersebut dengan ketentuan MoU

Helsinki dan UUPA dan berniat menemui langsung Jokowi untuk meminta pilkada di Aceh dilaksanakan tahun depan. Muncul pertanyaan, akan efektifkah MoU Helsinki dan UUPA sebagai alat tawar? Akankah UUPA dianggap sebagai "lex specialis" oleh Jakarta?

Lalu, akankah ada gugatan secara hukum jika Jakarta tetap tak mengizinkan pilkada berlangsung di Aceh pada 2022? Jawaban atas beberapa pertanyaan di atas angat menarik untuk ditunggu. Jika ada gugatan, maka ini kembali mengingatkan publik ke pilkada-pilkada Aceh sebelumnya: PA menggugat ke MK agar memperpanjangn masa pendaftaran pada 2012, Irwandi-Muhyan menggugat Zaini-Muzakir pada 2012 dan Muzakkir-TA Khalid menggugat Irwandi-Nova pada 2017. Tak ada yang salah dengan seluruh gugatan ini karena memang ada hak secara hukum.

Siapa figur yang akan maju pun mulai menyita perhatian masyarakat. PA mencalonkan kembali Muzakir dengan cawagub yang mungkin saja dari PA (mengulang keputusan 2012) atau dari non-PA, baik dari bagian timur-utara Aceh atau bagian tengah, atau bahkan barsela Aceh. Tentang figur semakin seru ketika, alih-alih berfokus pada calon internalnya, PKS mengumumkan 11 cagub dari lintas partai yang di dalamnya termasuk Mualem, Nova, dan beberapa tokoh lainnya termasuk M Nasir Djamil dan Ghufran dari PKS.

Partai ini kelihatannya bermain "cantik," pragmatis, dan sadar dengan realitas politik. Dengan keputusan semacam itu, maka setidaknya PKS berharap jika yang terpilih adalah dari luar PKS, maka cawagubnya dari PKS. Misalnya Mualem-Nasir. Atau jangan-jangan, PKS akan bikin Nasir "head-to-head" dengan Mualem.

Beberapa parnas lain juga mulai memunculkan nama-nama cagub yang umumnya berasal dari kalangan internal atau ketua umum DPD.

Sedangkan posisi cawagub belum banyak dibicarakan. Tentu menarik untuk melihat, dengan mengacu kepada pilkada 2006, 2012, dan 2017, "perkawinan" semacam apa yang akan terjadi: parlok-parnas, parnas- parnas, parlor-parlok, atau mungkin ada kuda hitam yang maju melalui jalur independen. Juga menarik untuk melihat, apakah figur-figur yang muncul atau dimunculkan itu adalah dengan asumsi pilkada diselenggarakan 2022?

Bagaimana jika ternyata pilkada harus 2024, apakah nama-nama yang muncul itu tetap ataukah akan muncul nama-nama lain, misalnya dengan alasan kesehatan, kemampuan ekonomi, atau nama-nama baru ini lebih "moncer" elektabilitas, popularitas, dan kapasitasnya?

Menurut saya, semuanya serba mungkin: bisa tetap tak ada perubahan atau terjadi perubahan di sana-sini. Tetapi, apa pun kondisinya, satu hal yang paling penting: semua harus berproses dalam semangat demokrasi (partisipatif, berdasarkan hukum, jujur, adil, dan damai). Kekuasaan hanya berharga jika semua ini terpenuhi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved