PPKM Darurat Diperpanjang Selama 5 Hari, Dilonggarkan Jika Kasus Turun
Jokowi mengatakan kebijakan itu akan dibuka atau dilonggarkan secara bertahap mulai 26 Juli 2021.
"Dan saya sudah perintahkan para menteri terkait untuk segera salurkan bansos tersebut kepada warga masyarakat yang berhak," katanya. "Saya mengajak seluruh lapisan masyarakat, komponen bangsa untuk bersatu melawan COVID-19 ini. Memang ini situasi yang sangat berat tapi denga usaha keras kita bersama insyaallah kita bisa terbebas dari COVID-19. Dan kegiatan sosial, kegiatan ekonomi masyarakat bisa kembali normal," tutup Jokowi.
Sejauh ini sejak diterapkannya kebijakan PPKM Darurat dalam, kasus positif dan kematian corona memang masih tinggi. Meski sempat ada penurunan sedikit 3 hari lalu.
Namun pada Selasa (20/7) kemarin kembali terjadi peningkatan kasus konfirmasi sebanyak 38.325 orang, lebih tinggi dari hari sebelumnya di angka 34 ribuan. Dengan penambahan ini secara kumulatif terdapat 2.950.058 kasus konfirmasi virus corona di Indonesia. Di sisi lain, pemeriksaan ternyata juga lebih rendah dari hari hari sebelumnya. Kemarin pemeriksaan hanya ke 114.674 orang, sementara pada Senin (19/7) lalu 127.461 orang.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan, butuh kehati-hatian dalam melonggarkan kebijakan di masa pandemi. Sebab kalau tak hati-hati, warga bisa lengah dan terjadi kenaikan kasus yang lebih tinggi dari sebelumnya. "Berkaca dari pengetatan dan relaksasi atau langkah gas-rem yang diambil pemerintah selama 1,5 tahun pandemi ini, ternyata langkah relaksasi yang tidak tepat dan tidak didukung seluruh lapisan masyarakat dapat memicu kenaikan kasus yang lebih tinggi," kata Wiku dalam jumpa pers virtual di YouTube BNPB, Selasa (20/7).
"Indonesia sudah melaksanakan 3 kali pengetatan dan relaksasi, dengan PPKM Darurat saat ini menjadi pengetatan yang ke-4. Penerapan rata-rata dilakukan selama 4-8 minggu dengan efek melandainya kasus atau bahkan dapat menurun," imbuh dia.
Namun berdasarkan pengalaman, lanjut Wiku, saat relaksasi diterapkan selama 13-10 minggu, kasus kembali meningkat 14 kali lipat. Sehingga hal ini perlu jadi refleksi penting pada keberlanjutan PPKM Darurat.
Baca juga: Corona Melonjak, Presiden Jokowi Sebut Pemerintah akan Bagi Gratis 2 Juta Paket Obat Covid-19
Baca juga: Mau Daging Kurban Lebih Awet dan Tahan Lama, Begini Cara Menyimpannya di Kulkas
"Pengetatan yang telah berjalan 2 minggu ini sudah terlihat. Seperti menurunnya BOR di Jawa-Bali, serta mobilitas penduduk menurun. Namun, penambahan kasus masih menjadi kendala yang kita hadapi," terang Wiku. "Hingga saat ini kasus masih mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dengan jumlah kasus aktif 542.938 atau meningkat 18,65%. Tentunya kenaikan ini tidak terlepas dari fakta bahwa berbagai varian COVID-19 saat ini telah masuk ke Indonesia, khususnya delta yang telah mencapai 661 kasus di Pulau Jawa Bali," tambah dia.
Saat ini Wiku menerangkan pemerintah berusaha maksimal dalam melakukan pengetatan dengan membatasi mobilitas, meningkatkan kapasitas RS, serta menyediakan obat-obatan dan alat kesehatan.
Tetapi ia mengakui upaya-upaya ini tidak akan cukup dan pengetatan tidak bisa dilakukan secara terus-menerus, karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar dengan risiko korban jiwa yang terlalu tinggi dan berdampak secara ekonomi.
Sehingga, Wiku memastikan pelonggaran kebijakan PPKM Darurat tentu akan dilakukan meski ia tak memastikan kapan. Namun ia menegaskan kembali bahwa pelonggaran harus disiapkan hati-hati sebelum ditetapkan.
Menurutnya, pelonggaran dapat berhasil dan efektif apabila saat diambil keputusan tersebut dipersiapkan dengan matang. Adapun komitmen dalam melaksanakan kebijakan atau kesepakatan dari seluruh unsur pemerintah dan masyarakat. Kedua hal ini adalah kunci terlaksananya relaksasi atau pelonggaran kebijakan yang aman, serta tidak memicu kasus kembali melonjak.
"Cara ini adalah cara yang paling murah dan mudah dan dapat dijalankan dengan berbagai penyesuaian pada kegiatan masyarakat. Sayangnya melalui pembelajaran yang ditemui di lapangan selama ini, keputusan relaksasi sering tidak diikuti dengan sarana dan prasarana fasilitas pelayanan kesehatan serta pengawasan kesehatan yang ideal," papar Wiku.
"Relaksasi juga kerap disalahartikan keadaan aman, dan penularan kembali meningkat," ujarnya.(tribun network/fik/fah/dod)