Opini
Aceh Ini Istimewa dan Khusus
Keistimewaan dan kekhususan Aceh merujuk pada tiga undang-undang yang pernah disahkan, yaitu pertama UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Oleh Dr. Yuni Roslaili, MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Keistimewaan dan kekhususan Aceh merujuk pada tiga undang-undang yang pernah disahkan, yaitu pertama UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, kedua UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggore Aceh Darussalam, dan ketiga UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA.
Sebenarnya ada lagi undang-undang yang mengatur tentang keistimewaan Aceh yaitu UU No. 22 Tahun 1999 pasal 122 tentang keistimewaan Aceh dan Yogyakarta namun undang-undang ini jarang disampaikan, mungkin karena merupakan sebuah pasal dalam Undang- Undang Pemerintahan Daerah.
Mencermati sejumlah undang-undang tersebut, berarti untuk Aceh diberikan dua predikat oleh Pemerintah Pusat yaitu Aceh sebagai daerah istimewa dalam menjalankan syariat Islam dan Aceh sebagai daerah khusus. Jadi istimewanya Aceh adalah sebagai negeri bersyariat ada pun kekhususan Aceh dalam masalah pemerintahan dengan UUPA-nya. Oleh karena itu Aceh mendapat dua sebutan sekaligus yaitu daerah istimewa dan daerah khusus. Jika merujuk kepada nama Yogyakarta dengan sebutan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, seyogyanya Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa dan Khusus Aceh.
Sebuah proses politik?
Berdasarkan undang-undang keistimewaan dan kekhususan tersebut, tidak sedikit tulisan dan kajian yang menyebut syariat Islam di Aceh hari ini hanyalah hasil dari sebuah proses politik. Stigma yang cenderung peyoratif ini tidak bisa sepenuhnya ditolak, sebab dalam kenyataan empiris, hukum sebagai kehendak masyarakat di negara demokratis memang tidak dapat dilepaskan dari politik kekuasaan. Teori Trias Politika yang telah menjadi rujukan dalam membagi kekuasaan di zaman sekarang ini telah menempatkan lembaga legeslatif bersama eksekutif sebagai pembentuk hukum.
Oleh karena itu aroma politik akan selalu kental dalam setiap pembentukan hukum tidak terkecuali di Aceh. Semestinya mereka tidak terlalu tendensius melihat kasus hukum di Aceh.
Namun secara historis pun, klaim tersebut terkoreksi, jika materi analisanya ditarik sedikit lebih jauh, yaitu sebelum negara kesatuan Indonesia ini lahir. Dengan melihat sejarah bahwa Aceh memiliki kaitan yang sangat erat dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia dan keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di nusantara ini. Dan background sejarah ini pun sering menjadi konsideran dalam setiap undang-undang yang dibuat untuk Aceh.
Sebut contoh misalnya UU No. 44 Tahun 1999 dalam konsiderannya disebutkan: a. Bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya uang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah; b. Bahwa kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri.
Demikian isi konsiderannya. Maka di sini, kita bertanya meskipun keistimewaan dan kekhususan Aceh lahir melalui suatu proses politik, tapi jika tidak ada background social historis yang agamis, mungkinkah diberikan hak istimewa dan khusus bagi Aceh?
Lex Specialis Derogat Legi Generalis
Maksud dari azas hukum ini adalah peraturan khusus dapat mengenyampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Dalam hal ini daerah dapat saja memberlakukan Perda yang dibuatnya sendiri sepanjang dalam koridor kewenangan yang diberikan, meskipun dengan mengenyampingkan hukum yang bersifat umum dengan status hirarkisnya yang lebih tinggi. Berdasarkan teori ini daerah ditentukan sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dan daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dirinya sendiri dalam porsi yang lebih besar, termasuk dalam melahirkan Perda sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan daerah tersebut, sebagaimana diakui oleh UUD 1945 Pasal 18A dan 18B.
Ada yang membantah azas hukum ini dengan azas hukum sebaliknya, yaitu lex superiore derogat legi infiriore, bahwa secara hirarkis peraturan perundang undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Menurut saya azas lex superiore derogat legi infiriore ini tidak berlaku untuk daerah istimewa dan khusus seperti Aceh. Azas hukum tersebut berlaku pada wilayah yang tidak diberi gelar istimewa dan khusus. Sebab jika diberlakukan juga untuk Aceh lalu apa fungsinya sejumlah undang-undang yang memberi hak istimewa dan khusus untuk Aceh? Hal ini seperti yang disebutkan oleh Al Yasa’ Abu Bakar dalam buku beliau yang berjudul “Syariat Islam di Aceh Sebagai Keistimewaan dan Otonomi Asimetris (Telaah Konsep dan Kewenangan)”, bahwa semenjak awal memang telah disadari bahwa Aceh hendak diberi hak istimewa dan khusus.
Oleh karena itu jika sama dengan daerah lain untuk apa gelar istimewa dan khusus untuk Aceh? Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie juga mengatakan bahwa mempedomani prinsip hukum lex superiore derogat legi infiriore sepanjang kaitannya dengan bagian-bagian hukum dalam sistem negara yang masih tersentralisasi, karena adanya koridor hukum yang tegas yang berlaku secara nasional. Jadi bukan prinsip semangat otonomi daerah seperti saat ini.
Dan sikap ini bukan dalam rangka mengadakan perlawanan hukum tetapi mengamalkan pesan otonomi daerah yang diamanatkan oleh UU No.18 Tahun 2001. Tulisan ini disampaian Jimly Asshiddiqie dalam “Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta : Al Hikmah Ditbinbapera Islam Depag RI” pada tahun 2001 dalam menanggapi bentuk hukuman cambuk di Aceh.
Butuh Pimpinan yang Istimewa dan Khusus
Dalam teori Lawrence M. Friedman disebutkan bahwa setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen yang terpenting dalam penegakan sebuah aturan hukum, yaitu komponen struktural, substansial dan kultural. Dalam teori tersebut disebutkan bahwa komponen pertama sekaligus yang utama adalah komponen struktural. Jika dikaitkan pada konteks Aceh, hal ini selaras dengan bunyi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11/ 2006 pasal 270 yang menyatakan secara tegas bahwa pelaksanaan dan wewenang pelaksanaan syariat Islam di Aceh menjadi tanggung jawab dan tugas Pemerintah.
Oleh karena itu tulisan ini mendasarkan pada argumen bahwa faktor kepemimpianan sangat mempengaruhi laju kesuksesan sebuah perjalanan hukum. Hal ini selaras dengan yang dikatakan Donald Black, bahwa dimensi keterlibatan manusia dalam penegakan hukum dinamakan dengan mobilisasi hukum. Dan yang paling berkuasa memobilisasi manusia di suatu wilayah hukum adalah penguasa.
Kekhususan dan keistimewaan Aceh jika dikaitkan dengan syariat Islam sangat khas dan unik. Di satu sisi harus menjadikan ajaran agama sebagai cita-cita idealistic, namun di sisi lain secara realistik berada dalam koridor negara kesatuan Republik Indonesia yang notabene tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang berani dan memahami posisi otonomi yang diberikan untuk Aceh oleh Pemertinta Pusat adalah otonomi yang bersifat asimetris (AlYasa’: 2019), yaitu hubungan korelasi yang digunakan di mana satu variabel mempengaruhi variabel yang lain, tetapi hubungan tersebut tidak timbal balik.
Hubungan tersebut adalah hubungan yang berasal dari hubungan antarkonsep saja. Oleh karena itu tidak boleh ada keraguan bagi pemimpin Aceh dalam membuat planning dan program perencanaan untuk Aceh yang istimewa dan khusus ini. Wallahul Musta’am.