Kupi Beungoh
Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Lingkaran Budaya Muzakir Walad, dan “Resurrection” PKA (VIII)
Tak ubah dengan strategi para kaisar Romawi kuno tentang mencari cara menggembirakan rakyatnya, Walad tahu benar “what need to be done”.
Tak ubah dengan strategi para kaisar Romawi kuno tentang mencari cara menggembirakan rakyatnya, Walad tahu benar “what need to be done”.
Walad meminta para bawahannya dan bupatinya, termasuk ulama dan tokoh masyarakat untuk membiarkan kesenian rakyat yang telah lama “tenggelam” dalam perang dan konflik dihidupkan kembali.
Ia cukup piawai dalam membujuk para tokoh dan sebagian ulama yang kadang melihat berbagai kesenian rakyat, terutama pertunjukan malam hari sebagai tidak hanya sebagai sebuah kegiatan yang secara “fiqih” tidak dapat dipertanggungjawabkan, tetapi juga berpotensi melanggar syariat dan menganggu keimanan publik.
Bagaimana tidak karena kesenian rakyat malam hari adalah pejuang berbaurnya penonton yang bukan muhrim dalam suasana hiruk pikuk kegembiraan di lapangan dengan lampu yang bercampur antara terang dan temaram.
Muzakir tidak peduli dengan itu, biar saja.
Dan uniknya kehidupan masyarakat berjalan biasa-biasa saja, tanpa ada goncangan keimanan massal seperti yang dikuatirkan sebagian orang, bahkan sampai hari ini sekalipun.
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Flash Gordon, Gampong Pande, Tanoh Abee, dan Makam Raja Pase (IV)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Ali Hasymi, Cinta Meulaboh, dan Universitas Teuku Umar (V)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Keislaman, Keacehan, dan Keindonesiaan (VI)
Cerita Tentang Respons Abu Beureueh
Ada cerita, pada beberapa kesempatan ia mendatangi Daud Beureueh, disamping menyampaikan berbagai rencana pembangunan sekaligus meminta “pengertian” Abu untuk tidak melarang babagai kesenian rakyat itu dengan sangat persuasif dengan alasan “rakyat hek that ka”-rakyat sangat capek.
Beureueh diam saja, tidak mengatakan ya atau tidak.
Ajaibnya, ketika ada beberapa orang datang meminta Abu untuk menegur Gubernur dan minta Bupati mélarang pertunjukan itu, respons Beureueh ringan saja.
Ia lama diam, dan di ujung ia berucap “ saya sudah dengar semua itu dari Muzakir” sambil tersenyum ringan.
Tanpa ada kata yang mengatakan ya atau tidak dari Beureueh, dan hanya “senyum” itu telah membuat Sedati Tunang, Sandiwara Geulanggang Labu- yang didalam kepustakaan klasik disebut dengan tonil, pertunjukan Syeh Biula-biola tak pernah berhenti di banyak tempat di seluruh Aceh, kecuali pada musim penghujan.
Pada masa itu pula muncul seni Troubadur dari kawasan Occitania, negara Perancis abad ke 11 versi Aceh yang ditampilkan oleh Tgk Adnan PMTOH yang membuat banyak penontonnya sembahyang subuh ketika matahari pagi sedang naik.
Tanpa dipelopori oleh uang pemerintah, kesenian rakyat tumbuh kembali, karena elit berhasil meyakinkan secara persuasif kepada pihak yang berkeberatan tentang hakekat kepentingan estetika, terutama seni pertunjukan, sebagai hiburan sukma dan jiwa masyarakat yang sehat.
Kalaulah ada sesuatu yang sangat penting untuk dicatat tentang pengeluaran uang daerah yang amat sangat kecil untuk seni adalah ketika Walad menemukan dan mengajak mutiara terpendam, seniman multi talenta kampung Kemili, Gayo, Ibrahim Kadir untuk tampil pada perhelatan besar MTQ 1981 di Banda Aceh.