Konservasi

MA dan Pakar Hukum  Bahas Soal Hambatan Eksekusi PT Kallista Alam

Penolakan PN Suka Makmue ini menyebabkan appraisal atau proses penghitungan nilai asset yang hendak dieksekusi menjadi terhambat.

Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
Dok HAkA
Pakar hukum dari Universitas Syah Kuala, Mahkamah Agung (MA) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis (16/9/2021) duduk bersama dalam forum pertemuan ahli (expert meeting) membahas gagalnya eksekusi terhadap perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam yang telah diputus bersalah oleh pengadilan. 

Akibat tindakan itu, PN Meulaboh pada 15 Juli 2014 memvonis PT Kallista Alam bersalah dan wajib membayar ganti rugi Rp 366 miliar, dengan rincian  Rp114,3 miliar ke kas negara dan membayar dana pemulihan lahan Rp251,7 miliar.

Upaya perlawanan  telah dilakukan  PT Kallista Alam untuk membatalkan putusan itu. Namun  sampai di tingkat PK, Mahkamah Agung tetap memenangkan  Kementerian LHK selaku penggugat. Putusan bersifat inkracht  dan harus dieksekusi.

Untuk proses eksekusi, PN Meulaboh telah  mendelegasikan kewenangan kepada PN Suka Makmue.  Sebelumnya kasus ini ditangani PN Meulaboh  karena saat sengketa muncul,  belum ada pengadilan di Nagan Raya sebagai daerah hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat. Pada awal 2019 barulah  PN Suka Makmue terbentuk, sehingga kewenangan eksekusi putusan pengadilan add di PN Suka Makmue.

Namun belakangan PN Suka Makmue memiliki penafsiran berbeda soal kewenangan atas eksekusi lelang asset PT Kallista Alam itu. Mereka merasa kewenangan yang diberikan tidak lengkap, sebab tidak ada putusan yang menegaskan PN Suka Makmue berhak masuk ke lokasi PT Kallista Alam dan berhak menilai asset yang akan dilelang.  Mereka menuntut ada amar putusan baru yang menegaskan hak tersebut. Selagi amar putusan belum ada, PN Suka Makmue  tidak mau masuk ke lokasi sengketa.

Anehnya, Ketua PN Suka Makmue  justru telah mengukuhkan dan mengambil sumpah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) selaku pihak yang melakukan appraisal terhadap asset yang akan disita. KJPP yang telah ditetapkan itu adalah  Pung’s Zulkarnain dan Rekan.

Hanya saja, saat KJPP hendak melakukan penghitungan nilai asset di lokasi yang akan disita, mereka diusir oleh petugas PT Kallista Alam karena tidak ada pendampingan dari juru sita PN Suka Makmue. Dua kali KJPP Pung’s Zulkarnain dan Tim Kementerian LHK  masuk ke lahan PT Kallista Alam, dua kali pula mereka dihandang. Padahal tim itu  didampingi petugas dari Polda Aceh dan Polres Nagan Raya.

Jasmin Ragil Utomo dari Kementerian LHK menuding PN Suka Makmue  sebagai penyebabnya, karena enggan mendampingi tim appraisal ke lapangan. “Mereka sudah menetapkan KJPP, tapi kerja KJPP di lapangan tidak didampingi,” tegasnya.

Padahal putusan terhadap PT Kallista Alam itu sempat mendapat sorotan internasional. Sistem peradilan di Indonesia mendapat pujian dunia karena dianggap peduli dengan upaya pelestarian lingkungan.

“Nyatanya, putusan itu hanya di atas kertas. Eksekusi tidak juga bisa dilaksanakan,” tegas Ragil.

Baca juga: Taliban Sita Uang Tunai Rp 177 Miliar dari Mantan Pejabat, Berupaya Atasi Kekurangan Dana

Baca juga: Oknum Guru Honorer Nekat Cabuli Putri Kandung Usia 7 Tahun, Alasan Sudah 2 Tahun Tak Dilayani Istri

Pandangan para ahli

Para pakar hukum memahami bahwa  ada ketidakjelasan terkait regulasi tata cara eksekusi kasus lingkungan ini. Meski demikian,  M Gaussyah menilai, ketika kewenangan eksekusi sudah diberikan PN Meulaboh kepada  PN Suka Makmue, artinya proses eksekusi sudah bisa dijalankan sepenuhnya.

“Proses pendelegasian itu sudah sah dan dibenarkan secara hukum,” ujar  Dekan Fakultas Hukum USK itu. Atas dasar itu, Ketua PN Suka Makmue seharusnya bisa menjalankan kewenangan eksekusi tanpa perlu ragu.  Jika  Ketua PN Suka Makmue masih ragu, Gaussah menyarankan agar masalah ini adukan ke Komisi Yudisional dan lembaga Ombudsman.

“Bisa jadi ada maladministrasi di sana. Paling tidak pengaduan ini mendorong agar hambatan hokum terkait eksekusi itu lebih jelas,” tambah Gaussyah.

Pandangan  ini didukung oleh Rismawati, dosen senior  Fakultas Hukum USK. Meski sependapat bahwa aturan eksekusi dalam sistem hukum Indonesia masih carut marut, Rismawati tetap melihat  ada kewenangan luas dari Ketua PN Suka Makmue mendorong berjalannya ekskusi itu.

“Selagi tidak bertentangan dengan aturan hukum, hakim bisa  membuat terobosan baru terkait eksekusi. Dia harus kreatif melihat celah hokum yang harus diisi. Jangan gamang. Kalau  Ketua PN Suka Makmue ragu, sampai kapanpun ekseksi tidak akan pernah dilakukan,” ujar Rismawati.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved