Berita Aceh Tenggara
Polisi Ciduk Kepala Baitul Mal Agara, Diduga Rudapaksa Gadis di Bawah Umur
Kasus kekerasan seksual kembali terjadi di Aceh, dan lagi-lagi menimpa gadis yang masih di bawah umur
* KPPA Minta Pelaku Dijerat UU Perlindungan Anak
KUTACANE - Kasus kekerasan seksual kembali terjadi di Aceh, dan lagi-lagi menimpa gadis yang masih di bawah umur.
Parahnya lagi, perbuatan bejat itu diduga dilakukan oleh seorang pejabat daerah, yakni Kepala Baitul Mal Aceh Tenggara (Agara) berinisial SA (37).
SA kini telah diamankan oleh Polres Agara dan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Kabar penangkapan SA dan dugaan perbuatan yang dilakukannya seketika menyebar luas di media sosial dan langsung menghebohkan masyarakat Agara.
Pihak Polres saat dikonfirmasi juga membenarkan penangkapan tersebut.
"Kepala Baitul Mal Aceh Tenggara inisial SA telah diamankan di Mapolres Aceh Tenggara karena diduga memperkosa anak di bawah umur," kata Kapolres Aceh Tenggara, AKBP Bramanti Agus Suyono SH SIK MH didampingi Kasat Reskrim AKP Suparwanto, kepada Serambi, Sabtu (22/1/2022).
SA berdomisili di Kecamatan Bukit Tusam, sedangkan korban merupakan seorang santriwati asal Kecamatan Leuser yang masih berusia 16 tahun.
Menurut keterangan dari Kasat Reskrim, korban dirudapaksa oleh pelaku sebanyak lima kali.
Baca juga: Oknum Kepala Baitul Mal Agara Rudapaksa Santriwati Bawah Umur 5 Kali, Berawal Minta Korban Memijat
"Korban ngakunya diperkosa lima kali.
Empat kali di kamar tersangka, dan sekali di villa Bustanul Arifin Ketambe," ujar AKP Suparwanto SH.
Berdasarkan pengakuan korban kepada polisi, tersangka SA melakukan perbuatan bejatnya sejak Agustus 2021 dan terakhir tanggal 19 Januari 2022 sekitar pukul 17.30 WIB.
Motifnya dengan meminta korban masuk ke kamar tersangka untuk memijat.
"Tersangka meminta korban masuk ke kamarnya memijat dirinya di rumah tersangka di Kecamatan Bukit Tusam.
Di kamar, pelaku memaksa korban hingga melakukan berhubungan badan berulangkali," ungkap Kasat Reskrim.
Perbuatan tersebut tidak diketahui oleh teman-tema korban.
Selain itu, korban yang anak yatim ini juga tidak berani melaporkannya kepada orang lain karena tersangka SA tak lain juga seorang ustaz bagi santriwati tersebut.
Namun hal itu diketahui oleh anggota keluarganya yang kemudian berujung pada pelaporan SA ke Polres Agara, dengan nomor laporan: LP/20/I/2022/SPKT/Polres Agara/Polda Aceh, tanggal 21 Januari 2022.
Polisi kemudian melakukan pemeriksaan dan menetapkan SA sebagai tersangka.
Baca juga: Korban Akui Diperkosa Kepala Baitul Mal Aceh Tenggara, 4 Kali di Rumah Tersangka dan Sekali di Villa
Kini, SA telah diamankan di Mapolres Agara dan sedang dalam proses pemeriksaan intensif.
Tersangka dijerat dengan pasal 34 yo 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
UU Perlindungan Anak
Sementara itu, Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus Nyak Idin, mengecam keras aksi kejahatan yang dilakukan oleh Kepala Baitul Mal Agara.
Pihaknya meminta agar kasus tersebut ditangani dengan Undang Undang Perlindungan Anak.
“KPPAA meminta agar kasus tersebut ditangani dengan UU Perlindungan Anak,” katanya kepada Serambi, tadi malam.
Firdaus menjelaskan, jika kasus kejahatan seksual itu ditangani dengan menggunakan Qanun Jinayat, menurutnya pelaku berpotensi tidak mendapatkan hukuman yang layak, bahkan mungkin bisa bebas.
“Selain itu, korban juga berpotensi tidak mendapat keadilan dan bahkan bisa dapat hukuman karena dianggap berzina,” pungkasnya.
Sudah 19 Kasus Sepanjang Januari 2022
Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini langsung mendapat tanggapan dari Koordinator Gerakan Ibu Mencari Keadilan, Destika Gilang Lestari.
Dalam pernyataan tertulisnya kepada Serambi, Gilang mengaku miris melihat trend kekerasan seksual yang terjadi di Aceh.
“Miris sekali, anak dan perempuan Aceh tidak memiliki ruang aman dimanapun.
Setiap hari kita bisa lihat di media, minimal satu kasus kekerasan seksual dialami oleh anak dan perempuan Aceh,” katanya tadi malam.
Di awal tahun 2022 ini saja, sebut Gilang, berdasarkan pantauan dari Gerakan Ibu Mencari Keadilan, ada 19 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan Aceh.
Yaitu, 8 kasus di Aceh Barat Daya, 4 di Aceh Timur, 5 di Pidie, 1 kasus pembunuhan disertai pemerkosaan di Bener Meriah, dan satu kasus kekerasaan seksual di Aceh Tenggara.
“Para pelaku semuanya orang dekat korban.
Seperti ayah kandung, ayah tiri, ustaz di dayah, adik kandung, dan pemuka agama,” sebutnya.
Namun yang disayangkan, hingga saat ini pihaknya belum melihat adanya tindakan konkret dari Pemerintah Aceh mengatasi persoalan kejahatan dan kekerasan seksual yang sudah sangat darurat.
Respons yang diberikan selama ini menurut Gilang hanya bersifat reaksioner yang sifatnya per kasus, bukan fokus pada solusi mekanisme terpadu dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus, dari level gampong hingga provinsi.
“Salah satu yang paling mendasar adalah minimnya anggaran penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh, dari tingkat kabupaten kota hingga provinsi,” sebutnya.
Persoalan lainnya sambung Koordinator Gerakan Ibu Mencari Keadilan ini adalah kebijakan di Aceh yang tidak berpihak kepada korban kekerasan seksual, sehingga korban berpeluang menjadi korban kembali (reviktimesasi), yaitu pada Qanun Hukum Jinayah di dua jarimah, jariamah pemerkosaan dan jarimah pelecehan seksual.
“Oleh karena itu, Gerakan ibu Mencari Keadilan berharap kepada DPRA dalam merevisi qanun tersebut dapat mencabut dua jarimah dimaksud dalam Qanun Hukum Jinayah,” tegasnya.
Gerakan Ibu Mencari Keadilan juga mememinta kepada aparat penegak hukum untuk memberikan sanki tegas bagi pelaku pemerkosaan di Aceh, bukan hanya sekedar memberikan hukuman cambuk.
“Karena hukuman cambuk tidak memberi efek jera bagi pelaku dan tidak memberikan keadilan bagi korban,” demikian Destika Gilang Lestari. (as/una)
Baca juga: Korban Dugaan Perkosaan Ternyata Santriwati, Kepala Baitul Mal Aceh Tenggara Jadi Tersangka
Baca juga: BREAKING NEWS - Polisi Amankan Kepala Baitul Mal Aceh Tenggara, Diduga Perkosa Anak di Bawah Umur