Penanganan Covid 19
Buktikan Bisa atau Tak Jadi Obat Covid-19, Ini Hasil Penelitian di Dunia Atas Obat Cacing Ivermectin
Di Indonesia Ivermectin saat ini masih menjalani uji klinik untuk bisa dijadikan obat Covid-19.
Di Indonesia Ivermectin saat ini masih menjalani uji klinik untuk bisa dijadikan obat Covid-19.
SERAMBINEWS.COM - Kerap disebut-sebut bisa menjadi obat Covid-19, obat cacing Ivermectin akhir-akhir ini banyak dicari warga.
Di Indonesia Ivermectin saat ini masih menjalani uji klinik untuk bisa dijadikan obat Covid-19.
Bagaimana perkembangan di dunia terkait Ivermectin?
Berikut penjelasan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara 2018-2020, Prof Tjandra Yoga Aditama.
WHO
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pada 31 Maret 2021 menyatakan, bahwa obat Ivermectin hanya bisa dipakai untuk mengobati Covid-19 dalam konteks penelitian uji klinik.
Baca juga: Fahri Sebut Penanganan Covid-19 Membingungkan, Menkes Kesulitan Prediksi Kapan Pandemi Berakhir
"WHO sengaja membentuk panel ahli untuk menilai obat ini.
Mereka merupakan kumpulan ahli internasional dan independen, terdiri atas berbagai jenis spesialis klinik dan juga pakar lain," ujar Prof Tjandra dalam keterangannya, Sabtu (3/7/2021).
Ia menerangkan, panel tersebut menganalisa data dari 16 uji randomized controlled trials atau uji acak random dengan total 2.407 sampel, termasuk pasien Covid-19 yang rawat inap dan rawat jalan.
Panel ahli lalu menganalisa apakah ada bukti ilmiah bahwa ivermectin dapat menurunkan kematian, mempengaruhi angka penggunaan ventilasi mekanik.
Kemudian perlu tidaknya dirawat di rumah sakit dan waktu penyembuhan penyakit.
Baca juga: Sri Mulyani Dikritik Soal Penanganan Covid-19, Ekonom Senior: Ketika Sudah Parah Menkeu Membisu
"Hasil analisa panel ahli WHO menunjukkan very low certainty antara lain karena keterbatasan metodologi penelitian, jumlah sampel yang terbatas dan terbatasnya kejadian yang dianalisa," terangnya.
Panel ahli menyampaikan bukti ilmiah tentang penggunaan ivermectin untuk pengobatan pasien COVID-19 masih “inconclusive”.
Dengan demikian sampai ada data lain yang lebih memadai, maka WHO hanya merekomendasi penggunaannya pada kerangka uji klinik.