Lingkungan

Pegiat Lingkungan: Dana Hibah Untuk Konservasi di Aceh Dikuasai LSM Luar

Bahwa dana hibah dari negara donor peduli lingkungan yang diplotkan untuk konservasi Aceh, banyak 'dirampok' oleh lembaga nasional dan internasional.

Penulis: Zubir | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/Foto Balee Juroeng
Direktur LSM Bale Juroeng, Iskandar Haka (dua kiri), usai melakukan diskusi terbatas di Kota Langsa bersama pegiat lingkungan lainnya. 

Laporan Zubir I Langsa

SERAMNINEWS.COM, LANGSA - Sudah sejak lama kiprah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal di Aceh kurang mendapatkan akses pendanaan dari luar negeri.

Sebagian besar dana hibah untuk konservasi lingkungan tersebut dikuasai LSM nasional dan NGO luar yang membuka kantornya di Indonesia.

"Melalui jaringan kerja mereka, segala aktivitas disalurkan melalui LSM yang berada di Sumut. Kita telah lama mengamati keadaan ini," ujar Iskandar Haka, pegiat lingkungan lokal di Aceh juga Direktur LSM Bale Juroeng, pada diskusi terbatas di Kota Langsa, Jumat (5/11/2021).

Menurut Iskandar, bahkan pada peringatan hari Lingkungan Hidup Se-Dunia tanggal 5 Juni 2021 lalu, LSM Bale Juroeng telah menyampaikan kepada media.

Baca juga: Calo Gentayangan, Kadiskop UKM dan Transmigrasi Agara Minta Mayarakat jangan Percaya

Bahwa dana hibah dari negara donor peduli lingkungan yang diplotkan untuk konservasi Aceh, banyak 'dirampok' oleh lembaga nasional dan internasional.

"Lalu, mereka membagikan program kegiatan kepada banyak mitra kerja mereka yang keberadaannya di luar provinsi Aceh," paparnya.

Sehubungan dengan pernyataan Direktur WALHI Aceh, bahwa efektivitas program TFCA Sumatera sangat lemah dan tidak memberikan hasil yang signifikan, Iskandar Bale Juroeng membenarkan pernyataan Walhi tersebut, karena faktanya itulah yang terjadi saat ini.

Bahkan dalam waktu yang lama dan di berbagai kesempatan, pihaknya telah menyuarakan bahwa kegiatan-kegiatan konservasi di Leuser tidak mempunyai hubungan dengan ekosistem di Provinsi Sumatera Utara.

Maksudnya adalah, Hutan Leuser itu dicatut dan digandengkan luas kawasannya dengan hutan yang berada di Sumatera Utara.

Baca juga: VIDEO Rintik Hujan Iringi Pemakaman Vanessa Angel dan Bibi di TPU Malaka Pesanggrahan Jaksel

Tidak pernah ada penelitian yang dipublikasikan secara ilmiah bahwa luasan KEL itu meliputi ekosistem di Sumatera Utara.

"Kalau pun ada hanya segelintir saja, itu pun sudah menjadi kebun pohon kelapa sawit," jelas Iskandar Haka.

Sementara Direktur Program dari Forum Das Krueng Langsa (KSDL), Reza Arizqi, SHI, MHI memaparkan kawasan inti hutan Leuser dengan segala isinya telah lama harmonis.

Masyarakat yang tinggal di gampong (desa) enclave berbatasan dengan hutan Leuser tidak perlu diajarkan tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Mereka telah terstruktur mengelolanya secara arif dan bijaksana. Ada Pawang Uteun, Pawang Rimung (Harimau), Panglima Gajah dan Lembaga Adat lainnya sampai ke hilir seperti Panglima Laot, Pawang engket (ikan), muge, keujren blang dan masih banyak lagi.

"Itu adalah bukti pemangku adat dan kegiatan adat dalam mengelola lingkungan, kami masyarakat Aceh telah memiliki dan sangat paham," katanya.

Munazir, SHI, MHI dari LSM GEPRAK, juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan oleh kelompok masyarakat di Aceh hendaknya bagi negara-negara donor menyalurkan secara langsung kepada masyarakat Aceh.

"Karena kami mengetahui secara pasti kepedulian mereka secara global dalam mengatasi Climate Change," jelasnya.

Disamping itu, sebut Munazir, negara-negara pemberi donor langsung atau tidak langsung mempunyai kepentingan yang signifikan di Provinsi Aceh yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA).

Hasil bumi menunjukkan bahwa SDA di Aceh hampir semua ada, dari emas sampai batu giok, dari kayu yang berkualitas sampai kayu gaharu yang menghasilkan gupal terbaik, dari kopi Arabica Gayo sampai minyak nilam Aceh Selatan berkualitas terbaik di dunia.

Kemudian minyak dan gas bumi silih berganti ditemukan cadangan potensial baru yang memberi harapan besar bagi bangsa ini.

Baca juga: Kayu Masih Berserak di Rumah Warga, Terbawa Banjir Pekan Lalu

Pembina LSM Uteun Uranium, M. Adi Naser, SE, menyatakan bahwa dari hypotesa dibeberapa lokasi di Aceh memiliki cadangan hasil tambang uranium yang lebih ramah dari sisi radiasi.

Hal ini memberikan gambaran bahwa beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh disekitar loaksi uranium dapat mereduksi sebaran radiasi. Ini memang perlu penelitian lebih lanjut.

Akan tetapi masyarakat lokal di sekitar hypotesa terdapat kandungan uranium secara turun- temurun telah menandai wilayah itu sebagai kawasan yang perlu dijaga keberadaannya, terutama hutan alamnya.

Mengenai hal ini juga perlu dilakukan pengkajian Antropologo Lingkungan. Kami masyarakat Aceh telah lama diwariskan pemahaman-pemahaman untuk selalu menjaga hutan secara lestari.

Kesimpulan dari pertemuan pegiat lingkungan di Aceh ini, lanjut Iskandar Haka, mendukung pernyataan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh.

Bahwa sejumlah satwa kharismatik yang berada di hutan Aceh terus terjadi konflik satwa dengan manusia, perburuan liar oleh oknum masyarakat.

"Lalu, degradasi hutan dan banyak lagi kejanggalan dan kesalahan kita dalam mengelola hutan secara bijaksana dan berkelanjutan," imbuhnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved