Berita Langsa
Mengenang Kembali Satu Abad Kiprah Pelabuhan Kuala Langsa
Pelabuhan Kuala langsa mulai berkiprah sejak digagaskan tahun 1910 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan perantara Asisten Residen de Schemaker
Penulis: Zubir | Editor: Muhammad Hadi
Terutama program modermisasi pelabuhan maritim Kuala Langsa dan stasiun Atjeh Tram Kuala Langsa, yang saling keterkaitan dari rencana politik pasifikasi Pemerintah Kolonial Belanda di Aceh dan identik dari visi dan misi Pax Nerlandica dalam memperkuat kedaulatan/kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di nusantara kala itu.
Dalam kaitan itu pula, program pembangunan pelabuhan Kuala langsa sebagai pelabuhan utama dibidang ekspor–impor mulai diawal penanaman modal swasta asing untuk lahan perkebunan karet dan kota hiburan, serta pembangunan berbagai infrastruktur yang menunjang program modernisasi di pantai timur Aceh kala itu.
Baik pelabuhan maritim dan stasiun Atjeh Tram Kuala Langsa, sejak tahun 1910 sampai dengan 1914, keduanya sarana infrastruktur yang saling berdampingan dan berfungsi.
Sehingga program modernisasi di bidang perekonomian di pantai timur Aceh, semakin berpeluang besar terhadap rute transportasi angkutan darat dan laut.
Baca juga: Tim Dosen Sejarah Unsam Langsa Temukan Dermaga Lama Pedagang Aceh di Peusangan
Terutama dalam hal kegiatan bongkar muat barang-barang serta keluar masuknya kapal dan perahu-perahu nelayan maupun pedagang eksportir atau komoditas dari suatu negara ke negara lain.
Juga angkutan transportasi darat Atjeh Tram, ikut berperan aktif beroperasi pada masa Pemerintah Kolonial Belanda, dan dijadikan pelabuhan maritim dan stasiun Kuala Langsa, beroperasi mulai dari skala bisnis kecil sampai menengah sebagai strategi utama untuk bersaing di tingkat regional dan internasional.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di pantai timur Aceh, terutama pelabuhan Kuala Langsa memegang posisi kunci pada skala regional dan internasional sebagai pusat pelayanan angkutan hasil perkebunan masyarakat Aceh satu abad silam.
Sehingga perkembangan ekonomi di pantai timur selain dari hasil angkutan kayu bakau dan arang untuk diekspor keluar negeri.
Juga peran Atjeh Tram pada dekade (1931–1939) menerima tawaran mengangkut hasil tanaman modern dikirim ke tujuan yang sama, untuk dikapalkan melalui Langsa Bay dan Aru Bay.
Dari kedua pelabuhan ini, saling memberi andil dibidang angkutan komuditi, kemudian diekspor ke Singapura dan ke Eropa, untuk kepentingan kolonial Belanda.
Baca juga: Jangan Lupakan Sejarah: Rakyat Aceh Sumbang Pesawat dan Emas Monas, Sultan Siak Uang 13 Juta Gulden
Industri kulit kayu dan arang, ada yang di ekspor ke Pulau Penang, ada juga diangkut ke Pulau Jawa dengan perantara Langsa Bay dan Aru Bay, dimuat dengan kapal Belawan untuk pengusaha batik, pabrik sabun dan pabrik kertas di Padalarang di Jawa. Bahkan ke Eropah dikirim sekalipun.
Dalam tahun 1940, Pemerintah Belanda menjadikan pelabuhan Kuala Langsa sebagai pusat transportasi maritim ke Singapura dan Thailan sampai Eropah Barat (negeri Belanda) di eksport hasil perkebunan pantai timur dan pendalaman Aceh Aceh; getah/latek, sawit, kopi, kelapa, beras, kulit tegar, dan lada.
Aktifitas ini sampai zaman Jepang (1942-1945), bahwa aset-aset Belanda di pantai timur Aceh beralih seluruhnya termasuk perkebunan swasta dan Pelabuhan Kuala Langsa menjadi sentral pengembangan ekonomi.
Tetapi kian menurun di sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan pertambangan, karena Jepang lebih mengutamakan benteng pertahanan pantai alasannya menahan serangan tentara sekutu dan logistik perang.
Baru tahun 1950, pelabuhan Kuala Langsa kembali beroperasi kapal berukuran 1.000 DWT, tujuan Singapore, Malaysia dengan “Sitem Barter” yang berlangsung selama 5 tahun.