Opini
Pendidikan Aceh: Bangkit Atau Terhimpit?
Tanggal 2 September diperingati sebagai Hari Pendidikan Aceh. Peringatan hari Pendidikan Aceh tahun ini relatif sederhana
Oleh Dr. Bahrun Abubakar, MPd, Dosen pada FKIP Universitas Syiah Kuala.
Tanggal 2 September diperingati sebagai Hari Pendidikan Aceh. Peringatan hari Pendidikan Aceh tahun ini relatif sederhana karena sedang dalam masa pandemi Covid-19. Tentu kita berharap semua stakeholder dan rakyat Aceh tetap menjadikan hari pendidikan Aceh ini sebagai momentum untuk refleksi, reevaluasi, refocusing, untuk menentukan langkah dan kebijakan terbaik untuk menyelamatkan masa depan generasi Aceh.
Sedang terhimpit
Planet bumi yang kita huni ini sekarang berada dalam fase sejarah yang sulit akibat wabah Covid-19. Virus misterius itu sampai saat ini belum mereda. Seluruh masyarakat dunia terhimpit dan panik.
Tak seorang pun yang bisa memprediksi kapan musibah ini akan berakhir. Tetapi masyarakat awam pun tahu dan merasakan dampak dari pandemi ini. Selain kesehatan dan ekonomi, pendidikan adalah bidang yang sangat terganggu.
Selama masa Covid-19 realitas praktik pendidikan berubah. Bukan hanya pembelajaran di sekolah yang harus melakukan “acrobat”, pendidikan di rumah (learning at home) pun bermasalah.
Pendidikan nonformal apalagi, tak jelas nasibnya. Keadaannya tentu berbeda antardaerah. Opsi buka-tutup sekolah disesuaikan dengan kebijakan zonasi/kluster Covid-19 (belum ada data statistic tentang hal ini).
Secara nasional dan internasional opsi yang diambil akibat kondisi pandemi ini adalah dengan menganjurkan pembelajaran online (E-learning). Nah, untuk Aceh dapat dibayangkan apa yang terjadi?
Pembelajaran via online untuk jenjang perguruan tinggi dan menengah (SMA/SMK), secara umum dapat dikatakan berjalan lumayan, jika tidak dikatakan gagal semuanya. Misalnya, penulis melihat bahwa kuliah online di USK relatif berjalan baik. Tapi bukan WTP (wajar tanpa pengecualian). Tentu ini didukung oleh manajemen sistem USK yang sudah digital.
Pada jenjang SMA/SMK tentu tidak sebaik di USK. Kondisi sekolah, fasilitas E-learning, skill guru, maupun juga masalah perangkat dan jaringan internet di pihak sekolah dan siswa amat beragam.
Ada sejumlah SMA/SMK yang lebih kreatif dalam melakukan E-learning (umumnya di kota), dan kebanyakan SMA/SMK di daerah berjalan zig-zag. Kondisi yang meresahkan terjadi pada jenjang prasekolah dan pendidikan dasar (Paud/TK/SD/SMP).
Pada jenjang dasar ini terjadi “culture shock” yang luar biasa. Pada sekolah-sekolah yang menutup pembelajaran tatap muka, itu nyaris sama dengan meniadakan anak belajar. Sangat mudah menemukan bukti kegelisahan orang tua, guru, dan pemerhati pendidikan ketika melihat anak-anak tidak bersekolah.
Kondisi yang paling parah terjadi pada TK/Paud. Memberlakukan pembelajaran online pada anak kecil secara teknis dan peadagogis adalah rumit. Akibat anak-anak dikurung di rumah, masalah sosio-emosional muncul pada anak juga orang tua. Bahkan, ada beberapa TK/Paud yang terancam bangkrut akibat sekolah tidur.
Pada tingkat SD dan SMP tiada yang indah untuk dikata selain keresahan kolektif. Tiba-tiba pembelajaran harus berubah cara. SD/SMP di daerah mungkin lebih beruntung karena jam tatap muka tidak berubah drastis.
Evaluasi yang komprehensif
Pertanyaan serius yang harus kita jawab adalah bagaimana merancang Pendidikan Aceh ke depan? Skenario pendidikan fase new normal. Pendidikan bukan perkara awam dan normatif semata. Tetapi ia adalah masalah emperik yang harus dijawab secara ilmiah.
Di negara-negara maju, pemecahan masalah pendidikan selalu didasarkan atas kajian ilmiah. Sudah tiba saatnya untuk kita meniru praktik baik di negeri lain.
Oleh karena itu, untuk memahami krisis pendidikan Aceh sekarang dan akan datang, maka perlu dilakukan suatu survei yang komprehensif. Melalui survei itu diharapkan dapat diidentifikasi “social facts” pendidikan di seluruh Aceh, dari tingkat dasar, menengah, jika mungkin sampai perguruan tinggi.
