Kupi Beungoh

Ekonomi Gampong Bakongan: Rezim Transnasional Komoditi Sawit dan Reaganomics di Barsela (III)

Mereka lah yang membuat kelapa sawit Barsela bertengger dalam berbagai rupa dan gaya di sudut-sudut supermarket di Eropa, AS, Jepang, Cina, dan Austra

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Ahmad Humam Hamid, Sosilog Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

GAMPONG-gampong di Bakongan dan rakyatnya tidak pernah tahu kalau Sri Mulyani dan para profesor ekonomi menggunakan istilah “multiplier effect”, apalagi “trickle down effect”.

Tetapi semua itu telah terjadi di Bakongan.

Memang, dalam hal “trickcle down effect”-efek menetes ke bawah, kasus Bakongan tidak persis seperti yang digambarkan dalam skenario ekonomi Reagan.

Karena yang ada hanya petani kecil, bukan buruh industri atau berbagai pemangku kepentingan yang dianggap “penerima” tetesan ke bawah dari pertumbuman korporasi besar seperti di AS yang digambarkan oleh Ronald Reagan.

Maklum saja Bakongan bukan Detroit-Michigan AS, Dalian, Cina, ataupun Busan, di Korea Selatan.

Berbeda dengan industri manufaktur, agribisnis kelapa sawit mempunyai rantai pasok yang relatif panjang.

Mulai dari petani di kaki gunung terpencil semisal Bakongan, berbagai perusahaan swasta seperti di kawasan Barsela, rantai itu sampai kepada konsumen dan ratusan produk barang konsumsi berbasis minyak sawit-CPO untuk kebutuhan rumahtangga di seluruh dunia.

Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (I)

Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (II)

Bakongan: Nestle, P&G, dan Unilever

Raksasa produsen global barang-barang konsumsi dan berbagai kebutuhan rumah tangga sekelas Nestle,  Unilever, PepsiCo, Kit Kat, dan P&G adalah rantai pasok penting di antara semua itu.

Merekalah yang membuat kelapa sawit Bakongan masuk ke mulut konsumen, berlumuran di muka dan badan konsumen di berbagai negara.

Mereka lah yang membuat kelapa sawit Barsela bertengger dalam berbagai rupa dan gaya di sudut-sudut supermarket di Eropa, AS, Jepang, Cina, dan Australia.

Keseriusan innovasi perusahaan-perusahan raksasa dalam menggunakan olahan sawit menjadi berbagai kebutuhan manusia ini adalah sebuah kemajuan luar biasa.

Unilever dan Nestle, bahkan menampilkan dalam berbagai media komunikasi visual, betapa ratusan produk terbaru yang berbasis minyak kelapa sawit dikonsumsi manusia, yang dahulunya menggunakan bahan lain.

Tidak berlebihan untuk diceritakan, ketika produk-produk itu ditampilkan dalam media digital dalam kaitannya dengan konsumen, tampak terpakai mulai dari bangun pagi, kegiatan seharian penuh, sampai dengan tidur malam.

Hampir semua produk yang digunakan terkait dengan salah satu bahan dasar, minyak kelapa sawit.

Ini artinya, potensi masa depan kelapa sawit kini telah semakin terbuka lebar.

Berbagai produk makanan dan kebutuhan rumah tangga yang berbasis kelapa sawit telah memasuki jutaan rumah tangga, baik di negara industri maju, negara baru maju, negara berkembang, dan bahkan negara miskin.

Jaminan pasar internasional saja hanya salah satu bukti prospektif komoditi ini.

Di sebalik itu, kini kelapa sawit telah semakin berkembang, sektor swasta, BUMN, dan milik rakyat telah tumbuh dengan sangat cepat dan besar.

Baca juga: PT Mifa Adakan Workshop Penguatan Ekonomi Gampong Bersama Para Geuchik & Mukim Lingkar Operasional

Kelapa Sawit, Ekonomi Nasional, dan Korporasi

Tidak hanya itu, perkembangan terakhir juga menunjukkan betapa kelapa sawit telah memberikan kontribusinya yang luar biasa untuk perekonomian nasional.

Pada tahun 2016 saja misalnya sumbangan sub sektor kelapa sawit untuk Produk Domestik Bruto mencapai 260 triliun, tertinggal hanya 100 triliun dari sumbangan sektor tradisonal terbesar migas -360 triliun untuk Produk Domestik Bruto.

Kontribusi ini masih terus akan berkembang, apalagi dengan keterlibatan sektor swasta dalam dan luar negeri yang terus tumbuh.

Paling kurang 5.8 juta hektare perkebunan sawit kini dikuasai oleh swasta, dimana sekitar 3.4 juta hektare telah ditanam, dan sisanya 2.4 juta belum tertanam.

Paling tidak, 25 group bisnis besar berperan banyak di lahan 5.8 juta hektar itu.

Korporasi besar sekelas Sinar Mas, Agro Astra, Sampurna, Salim, Wilmar, Asian Agri, dan cukup banyak lagi yang lain, baik pemain lama maupun pendatang baru.

Berbagai perusahaan itu, dalam kenyataannya, sebagian besar sahamnya dimilki oleh berbagai perusahaan asing yang berbasis di Singapura, Inggris, Kuala Lumpur, AS, dan Cina.

Tidak berhenti di berbagai group perusahan raksasa dalam dan luar negeri yang terlibat, usaha sektor ini juga mendapat pembiayaan dari perbankan nasional dan luar negeri yang luar biasa.

Dari berbagai informasi yang ada, berbagai bank internasional yang terlibat dalam pembiayaan agribisnis kelapa sawit Indonesia.

Beberapa bank itu antara lain Citigroup-AS, BNP Paribas- Perancis, Creddit Suise-Swiss, Rabo Bank-Belanda, CMB group-Malaysia, dan OCBC-Singapore.

Bank nasional yang juga aktif membiayai kredit agribisnis kelapa sawit adalah BNI dan Bank Mandiri.

Keterlibatan bank-bank asing dalam pembiayan agribisnis kelapa sawit nasional bukanlah hanya persoalan pemberian kredit biasa.

Ini adalah pertanda bahwa keadaan saat ini dan prospek masa depan kelapa sawit sangat menjanjikan.

Baca juga: Kelapa Sawit Benteng Ketahanan Ekonomi Masyarakat Subulussalam di Tengah Pandemi Covid-19

Baca juga: Harga TBS Kelapa Sawit Abdya Tembus Rekor Tertinggi Rp 1.540 Per Kg Tingkat Petani, Produksi Anjlok

Indra Pencium Kapitalis dan Masa Depan Kelapa Sawit

Adagium tentang perilaku kapitalisme seperti yang ditulis dalam berbagai buku teks, tercermin untuk agribisnis kelapa sawit.

“Indra penciuman” sektor keuangan terbukti ketika jasa perbankan mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi terhadap arah perkembangan ekonomi.

Artinya, mustahil perbankan internasional berlomba-lomba menyediakan jasa pinjaman uang kepada perusahaan sawit, jika mereka tidak tahu betapa sangat menjanjikannya usaha ini.

Innovasi produk berbasis minyak sawit untuk rumah tangga global yang telah, sedang, dan terus dilakukan oleh perusahaan multi nasional raksasa sekelas  Nestle, P&G, dan Unilever, dan derasnya investasi swasta agribisnis kelapa sawit nasional adalah harapan besar.

Optimisme itu menjadi lebih meyakinkan dengan semakin derasnya riset tentang penggunaan minyak sawit untuk berbagai kebutuhan rumah tangga yang tidak pernah terhenti.

Apa arti fakta-fakta tentang pertumbuhan agribisnis kelapa sawit yang semakin fenomenal terhadap keberadaan dan masa depan petani sawit Bakongan?

Tidak hanya untuk mereka, tetapi juga untuk dan jutaan keluarga petani sawit lainnya, termasuk buruh, dan semua pihak yang terlibat dalam arus rantai pasok minyak kelapa sawit.

Apa yang tergambar dari realitas agribisnis kelapa sawit  adalah  cukup banyak pemangku kepentingan yang terlibat dan sangat beragam.

Sebaran pihak-pihak yang terkait dimulai dari produsen, industri pengolahan, eksportir, negara, industri produk pangan dan kebutuhan rumah tangga, perbankan, distributor dan pengecer, dan berbagai lembaga teknis. 

Baca juga: Aneh, Bibit Kelapa Sawit di Aceh Tamiang Sudah Berbuah, Petani: Ini Mustika Sawit

Baca juga: Geliat Perkebunan Kelapa Sawit di Kota Sada Kata, Jadi Komoditas Primadona Sejak Tahun 2000

Kepentingan Bersama dan Rezim Transnasional Kelapa Sawit

Semua aktor yang telah disebutkan mempunyai satu kepentingan yang sama, yakni keberlanjutan agribisnis kelapa sawit.

Keragaman aktor, baik di dalam di luar negeri dengan nilai perdagangan yang cukup besar menjadikan komoditi ini melahirkan sebuah “rezim transnasional” (Zeitlin, 2012) yang sangat strategis.

Dalam sejarahnya, hampir tidak ada sebuah “rezim transnasional” untuk komoditi pertanian negara berkembang, kecuali kelapa sawit.

Tidak dapat disangkal, keberadaan “rezim transnasional” menjadi sandaran bahkan tumpuan perkebunan kelapa sawit rakyat saat ini dan masa depan. Secara umum rezim inilah, baik secara partial, maupun kolektif yang akan berurusan dengan peraturan dan kebijakan terhadap keberlanjutan agribisnis kelapa sawit.

Munculnya “rezim transnasional” tidak dapat dipungkiri pada awalnya dimulai dari insentif dalam sejumlah  kebijakan dari pemerintah yang diberikan kepada korporasi.

Alokasi lahan dan kemudahan perizinan, berikut dengan fasilitas kredit telah menjadi cikal bakal lahirya embrio entitas agribisnis kelapa sawit yang kuat dan profesional, di Indonesia.

Pemberian izin masuknya modal asing untuk investasi agribisnis kelapa sawit, sekalipun sering mendapat kritikan keras, tidak dapat dipungkiri telah membawa keuntungan tersendiri bagi subsektor ini, maupun ekonomi nasional secara keseluruhan.

Penetrasi perusahaan multi nasional telah mempercepat globalisasi komoditas sawit tidak hanya  dalam artian penerimaan pajak dan devisa, tetapi juga telah memperkuat Indonesia menghadapi berbagai tudingan miring internasional tentang kerusakan lingkungan.

Diakui atau tidak integrasi agribisnis sawit dalam globalisasi komoditas dan sistem rantai pasok yang kompleks, telah menjadikan minyak kelapa sawit sebagai salah satu minyak nabati terdepan dari berbagai puluhan minyak nabati lainnya.

Liberalisasi ivestasi dan liberalisasi perdagangan dalam agribisnis komoditi ini bagaimanapun telah menghela jutaan rumah tangga petani kelapa sawit keluar dari kemiskinan.

Tidak hanya petani kelapa sawit, cukup banyak pula rumah tangga di luar kluster petani kelapa sawit yang terselamatkan, karena terlibat baik langsung maupun tak langsung dalam berbagai rantai pasok komoditi itu.

Ternyata kelapa sawit tidak hanya menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani, akan tetapi juga menjadi salah satu instrumen penting untuk mengurangi kemiskinan, terutama kemiskinan pedesaan.

Trickle down effect-efek menetes ke bawah yang kontroversial dan terus menerus diperdebatkan sampai dengan hari ini ternyata benar menetes seperti yang terjadi dengan petani Bakongan, maupun yang sama dengannya.

Solusi yang diberikan Reagan kepada rakyat AS yang mungkin tidak cocok di sana, ternyata bekerja untuk komoditi kelapa sawit di Indonesia.

Rangsangan dan dorongan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan swasta nasional dan asing, berikut dengan bebagai kemudahan lainnya, telah membuat komoditi ini menjadi sangat kompetitif di pasar minyak nabati internasional.

Kuat dan tumbuhnya korporasi agribisnis sawit ternyata tudak hanya menetes ke bawah, akan tetapi juga menghela jutaan keluarga di pedesaan.

Reaganomics tidak bekerja dengan baik di AS, akan tetapi bekerja di Bakongan dan pantai Barat Selatan Aceh.

Efek menetes ke bawah itu dimulai dari keuntungan kinerja korporasi multi nasional yang berhadapan dengan konsumen di berbagai negara yang menjual produk bebasis sawit.

Tetesan itu berlanjut keindustri pengolahan dalam negeri, untuk kemudian mengalir ke para pihak yang tertibat dalam setiap mata rantai pasok komoditi ini.

Tetesan itu mengalir terus ke bawah, kepada petani kelapa sawit di Bakongan.

Kekuatan itu terbukti dengan semakin kokohnya kolaburasi berbagai aktor negara dan non negara untuk memastikan keberlanjutan agribisnis kelapa sawit.

Rezim transnasional komoditi ini ternyata semakin solid dan tumbuh.

Petani kelapa sawit Bakongan dan Barsela ada dalam gerbong itu.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved