Jurnalisme Warga
Tradisi Turun Tanah Bayi Dalam Masyarakat Aceh
Tradisi turun tanah (peugidong tanòh) bagi bayi merupakan hal yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh

OLEH AFRIDANY RAMLI, Pendiri LSM Generasi Bercahaya Aceh, Anggota FAM Indonesia, dan sekarang bergiat sebagai penulis lepas, melaporkan dari Sigli, Pidie
Tradisi turun tanah (peugidong tanòh) bagi bayi merupakan hal yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh. Terutama bagi pasangan suami istri (pasutri) yang baru saja dianugerahi keturunan.
Menggelar acara turun tanah bagi si bayi dengan memilih tanggal dan bulan yang tepat juga merupakan acara yang dinanti-nantikan. Jika punya kemampuan akan menjadikan turun tanah bayi sebagai kesempatan penyambutan yang meriah dengan mengadakan kenduri.
Selama ini tradisi turun tanah bayi telah dikemas dengan apik dalam berbagai macam bentuk perhelatan. Untuk memenuhi ketentuan dan syarat turun tanah, anak dituntun oleh seorang teungku sebagai pendahulu kalam, sebelum bayi dikeluarkan dari pintu rumah setelah istri mandi suci wiladah, dari empat puluh empat hari setelah melahirkan, yaitu berupa mencecapkan telur merah ayam yang diseduh dengan madu, dan menepungtawari sebelum dikeluarkan. Sedangkan bagi perempuan diberikan cermin sebagai isyarat persolekan untuk kecantikan wajah.
Dalam ragam acara turun tanah bayi telah dikemas berbagai bentuk spritual yang telah menjadi kebijakan dan kepatutan, seperti menggelar kenduri untuk dinikmati bersama, membelah kelapa sekali belah dan dilempar ke barat dan ke timur sebagai simbol peduli kepada tetangga, menginjak abu dapur sebagai bagian dari peduli terhadap kebutuhan dapur ke mana pun kaki melangkah pergi.
Selanjutnya, pemotongan pohon dengan pedang bagi anak lelaki sebagai simbolisasi sikap ksatria mencincang kafir yang memusuhi, dan pemetikan dedaunan bagi perempuan untuk pencarian sayur mayur sebagai kebutuhan masak-memasak. Semua atribut tersebut mengandung makna filosofis yang mendalam untuk keberlangsungan hidup si bayi yang sedang dituruntanahkan.
Tata laksana turun tanah bayi di berbagai daerah di Aceh memang berbeda-beda. Namun, turun tanah bayi telah menjadi bagian penting dari khazanah hidup masyarakat Aceh yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Bahkan ada yang menggelar sekaligus dengan akikah atau dengan cara menyembelih kambing, ada pula yang menggelarnya secara sederhana saja untuk melengkapi syarat rangkaian kehidupan bagi anak.
Sebelum bayi dituruntanahkan, banyak sekali pantangan yang harus dilakukan oleh kaum ibu selama 40 hari. Selama masa itu, selain dilarang ke luar rumah, ibu juga harus merawat bayi, memberikan ASI, menetapkan nama bagi si bayi, dan tak boleh mengeluarkan bayi sebelum selesai masa hari karena akan berakibat fatal atau berisiko tinggi bagi bayi. Tak jarang pula bayi harus diberikan air supah sirih di ubun-ubun dan di perutnya untuk menjaga kesehatan si anak.
Setelah tiba masanya barulah diperbolehkan menggelar upacara turun tanah si bayi. Turun tanah bayi suatu kebanggaan dan suatu kewajiban yang mesti ditunaikan walau hanya sekadar kemampuan dengan tanpa menggelar kenduri, di mana semua saudara, handai tolan, dan kerabat diberitahukan untuk turut serta menyemarakkan hari turun tanah si anak.
Bagi keluarga yang mampu akan mengadakan acara kenduri besar-besaran. Di samping dengan mengadakan acara ritual sebagai ajang turun tanah, ada pula hiburan dengan mengundang grup nasyid rebana untuk membaca barzanji sebagai persembahan untuk menyambut sosok yang baru saja ke luar dari rumah atau disebut juga turun tanah.
Tak jarang pula, untuk bayi yang diturunkan dari rumah panggung (Aceh) dikhususkan penyambutannya dari tangga atas ke tangga bawah. Tokoh-tokoh yang hadir memberi sambutan meriah dengan menggendongkan si bayi pada orang yang layak, terutama ahli waris yang berhadir. Bayi dibawa keliling sembari membisikkan kepadanya berbagai ucapan sebagai bentuk pengenalan terhadap lingkungan padanya.
Bagi bayi yang mengalami kelainan saat dilahirkan dan membawa kemudaratan bagi ibunya saat melahirkan, sering dituruntanahkan di tempat-tempat keramat yang dihajatkan. Biasanya, hal itu dilakukan orang ahli sebagai tunai janji nazar (kaoy) untuk dituruntanahkan di tempat-tempat yang sakral.
Orang ahli yang dimaksud seperti mablien (bidan) yang bernazar untuk melepaskannya di kemudian hari di tempat tersebut, seperti di masjid, di makam-makam ulama, di makam aulia atau di berbagai tempat lainnya yang telah dipercaya memiliki kelebihan dan keramat, dalam bentuk tawassul kepada Allah Swt.
Jika dalam kondisi demikian, turun tanah akan dilakukan oleh ahli spiritual. Tata laksananya hampir sama dengan cara yang saya laporkan di atas, seperti membelah kelapa, menginjak debu dapur, maupun tradisi lainnya. Jika ada hajatan berupa hal lain mesti ditunaikan juga dengan harapan supaya bayi tidak terikat dengan masalah di kemudian hari. Karena berdasarkan kepercayaan dikhawatirkan akan membawa kebinasaan terhadap bayi, tentu saja dilakukan pada hari turun tanah.
Belakangan ini, tradisi turun tanah bayi hampir tergerus dalam masyarakat Aceh. Meski masih banyak yang menggelarnya, tapi sudah jauh berbeda daripada tradisi zaman dulu sebagaimana yang diwariskan nenek moyang kita. Sebagaimana diketahui, sejatinya turun tanah bayi yang tergolong penting dan memiliki nilai filosofis itu dapat dijadikan sebagai bahan edukasi dan penanaman pesan moral ke dalam jiwa si anak.