Himpasay Gelar Diskusi Publik, Gubernur Sebut Semangat Demokrasi Warnai Proses Pembangunan Aceh

Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Yogyakarta (Himpasay)menggelar diskusi publik bertema 'Demokrasi sebagai Pilar Pembangunan Aceh'

Editor: bakri
Dok Panitia
Ketua Umum Himpasay Dede Adistira, S.Sos memberikan sambutan pada Acara Diskusi Publik dengan tema "Demokrasi sebagai Pilar Pembangunan Aceh di Aula Diskominsa Aceh (08/07/2021) 

Menurut Gubernur, Aceh sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan, dalam survei perkembangan demokrasi Indonesia yang dilakukan BPS pada tahun 2018, Aceh menempati posisi pertama sebagai daerah dengan pertumbuhan demokrasi terbaik.

Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-Yogyakarta (Himpasay), Kamis (8/7/2021), menggelar diskusi publik bertema 'Demokrasi sebagai Pilar Pembangunan Aceh.' Diskusi yang berlangsung di Aula Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian (Diskominsa) Aceh, itu menghadirkan sejumlah pemateri seperti Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Drs Yusny Saby MA PhD, Kadiskominsa Aceh, Marwan Nusuf, dan dose Fakultas Hukum Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh, Wiratmadinata.

Kegiatan yang dibuka secara virtual oleh Gubernur Aceh, Ir H Nova Iriansyah MT, itu juga diikuti Ketua TP PKK Aceh Dyah Erti Idawati, Ketua dan Sekretaris Himpasay, Dede Adistira dan Amirul Haq, serta mahasiswa dari sejumlah kampus di Aceh.

Gubernur yang menjadi pembicara kehormatan pada diskusi itu mengatakan, demokrasi merupakan konsep kebijakan yang bersifat dinamis dan universal. Namun, dalam penerapannya dapat saja berbeda di berbagai tempat. Demokrasi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa misalnya, menurut Nova, belum tentu sama dengan demokrasi di negara Asia dan Afrika. "Lihat saja, bagaimana Pemilu yang dilaksanakan di Jerman berbeda dengan sistem Pemilu di Inggris," ungkap Gubernur.

Demikian juga dengan demokrasi di Indonesia, kata Nova, tak bisa disamakan dengan sistem kebebasan yang berkembang di Amerika . Demokrasi Indonesia, menurutnya, lebih mengedepankan musyawarah dan kebersamaan, sedangkan demokrasi di AS lebih mengedepankan kebebasan aktualisasi individu.

Demokrasi di Aceh, lanjut Gubernur, juga berbeda dengan daerah lain lantaran karakter sosial budaya masyarakat Aceh tak sama dengan daerah lain. Dari kacamata agama misalnya, masyarakat Aceh mayoritas muslim. Sehingga ajaran Islam selalu menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat di daerah ini.

Menurut Nova, Aceh sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan, dalam survei perkembangan demokrasi Indonesia yang dilakukan BPS pada tahun 2018, Aceh menempati posisi pertama sebagai daerah dengan pertumbuhan demokrasi terbaik. "Semangat demokrasi inilah yang mewarnai proses pembangunan Aceh saat ini," ungkapnya.

Gubernur juga memaparkan, pengawasan sistem pemerintahan di Aceh begitu ketat karena lembaga yang melakukan hal tersebut cukup banyak. Selain DPRA/DPRK, ada pula kelompok masyarakat dan individu yang sangat kritis terhadap gerak pembangunan Aceh.

Di satu sisi, menurutnya, kebebasan seperti itu mendorong pemerintah lebih berhati-hati dan harus transparan dalam menjalankan kebijakannya. Namun di sisi lain, terkadang kebebasan itu juga tidak lagi menerapkan sendi-sendi etika yang benar. "Hal seperti ini tentu saja sangat tidak elok, karena sudah di luar etika demokrasi itu sendiri," kata Gubernur.

Namun begitu, Nova mengatakan, pihaknya tetap berpikir positif dengan kebebasan yang berlaku sekarang. Setidaknya, kata Dia, Pemerintah Aceh senantiasa berjalan pada jalur yang seharusnya. Gubernur berharap semangat demokrasi ini akan lebih berkembang lagi, sehingga masalah etika juga menjadi pertimbangan dalam menyampaikan pendapat.

Tidak boleh bertentangan

Dosen Fakultas Hukum Unaya, Wiratmadinata, menyampaikan, pada dasarnya apapun bentuk demokrasi yang dianut di Indonesia tentu harus berlandaskan Pancasila. Demikian juga di Aceh yang secara undang-undang menerapkan syariat Islam, menurut dia, harus menyesuaikan dengannilai-nilai syariat Islam. "Misalnya demokrasi bertentangan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka demokrasi itu tak boleh dipraktekkan di Indonesia," ujarnya.

Dalam konteks demokrasi di Aceh sebagai daerah yang secara undang-undang menerapkan syariat Islam, menurut Wira, juga tidak mungkin bertentangan dengan syariat Islam. Menurutnya, banyak pihak sering terjebak dengan pemahaman bahwa demokrasi adalah kebebasan tanpa batas sehingga membuat sejumlah orang kerap bertindak di luar koridor konstitusi dan hukum.

"Misalnya, menggunakan pendekatan ujaran kebencian, hoax, fitnah dan bentuk lain yang tak sesuai dengan adab dan akhlak. Apalagi, berdampak pada perpecahan di masyarakat, maka pendekatan itu tak bisa digunakan di Aceh," jelasnya.

Bentuk demokrasi yang paling tepat diterapkan di Aceh, menurut Wira, adalah demokrasi yang sesuai dengan adab dan akhlak yang diajarkan dalam Islam. "Kalau kita detailkan lagi dalam adab penyampaian pendapat dalam konteks Aceh, maka tidak boleh bertentangan dengan tata krama, sopan santun, bahasa yang baik. Karena agama kita mengajarkan demikian," ujarnya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved