Opini

Perempuan dalam “Sakratul Maut”

Siang itu, cuaca terasa panas. Sepanas berita yang disuguhkan surat kabar. “Seorang Remaja Dirudapaksa dan Digilir 14 Pemuda

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Perempuan dalam “Sakratul Maut”
IST
Pegiat di Forum Aceh Menulis (FAMe) dan Pemerhati Isu Perempuan

Begitu juga kasus dengan pelaku dari kalangan tenaga pendidik, baik ustaz, guru, hingga dosen di perguruan tinggi. Namun setelah mengedit buku tersebut, saya tak lagi kerkejut dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang marak diberitakan saat ini.

Kasus tersebut bukanlah isu baru. Namun baru menyeruak ke permukaan karena baru diberitakan. Sebelumnya tidak banyak yang berani melaporkan.

Ketika mengedit buku tersebut tiga tahun lalu, saya berulang kali tanya kepada para pendamping korban kekerasan dari LBH APIK: Apakah kasus-kasus tersebut benar terjadi di Aceh?

Bukan maksud saya meragukan kebenaran data yang disuguhkan, tapi rasanya sulit percaya bahwa kasus-kasus mengerikan tersebut terjadi di Aceh. Tanah yang disebut-sebut sebagai negeri syariat.

Korban adalah aib

Masih segar dalam ingatan kasus pelecehan seksual yang menimpa mahasiswa Unri pada November lalu yang dilakukan oleh dosennya saat bimbingan skripsi.

Tak tahan dengan perlakuan tersebut, korban akhirnya curhat di media sosial terkait pelecehan seksual yang dialaminya. Pelaku akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus selanjutnya pada awal Desember lalu, seorang guru pesantren di Bandung yang memerkosa 12 santrinya. Karena punya kuasa, pelaku seolah memiliki hak atas tubuh korban (korban powerless). Dua kasus pelecehan seksual yang menyita perhatian nasional.

Apakah itu kasus baru? Tidak. Jauh sebelum itu, kasus-kasus serupa terjadi di banyak tempat.

Tidak terkecuali di Aceh. Bahkan ada yang lebih mengerikan: pelecehan seksual berakhir dengan pembunuhan. Di Aceh sendiri, sepanjang tahun 2021, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Aceh mencatat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mencapai 697 kasus yang terjadi selama rentan waktu Januari-September 2021.

Lalu mengapa kasus-kasus tersebut selama ini seolah tak ada atau minim jumlahnya? Karena tak banyak yang berani melaporkan. Ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung korban.

Dalam banyak kasus, korban, terutama perempuan, dituntut untuk menjaga aib keluarga dengan tidak menceritakan hal tersebut kepada banyak orang.

Tidak hanya menjaga aib keluarga, korban juga diminta untuk menjaga nama baik pelaku. Misalnya karena pelaku adalah orang terpandang di kampungnya.

Korban dicengkram ancaman

Inilah yang disayangkan dari konstruksi berpikir masyarakat kita. Korban harus menanggung berlapis-lapis penderitaan. Tidak hanya direnggut hidupnya, korban juga harus menanggung sakitnya dikucilkan masyarakat.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved