Hari Puisi Indonesia

Prof Abdul Hadi WM: Perumus Sumpah Pemuda 1928 Adalah Penyair

Bahasa diperlukan bukan sekedar sarana informasi dan komunikasi, melainkan bahasa diperlukan sebagai ekspresi dan sebagai sarana berpikir.

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Taufik Hidayat
Foto kiriman warga
Prof Abdul Hadi WM 

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Perumus dan perintis Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 1928 adalah penyair, Mohammad Yamin dan Sanusi Pane, serta wartawan M Tabrani yang berasal dari Pulau Madura.

Ini disampaikan Prof Dr Abdul Hadi WM dalam pidato kebudayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) ke-9, diselenggarakan secara virtual, Senin (26/7/2021) malam.

Ia mengatakan, Bahasa Melayu-- titik tolak Bahasa Indonesia--pernah mengalami krisis pada abad 19 dan kemudian diperbarui oleh Raja Ali Haji dan menjadi bahasa Melayu baru, yang  kelak menjadi titik tolak bahasa  Indonesia.

Ia mengatakan melengkapi suatu bangsa harus ada bahasa. Menurut Abdul Hadi, nama Indonesia diberikan oleh seorang wartawan muda dari Pulau Madura M Tabrani, supaya bahasa Melayu diubah namanya menjadi bahasa Indonesia. 

“Agar orang-orang yang bukan Melayu, seperti orang Jawa, orang Batak dll tidak merasa dijajah oleh orang Melayu, tapi tetap dalam pangkuan Republik Indonesia,” terang Abdul Hadi yang juga seorang penyair penting Indonesia yang banyak menerjemahkan puisi-puisi berbahasa Parsi, Arab, Pakistan.

Abdul Hadi juga melahirkan banyak buku, antara lain “Tasawuf Tertindas” yang memperoleh penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).

Baca juga: Tuan Rumah Olimpiade Tokyo Catat Rekor Baru, Konfirmasi 2.848 Kasus Baru Virus Corona

Baca juga: VIDEO Mitos Penampakan Wanita Cantik Cut Glanceng di Pidie, Pohon Beringin Besar Dibersihkan Warga

Menurut Abdul Hadi, dari ketiga nama yang ia sebutkan, M Yamin, Sanusi Pane dan M Tabrani, baru Muhammad Yamin yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. “Kita harapkan semoga Sanusi Pane dan M Tabrani dalam waktu dekat diumumkan jadi Pahlawan Nasional.”

Abdul  Hadi yang berasal dari Madura, ini menyatakan,  bahasa yang diperlukan bukan sekedar bahasa sebagai sarana informasi dan komunikasi. Melainkan bahasa sebagai ekspresi, sebagai sarana berpikir.

”Bahasa yang hanya digunakan sebagai sarana komunikasi dan informasi tidak akan pernah berkembang. Bahasa Indonesia harus digunakan sebagai bahasa ekspresi dan bahasa berpikir. Karena itu kesusastraan harus diperjuangkan dipelajari kembali dibangku sekolah terutama kesusastraan Melayu dan  kesuastraan Indonesia,” ujarnya.

Ia mempersoalkan pengajaran sastra diperkerdil di sekolah. Padahal, katanya, pengajaran kesusastraan yang baik akan melahirkan penulis yang baik.

“Kesusastraan yang baik akan lahir di tengah masyarakat yang gemar membaca dan gemar belajar.  Tidak ada kesusastraan berkembang jika masyarakatnya jauh dari budaya literasi,” demikian Abdul Hadi WM.

Baca juga: Dituntut Pidana Mati, Ini Hal Memberatkan Kedua Terdakwa Pembunuh Ibu dan Anak di Simpang Jernih

Baca juga: Waspada! Lelang Online Mengatasnamakan Pegadaian

Ia menyatakan, kebudayaan menyangkut jiwa  suatu bangsa, tidak ada bangsa yang betul-betul tegak di muka bumi tanpa bahasa. 

“Tidak ada orang Jawa kalau tidak ada bahasa Jawa. Bahasa Jawa menunjukkan kebudayaan Jawa. Begitu juga dengan bahasa-bahasa yang lain, seperti bahasa Melayu,  bahasa Sunda dan seterusnya. Karena itu kita tidak ingin kehilangan bahasa.  Kita tidak ingin kehilangan kesusastraan.  Kesusastraan mengangkat martabat suatu bangsa.  Bahasa adalah kebudayaan. Kalau kita menggunakan bahasa lain, maka kita meminjam kebudayaan orang lain,”  lanjut Abdul Hadi

Sebaliknya, jiwa  suatu bangsa, denyut budaya dan perkembangan  jiwanya itu bisa dilihat dalam puisi, dalam epos.

Ia menyebut contoh penyair Chairil Anwar, melakukan perubahan besar  dalam pengucapan puitiknya. Dahulu, pengucapan lemah lembut ala Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Tapi Chairil Anwar merombaknya, dan menghasil  suara baru secara linguistik.

“Bahasa puisi Chairil Anwar yang paling awal meledak-ledak memperlihatkan jiwa bangsa yang ingin merdeka dan merespon diri sendiri dari ikatan budaya bangsanya,” ujarnya.

Ini dimungkinkan, karena penyair memiliki lisensia puitika. Menurut Abdul Hadi, penyair yang baik  adalah penyair yang menggunakan lisensia puitikanya secara maksimal, yaitu kebebasannya mengucapkan dengan bahasa baru yang mungkin tidak enak lagi didengar oleh suara yang lama.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved