Opini
Mengurai Kemiskinan Aceh Melalui Penguatan Wilayah Belakang
Wilayah belakang (hinterland) sering dimaknai sebagai daerah yang terletak di pedalaman (inland) atau di belakang pesisir (coast)

Oleh Dr. Ishak Hasan, M. Si, Dosen USK Ditugaskan sebagai Wakil Rektor II UTU Meulaboh
Wilayah belakang (hinterland) sering dimaknai sebagai daerah yang terletak di pedalaman (inland) atau di belakang pesisir (coast).
Sering juga digambarkan sebagai wilayah di belakang pelabuhan.
Posisi wilayah belakang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa.
Hal ini mengingat wilayah ini menjadi sumber pasokan penting bagi industri dan pasar di wilayah depannya, baik untuk berbagai kebutuhan domestik maupun untuk ekspor.
Wilayah belakang ini menjadi sangat penting diberi penguatan agar berbagai kebutuhan dapat dipasok dari daerah ini.
Wilayah belakang di banyak negara telah berperan penting sebagai penopang utama kehidupan di wilayah depannya.
Perkotaan tidak akan bisa berkembang dengan baik tanpa disokong kuat oleh wilayah belakang ini.
Berbagai sumberdaya ekonomi banyak dipasok dari wilayah belakang ini, di antaranya produk holtikultura, rempah, hasil-hasil peternakan, hasil perkebunan, olahan kayu, mineral, dan lain-lainnya yang bernilai ekonomi tinggi.
Akhir-akhir ini banyak pihak mulai merisaukan dan ikut mendiskusikan pentingnya penguatan wilayah belakang ini.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya tingkat kemiskinan yang tinggi, meningkatnya angka pengangguran, ketergantungan pada impor terhadap barang-barang yang sebenarnya bisa dihasilkan sendiri.
Demikian juga dengan telah tersedianya infrastruktur jalan, jembatan dan pelabuhan yang memadai telah menjadi pendorong utama untuk mengembangkan potensi dan basis ekonomi wilayah belakang.
Dengan kuatnya basis ekonomi wilayah belakang diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam mengurai kemiskinan Aceh saat ini yang masih setia bertengger di urutan tertinggi di Pulau Sumatera.
Hasil pengamatan saya sudah ada beberapa wilayah depan yang sudah siap untuk digunakan dalam mengoneksi wilayah belakang Aceh.
Mulai dari Pelabuhan Sabang, Pulo Aceh, dan Malahayati di Aceh Besar daerah paling utara, Lhokseumawe, Langsa di pantai timur telah tersedia secara memadai sebagai pelabuhan untuk pintu keluar dan difungsikan sebagai pole untuk mendistribusikan sumber-sumber yang ada.
Demikian juga di Pantai Barat Selatan Aceh telah tersedia beberapa pelabuhan dengan kondisi yang bagus mulai dari Calang Aceh Jaya, Meulaboh Aceh Barat, Labuhanhaji, dan Tapaktuan di Aceh Selatan.
Di Aceh Singkil dan Sinabang, Kabupaten Simeulu juga bisa mengkoneksikan antarpelabuhan ke pelabuhan yang lebih besar.
Pelabuhan-pelabuhan tersebut bisa dikategorikan sebagai pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, pelabuhan pengumpan, dan pelabuhan pengumpul regional.
Pelabuhan sebagai pintu keluar dari wilayah belakang yang ada di Aceh saat ini harus bisa difungsikan secara maksimal, misalnya untuk ekspor CPO dan produk olahan lainnya.
Dilansir dari Harian Serambi Indonesia, Kamis 4 November 2021, Fadhli Ali selaku Sekretaris Umum APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Wilayah Aceh saat ini ada 35 PKS di Aceh.
Dari jumlah tersebut baru beberapa saja yang mengekspor menggunakan pelabuhan di Aceh.
Ini tentu menjadi memomentum yang baik bagi Aceh untuk memfungsikan pelabuhan yang sudah ada.
Apalagi menurut harian ini juga memberitakan bahwa Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh mengatakan bahwa luas areal tanaman sawit di Aceh yang dimiliki perusahaan perkebunan mencapai 226.
100,82 hektar dan sawit milik rakyat seluas 242.819 hektare.
Total produksi tandan buah segar (TBS) per tahun 1.809.616,57 ton dan menjadi CPO mencapai 361.923,31 ton per tahun.