Memperkuat otonomi
Pendidikan di Indonesia selalu terjebak dalam pusaran tarik menarik kepentingan pusat vs daerah. Walau sejak masa Presiden Soekarno Aceh sudah mendapat status keismewaan pendidikan , selain dua bonus keismewaan lainnya (agama dan kebudayaan), tetapi sampai saat ini pendidikan Aceh masih belum sepenuhnya otonom.
Pada awal masa reformasi ada kebijakan otonomi daerah dan desentrasilasi pendidikan. Namun, sekarang otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan itu bagaikan pelangi yang hilang samar samar. Tidak jelas lagi kewenangannnya.
Terakhir ini saat pendidikan sedang sekarat karena pandemi, Mendikbudristek memberlakukan kebijakan “Merdeka Belajar” untuk pendidikan dasar dan menengah, dan “Kampus Medeka” untuk perguruan tinggi. Kebijakan itu secara filosofi adalah baru dan progresif, tetapi apakah ia mampu dieksekusi oleh pihak sekolah yang sedang panik? Tampaknya, tangan-tangan pusat di hulu tidak cukup panjang untuk menjangkau semua persoalan sekolah di hilir.
Dari turunan “merdeka belajar” itu sedang dan akan dilakukan penguatan kurikulum pada dua inti (core) mata pelajaran, yaitu literasi dan numerasi. Konon sebentar lagi akan dilakukan asesmen kompetensi minimum.
Berkelindan dengan itu juga akan dilakukan survei karakter dan pemetaan lingkungan (ekosistem) pendidikan. Kebijakan baru itu mungkin bagus, tetapi apakah sekolah dan para pihak siap?
Mari kita menyambut apapun kebijakan pendidikan pusat dengan menyesuaikan dengan kondisi sosio-kultural-psikis keacehan. Otonomi daerah perlu dicari ruang untuk diperkuat. Selain menyokong operasional peadagogik di sekolah, otonomi pendidikan ini juga berdimensi politis: memperjelas realisasi peran daerah dalam spektrum pendidikan Aceh sebagaimana tersurat dalam UUPA dan MoU Helsinki.
Dalam konteks revitalisasi otonomi daerah tentu banyak hal yang perlu dikaji kembali seraya mengevaluasi apa yang terjadi. Salah satu hal yang penting adalah merajut kembali “mata rantai” pendidikan Aceh yang selama ini cendrung terputus-putus. Misalnya, pemisahan kewenangan pendidikan antara propinsi dan kabupaten/kota (menengah dan dasar) juga punya potensi masalah sosiologis yang serius. Sungguh pun hal ini jarang terdeteksi oleh pengamatan awam.
Pada sisi lain, akibat kaburnya otonomi pendidikan, partisipasi publik dalam pendidikan juga menjadi absurd. Ambil contoh, peran perguruan tinggi dalam memajukan pendidikan Aceh tidak jelas. Jika perguruan tinggi sebagai sarang pemikir tidak terlibat secara strategis dalam pendidikan Aceh, dapat dibayangkan apa yang terjadi?
Apakah para birokrat pendidikan Aceh sudah tidak disangsikan lagi kepakarannya dalam mengatasi semua persoalan pendidikan? Nyatanya tidak.
Para cendikiawan Aceh, termasuk juga pihak swasta dan LSM/NGO yang propendidikan sulit mencari pintu masuk ke sekolah dan birokrasi pendidikan. Tidak aneh jika di ruang publik dan sosmed tiap hari kita mendengar “ratapan” pendidikan.
Mungkin ratapan ini kurang terdengar oleh pengambil keputusan. Beda dengan tahun terdahulu komunikasi antara pemerintah dengan kampus dan swasta berjalan baik, terakhir ini nyaris tidak kelihatan.
Dalam soal guru misalnya, bagaimana cara meng-update kompetensi guru dalam jabatan, jika hanya dengan pelatihan singkat dan tautalogis? Ya semacam jeruk makan jeruk? Lebih jauh, dalam menyusun perencanaan pendidikan, katakanlah oleh Disdik Aceh, itu juga rentan masalah.
Perencanaan pendidikan Aceh terlebih dalam beberapa tahun terakhir belum dapat memotret semua kebutuhan rill prioritas. Anggaran refocusing pendidikan juga dipertanyakan.
Terakhir, sekali lagi kita berharap ke pemerintah Aceh agar menaruh perhatian yang serius tentang pendidikan anak-anak Aceh yang sedang terhimpit. Kondisi politik di Aceh terakhir ini memang sedang tidak kondusif.
Terkesan eksekutif dan legislatif suka berbalas pantun. Akan tetapi jika sudah berbicara tentang pendidikan Aceh, kita yakin mereka akan berdamai. Tiada seorang pun dari generasi tua yang ingin dikutuk oleh generasi penerus.
Ingat, dengan kemajuan teknologi informasi, kecerdasan buatan, dan big data, sejarah hari ini akan dengan mudah dilacak oleh anak cucu kita.