Berita Pidie
4 Warga Mane, Pidie yang Meninggal Tertimbun Longsor Mencari Emas di Kawasan Hutan Lindung
"Perlu kami sampaikan bahwa lokasi kejadian tersebut berada di kawasan Pegunungan Alue Empeuk, Gampong Bangkeh, Kecamatan Geumpang, Pidie
Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Nur Nihayati
"Perlu kami sampaikan bahwa lokasi kejadian tersebut berada di kawasan Pegunungan Alue Empeuk, Gampong Bangkeh, Kecamatan Geumpang, Pidie
Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Ir Mahdinur MM menyatakan dukacita yang mendalam atas meninggalnya empat warga Kecamatan Mane, Pidie, lantaran tertimbun reruntuhan tanah longsor saat mendulang emas pada hari Sabtu (10/7/2021) sebagaimana diberitakan Harian Serambi Indonesia, Senin (11/7/2022).
Namun, Kadis ESDM Aceh merasa perlu untuk menegaskan bahwa penambangan emas tanpa izin (Peti) tersebut berada dalam kawasan hutan lindung. Artinya, kawasan yang sebetulnya terlarang melakukan aktivitas pertambangan.
"Perlu kami sampaikan bahwa lokasi kejadian tersebut berada di kawasan Pegunungan Alue Empeuk, Gampong Bangkeh, Kecamatan Geumpang, Pidie.
Masyarakat mencari emas pada bekas lubang yang pernah digali oleh masyarakat sebelumnya," kata Mahdinur kepada Serambinews.com, Selasa (13/7/2021) pagi menanggapi pemberitaan Harian Serambi Indonesia tentang musibah tersebut.
Baca juga: Empat Pendulang Emas Meninggal Tertimbun, Bupati Abusyik : Stop Aktivitas Tambang Liar
Baca juga: 4 Pendulang Emas Meninggal Tertimbun Longsor
Baca juga: Tragis! Empat Warga Mane Pidie Meninggal Tertimbun Reruntuhan Longsor Saat Dulang Emas
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dinas ESDM Aceh, lanjut Mahdinur, lokasi tersebut merupakan jalur potensi mineral emas (Au) porfiri dan telah dilakukan eksplorasi oleh beberapa perusahaan tambang emas sejak tahun 1997.
"Masyarakat di sekitar wilayah Geumpang, Tangse, dan Mane telah lama melakukan kegiatan penambangan emas tanpa izin di kawasan itu," ujar Mahdinur.
Hingga saat ini, menurutnya, terdapat satu perusahaan yang memiliki izin melakukan eksplorasi di kawasan tersebut, yakni kontrak karya (KK) atas nama PT Woyla Aceh Minerals yang diterbitkan oleh pemerintah pusat untuk komoditas emas.
Luas wilayah eksplorasinya lebih kurang 24.000 hektare (ha) yang saat ini dalam status suspensi (penundaan kegiatan karena belum memperoleh Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung).
Luasan wilayah pertambangan tanpa izin di lokasi tersebut, kata Mahdinur, diperkirakan sekitar 850 ha, dengan jumlah penambang mencapai 2.000 orang.
Pada umumnya mereka melakukan metode penambangan glory hole/manual dan mekanis (menggunakan alat berat), dengan sistem pengolahan amalgamasi/air raksa.
Sejak tahun 2010 sampai dengan 2021, ungkapnya, tercatat 43 orang sudah penambang Peti yang meninggal dan 57 orang lagi mengalami cacat/sakit akibat melakukan kegiatan penambangan tanpa izin di wilayah Aceh.
Ia sebutkan, total luas wilayah Peti di Aceh mencapai 1.270 ha dengan jumlah penambang emas tanpa izin sebanyak 5.544 orang yang tersebar pada enam kabupaten (Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah).
Dengan mempertimbangkan permasalahan faktual di bidang sosial, ekonomi, hukum, dan politik, kata Mahdinur, maka penanggulangan masalah Peti ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan seiring dengan ditegakkannya supremasi hukum.
"Artinya, kepentingan masyarakat dapat diakomodasikan secara proporsional tanpa mengabaikan prinsip-prinsip praktik pertambangan yang baik dan benar," ujarnya.
Kadis ESDM Aceh ini mengemukakan beberapa solusi penertiban Peti di Aceh yang dapat ditempuh. Antara lain, pelaku tambang tanpa izin yang berada di lingkungan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) diarahkan untuk bermitra dengan perusahaan tambang pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
"Sedangkan pelaku tambang tanpa izin yang berada di dalam kawasan hutan lindung ditertibkan untuk dihentikan kegiatannya," imbuh Mahdinur.
Solusi lainnya yang ia tawarkan adalah memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah (BUMD) setempat untuk diterbitkan izin pada wilayah yang dilakukan penambangan tanpa izin di luar kawasan hutan lindung, sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, kata Mahdinur, perlu dilakukan upaya memutus mata rantai peredaran merkuri pada lokasi-lokasi penambangan di Aceh.
"Menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) oleh Menteri ESDM melalui Wilayah Pertambangan (WP) Pulau Sumatra, sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku, itu juga salah satu solusi," ujarnya.
Di akhir perbincangannya dengan Serambinews.com, Mahdinur mengingat bahwa kegiatan penambangan tanpa izin dapat menimbulkan banyak dampak dan kerugian jangk pendek dan jangka panjang.
Misalnya, kerusakan lingkungan hidup, risiko kecelakaan tambang yang tinggi, iklim investasi yang tak kondusif, pelecehan hukum dan kerawanan sosial, serta hilangnya penerimaan negara/daerah dari sektor pertambangan.
"Oleh karenanya, Pemerintah Aceh mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kegiatan tersebut dan diharapkan kejadian serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang," demikian Kepala Dinas ESDM Aceh. (*)