Jika potensi sumberdaya dari sawit ini dioptimalkan untuk pintu keluar yang ada maka aktivitas ekonomi di pelabuhan akan memberi dampak besar bagi wilayah belakang.
Hinterland Aceh yang sangat luas dan kaya dengan berbagai potensi sumberdaya yang sangat besar tentu akan mampu menumbuhkan ekonomi baru di berbagai kawasan yang bisa meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat.
Produk wilayah belakang selain sawit relatif banyak, hanya saja belum diusahakan secara profesional, terintegrasi dan terukur.
Hasil-hasil perkebunan yang masih memiliki potensi besar untuk diusahakan di wilayah belakang ini di antaranya produk minyak atisiri, seperti nilam, pala, dan serai wangi merupakan komoditas yang bernilai ekonomis tinggi jika dikembangkan dalam skala yang lebih luas.
Pinang, kelapa, rotan, kopi, karet dan rempah lainnya seperti lada, vanili, kulit manis bisa terus didorong secara besar-besaran agar pintu-pintu keluar yang ada bisa terus beraktivitas secara rutin tanpa henti.
Selain produk pertanian dan perkebunan, hasil-hasil perikanan tambak dan peternakan jika diusahakan dalam skala yang besar juga akan menjadi sumber penting di wilayah belakang untuk diangkut ke wilayah depannya.
Peningkatan kapasitas produksi holtikultura dengan lahan yang luas masih memiliki prospek yang sangat bagus untuk dibudidayakan dalam skala yang luas.
Mengingat permintaan pasar di luar seperti di Timur Tengah sangatlah besar, diperlukan manajemen yang profesional agar lebih fokus mendorong wilayah belakang ini untuk berkembang secara optimal.
Pengembangan wilayah belakang akan bisa menyeret anak-anak muda Aceh yang semakin bertambah setiap tahunnya dari berbagai alumni perguruan tinggi agar menjadi penopang penting bagi pengembangan wilayah belakang dan juga wilayah depannya.
Baca juga: Parahnya Kemiskinan di Negara Ini, Uang Dollar Robek Jadi Rebutan, Ternyata Digunakan Untuk Ini
Baca juga: Mendagri Perintahkan Pengentasan Kemiskinan Ekstrem di Tujuh Provinsi
Sumberdana Otonomi khusus yang masih ada bisa diarahkan untuk penguatan wilayah belakang ini sebagai basis ekonomi guna menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan di masa depan.
Menguatkan hinterland Aceh
UTU sebagai lembaga pendidikan tinggi dengan tridarmanya telah berupaya mendukung berkembangnya wilayah belakang agar menjadi sumber pasokan wilayah depan yang berkelanjutan.
Dosen dan mahasiswa UTU terus didorong untuk membagikan ilmu pengetahuan yang ada di berbagai program studi untuk bisa mencerahkan masyarakat berkaitan dengan sektor agro dan marine sebagai core product UTU.
Riset dosen UTU juga semakin diarahkan untuk mampu menghasilkan kualitas produk yang bermutu tinggi.
UTU saat ini memiliki kebun pertanian (University Farm) yang saat ini telah memprakarsai riset-riset yang terkait dengan komoditas unggulan, termasuk pisang.
Mengingat komoditas pisang jika diusahakan secara sungguh-sungguh untuk tujuan ekpor akan mendatangkan devisa yang relatif besar.
Banyak negara di dunia seperti Thailand, Philipina, Guyana dan beberapa negara lain di Amerika Selatan telah mengembangkan pisang secara profesional untuk kebutuhan pasar dunia.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat juga didorong untuk menumbuhkan semangat masyarakat agar ikut mengembangkan potensi yang ada di wilayah belakang mereka.
Menyadarkan mereka bahwa potensi yang mereka miliki mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dalam memperbaiki kualitas kehidupan.
Banyak kerjasama UTU telah dilakukan dengan pemerintah daerah di Aceh agar bisa bermitra secara bersama-sama dalam menguatkan wilayah belakang ini untuk kemajuan ekonomi di masa depan.
Aceh yang kaya dengan sumberdaya di wilayah belakang tentu akan menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dan dengan menggunakan akal sehat kita, tirai kemiskinan yang membelenggu citra Aceh saat ini perlahan segera teratasi.
Baca juga: Ketua DPRA Ingatkan Gubernur Aceh Terkait Kemiskinan hingga Target RPJMA
Baca juga: DPRA Sepakat RAPBA 2022 Diqanunkan, Pakar Sebut Pengesahan Lambat Akibatkan Kemiskinan Bertambah