Berita Banda Aceh
UIN Ar-Raniry Banda Aceh Gelar Workshop Moderasi Beragama, Begini Maksudnya Hingga Materi Narasumber
Moderasi beragama adalah kegiatan baru dan masuk program prioritas Kementerian Agama atau Kemenag RI sejak tahun 2019.
Penulis: Mursal Ismail | Editor: Mursal Ismail
Moderasi beragama adalah kegiatan baru dan masuk program prioritas Kementerian Agama atau Kemenag RI sejak tahun 2019.
Laporan Mursal Ismail | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Universitas Islam Negeri atau UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, menggelar workshop moderasi beragama.
Workshop moderasi beragama diikuti 160 dosen dari berbagai disiplin ilmu di UIN Ar-Raniry ini digelar di kampus itu, 22-25 Juni 2021.
Moderasi beragama adalah kegiatan baru dan masuk program prioritas Kementerian Agama atau Kemenag RI sejak tahun 2019.
Sedangkan UIN Ar-Raniry sebagai Satker BLU di lingkungan Kemenag RI berkewajiban melaksanakan workshop ini bagi dosen.
Adapun narasumber workshop ini dua, yakni Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdatul Ulama, Jakarta, DR Ahmad Suaedy, MA Hum.
Satu lagi, Manager Riset dan Advokasi, Institut Titian Perdamaian (ITP), Jakarta, DR Junaidi Simun, MA.
Baca juga: Penyuluh Agama Islam Aceh Barat Dibina Moderasi Beragama
Sedangkan tema Moderasi Beragama ini "Strategi Penetrasi Pemahaman Nilai Keagamaan Dalam Pendidikan Tinggi Islam"
Informasi ini disampaikan Kepala Pusat Pengembangan Standar Mutu Lembaga Penjaminan Mutu UIN Ar-Raniry, Khatib A Latief lewat siaran pers kepada Serambinews.com seusai acara ini.
Sementara itu, informasi dikutip Serambinews.com dari berbagai sumber moderasi beragama adalah orang yang dapat menyeimbangkan antara pengamalan agamanya sendiri (eksklusif).
Selain itu, juga penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).
Materi narasumber pertama
Khatib A Latief mengatakan dalam kesempatan itu, Ahmad Suaedy, menyampaikan makalah pertama berjudul "Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Islam"
Ahmad Suaedy menyebutkan beberapa alasan moderasi beragama penting.
Pertama, tidak bisa disangkal bahwa tradisi nusantara dan Indonesia menempatkan agama dan kepercayaan sebagai elemen yang sangat penting.
Oleh karena itu, suatu usaha perubahan yang tidak mengikutkan agama sangat sulit untuk mencapai keberhasilan.
Namun mengikutkan agama tidak selalu berarti menetapkan elemen-elemen ajaran agama konvensional atau mapan dalam ranah publik atau pemerintahan.
Tetapi bisa dengan mereview atau mengkritiknya agar nilai-nilai dan juga kelembagaan agama sejalan dengan tuntutan perkembangan masyarakat.
Selain itu, juga memberikan kontribusi terhadap solusi berbagai problem dalam masyarakat mutakhir.
Baca juga: Usai Tausiyah Isra Mikraj, Ustadz Dasad Latif Dinobatkan Sebagai Duta Moderasi Beragama
Kedua, fenomena adanya radikalisme dan peserta workshop terorisme yang mengancam kekerasan dan pemusnahan manusia berbasis pada agama.
Namun radikalisme dan terorisme tidak bisa ditempatkan sebagai sumber utama dari masalah itu sendiri.
Melainkan lebih sebagai akibat, oleh karena itu harus dicari sebab fundamental dari fenomena tersebut.
Tradisi peran agama di dalam pemerintahan nusantara ini dianggap bertentangan dengan tradisi di barat yang sekularistik.
Maka kini harus dicari cara baru atau revitalisasi peran agamawan dan elemen-elemen agama dalam sistem bernegara dan berpemerintahan.
Ketiga, era disrupsi dan TI (Teknologi Informasi) mengancam stabilitas masyarakat karena tiadanya atau terhapusnya otoritas dalam masyarakat serta budaya, termasuk otoritas agama, hukum, dan negara.
Bahkan metodologi ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu terjadi polarisasi yang kompleks dalam masyarakat. Siapa yang kuat dan menguasai teknologi, maka itu yang menang.
Baca juga: Kemenag RI: Persoalan Rumah Ibadah di Singkil Harus Tuntas dengan Musyawarah
Ini bukan hanya membahayakan sistem kenegaraan dan pemerintahan, melainkan juga sosial, budaya dan kemanusiaan.
Perlu dicari suatu pola dan nilai-nilai baru yang bisa diterima oleh masyarakat “zaman now” dengan karakter teknologi informasi dan disrupsi tersebut.
Program Moderisasi Beragama harus bisa menempatkan pada pencarian solusi itu.
Keempat, Indonesia begitu luas dan begitu plural dan multikultural dan ciri paling utama adalah kepulauan, sehingga tidak mudah untuk memahami dasar-dasar bersama.
Kemudian tidak mungkin dibangun sistem terpusat dengan mengabaikan yang kecil, pinggiran, dan lemah.
Oleh karena itu, bentuk moderasi beragama diharapkan bisa menyerap perbedaaan-perbedaan tersebut, namun di lain pihak bisa dibangun suatu titik temu dan kesadaran bersama yang baru.
Baca juga: Kepala PKUB Kemenag RI Kunjungi Abdya, Bahas Soal Kerukunan Umat di Aceh
"Di sini perguruan tinggi diharapkan memberi peran dalam terbangunnya basis etika bersama dan baru tersebut," kata Ahmad Suaedy.
Keenam, Islam memiliki sejarah panjang dan mendalam di nusantara Indonesia.
Namun tingkat ketebalan dan perannya serta dimensinya berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain.
Aceh misalnya berbeda dengan Jawa, Makassar, NTB, dan seterusnya.
Namun Islam juga tidak hanya memperkenalkan model institusi dan pengetahuan yang mapan, melainkan Islam juga berkembang dalam rangka menjawab tantangan zaman tersebut.
Maka Perguruan Tinggi Islam sangat diharapkan perannya dalam membangun dan mengoperasikan program moderasi beragama tersebut.
Oleh karena itu, moderasi beragama bukan suatu formula teh botol atau coca-cola, melainkan setiap daerah bisa dan bahkan harus memiliki pola dan ukurannya sendiri.
Dari sana bisa dibangun suatu dialog yang terus menerus dan menuntun negara dan pemerintahan dalam menjawab berbagai tantangan tersebut.
Menurut Ahmad Suaedy, program moderasi beragama bukan hanya menjawab tentang radikalisme keagamaan, melainkan problem kemanusiaan.
Oleh karena itu pula, moderasi beragama bukan semacam mata kuliah akhlak dan bukan hanya berlaku bagi negara dan pemerintah.
Sebaliknya diharapkan menjadi “cara berpikir, bersikap, dan berperilaku, setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Maka, sesungguhnya dalam konteks perguruan tinggi, apalagi perguruan tinggi agama Islam, moderasi beragama ini bukan hanya menanamkan, apalagi indoktrinasi.
Melainkan diperdebatkan baik dalam nilai-nilai asasi, metodologinya maupun strateginya sesuai landasan negara dan bangsa serta tantangan-tantangannya.
Baca juga: Kemenag RI Bantu Rp 1,3 Miliar untuk Pembelajaran Daring di 93 Dayah Aceh Utara
Materi narasumber kedua
Kemudian narasumber kedua, Manager Riset dan Advokasi, DR Junaidi Simun, MA, menambahkan moderasi beragama adalah upaya dan proses peletakan pemahaman dan pengamalan ajaran agama secara benar.
Selain itu, juga seimbang dan fungsional.
Upaya dan proses ini diyakini dimiliki semua agama, namun karena berada pada tataran nonsubstansial ajaran agama menyebabkan multitafsir dan keliru implementasinya.
Oleh karena itu, moderasi beragama adalah upaya pengembalian pemahaman individu beragama ke moderat, bukan memoderatkan agama.
Menurut Junaidi, Islam sendiri menawarkan konsep tentang moderasi beragama, yaitu mengambil jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal), toleransi (tasamuh), egaliter (musawah).
Kemudian musyawarah (Syura), reformasi (Ishlah), dan mendahulukan (aulawiyah), dan dinamis dan inovatif (tathawwur wa Ibtikar).
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).
"Dosen merupakaan elemen penting karena pendidikan tinggi dianggap media yang paling penting, strategis, efektif, dan sekaligus rentan diseminasi pemahaman keliru baik tentang ajaran agama maupun teori kehidupan lain," kata Junaidi.
Baca juga: Rektor UIN Ar-Raniry Prof Warul Walidin Sebut Pendidikan Aceh Sudah On The Track, Ini Indikatornya
Tujuan workshop moderasi beragama
Khatib A Latief selaku penanggungjawab acara mengatakan tujuan workshop ini untuk menelusuri gagasan dan pemikiran moderasi beragama yang dapat diterapkan dosen di dalam proses pembelajaran.
Kemudian juga mencari langkah-langkah dinamis untuk membangun moderasi beragama dalam kerangka pluralisme bangsa.
Khatib A Latief menyebutkan ada empat hal yang diharapkan dari workshop ini.
Pertama, teridentifikasi gagasan perumusan moderasi beragama yang kontekstual dengan kultur Aceh yang religius.
Kedua, lahir rumusan umum moderasi beragama dalam Pendidikan Tinggi Islam di Aceh.
Ketiga, teridentifikasi langkah-langkah dinamis, berkeadilan, dan berimbang dalam penerapan moderasi beragama di dunia pendidikan di Aceh.
Keempat, mampu menumbuhkembangkan sikap toleransi dan akomodatif terhadap nilai religiusitas agama dalam budaya Aceh. (*)