Jurnalisme Warga
Uniknya Tugu Kampung Durian Sawang
Kecamatan ini berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Muara Batu, sebelah selatan dengan Kecamatan Nisam Antara, dan Kabupaten Bener Meriah

OLEH CHAIRUL BARIAH, Wakil Rektor II Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), Dosen Fakutas Ekonomi Universitas Almuslim, dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Sawang, Aceh Utara
SAWANG merupakan kecamatan hasil pemekaran dari Muara Batu, Aceh Utara.
Berdasarkan referensi yang saya peroleh, luas Kecamatan Sawang± 3284.65 km2 atau 38.465 ha.
Kecamatan ini memiliki 39 gampong/desa dengan dua dusun.

Kecamatan ini berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Muara Batu, sebelah selatan dengan Kecamatan Nisam Antara, dan Kabupaten Bener Meriah.
Ibu Tuti, salah satu warga Sawang yang saya wawancarai menyebutkan bahwa mata pencaharian masyarakat kecamatan ini sebagian besar petani kebun dan sawah.
Ada juga yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) guru dan pegawai, bahkan ada juga sebagai pekerja pencari pasir di sungai.
Masyarakat lebih mengenal Sawang dengan sebutan kampung durian karena Sawang salah satu kecamatan penghasil durian terbesar di Aceh Utara.
Durian Sawang merupakan durian incaran pecinta buah yang memiliki aroma khas dan sulit untuk disembunyikan.
Baca juga: Durian Bener Meriah Banjiri Kota Banda Aceh, Harganya Rp 30 Ribu Sampai Rp 80 Ribu
Baca juga: Warga Pining Mulai Panen Durian, Segini Harganya
Buah yang lezat dan dapat dinikmati dalam berbagai jenis olahan ini tidak selalu dapat kita temui jika sedang tidak musim.
Biasanya ketika musim durian tiba, masyarakat banyak yang menanti durian yang jatuh dari pohon.
Masyarakat yakin, durian yang jatuh sudah matang dan siap untuk disantap.
Walaupun sebenarnya, buah ini tidak hanya disukai oleh manusia, tetapi juga disukai tupai.
Maka tak heran ketika kita memetik durian ada sebagian yang sudah rusak akibat ulah tupai atau kalong.
Saat musim durian di Kecamatan Sawang beberapa gampong/desa menjadi incaran penikmat durian, seperti Gampong Gunci, Gampong Teungoh, Gle Dagang, Riseh Baroh, Blang Reuling, dan lainnya.
Banyak yang datang dari berbagai daerah untuk berburu durian yang dikenal lezat dan gurih.
Pada saat memasuki salah satu gampong, yaitu Gunci aroma durian begitu terasa, apalagi saat angin berembus.
Di beberapa sudut jalan ada yang menjual durian dengan harga bervariasi, tergantung besar dan kecil, serta jenisnya sebagaimana pada saat saya dan teman-temanpun sempat berkunjung ke Sawang pada saat musim durian tahun lalu.
Para penggalas (muge) biasanya memasarkan durian Sawang di seputaran Bireuen, Krueng Mane, Matangglumpang Dua, dan Kota Lhokseumawe.
Nikmatnya durian Sawang sudah terkenal sampai ke luar daerah.
Harga yang ditawarkan juga terjangkau oleh semua kalangan masyarakat, apalagi kalau dibeli langsung di kebun durian, harganya antara Rp10.000 hingga Rp30.000 per buah.
Baca juga: Ternyata Buah Durian Bermanfaat untuk Kesehatan, Apa Saja?
Ada juga yang memberikan kebebasan kepada pengunjung untuk makan sepuasnya dengan membayar hanya Rp100.000.
Kesan pertama pada musim durian yang lalu kini menjadi kenangan.
Akhirnya, saya mengajak keluarga untuk mengunjungi kampung durian di Sawang.
Walaupun kami tahu musim durian telah usai pada bulan Juli-Agustus tahun lalu, kami berharap masih ada buah yang tersisa di antara sekian banyaknya gampong penghasil durian di kecamatan ini.
Menuju kecamatan ini jika dari arah Bireuen-Medan, dari kota Krueng Mane belok ke kanan searah jalan ke Bener Meriah melalui Gunung Salak dan masuk menuju Kecamatan Sawang dengan ibu kotanya Gampong Sawang.
Jalan yang kami lalui menuju Sawang beraspal, tapi sebagian rusak.
Banyak juga truk yang melintasi jalani ini.
Selain sebagai moda transportasi pengangkut hasil bumi juga ada yang digunakan untuk membawa pasir yang diambil dari Krueng Sawang.
Perjalanan kami nikmati dengan santai.
Di sisi jalan hamparan hutan dan kebun warga terlihat gersang.
Menurut warga pada saat kami kunjungi, pengaruh musim yang tak menentu, bungabunga tak lagi berseri, dedaunan pun menguning.
Akhirnya, kami tiba di alunalun Kota Sawang, tepatnya di depan Tugu Durian yang menjadi simbol Sawang.
Bangunan ini dekat dengan masjid, dibangun beberapa tahun lalu.
Bentuknya unik, di atasnya menyerupai durian raksasa.
Warna bangunannya paduan putih dan hijau dengan tulisan “Selamat Datang di Kota Durian”.
Kata DURIAN ini ternyata merupakan singkatan dari Damai, Ukhuwah, Ramah, Indah, Aman, dan Nyaman.
Dari singkatan tersebut damai bermakna tenteram, saling memahami dan tidak membuat keributan yang dapat memicu rusaknya perdamaian.
Ukhuwah mengembangkan tali persaudaraan di antara sesama.
Ramah bermakna masyarakat Sawang dengan senang hati menerima tamu siapa saja yang datang, tapi tetap harus mematuhi ketentuan adat dan istidadat yang berlaku di kampung ini.
Indah, bermakna masyarakat selalu menjaga lingkungan dengan baik dan estetis, tidak dibenarkan membuang sampah sembarangan.
Hal ini juga berlaku untuk para tamu yang datang berkunjung ke Kecamatan Sawang.
Aman, masyarakat saling menjaga ketertiban dan keamanan baik untuk lingkungan maupun keamanan untuk setiap tamu yang berkunjung.
Nyaman, bermakna bahwa masyarakat di sini ingin memberikan kesan yang nyaman dengan tidak adanya berbagai macam pungutan liar, selain yang sudah disepakati bersama oleh aparatur desa.
Masyarakat Sawang menginginkan setiap tamu yang datang akan ada lagi kunjungan berikutnya setelah kunjungan yang pertama.
Tugu Durian Sawang ini merupakan simbol Kecamatan Sawang sebagai penghasil durian terbesar di Samudera Pasee, Aceh Utara yang tersebar di beberapa gampong.
Masing-masing memiliki kearifan lokal sendiri serta pelayanan dari penduduk yang ramah kepada setiap tamu yang datang.
Menurut orang tua gampong, tugu ini sebagai simbol pesan-pesan yang disampaikan kepada tamu atau siapa pun yang berkunjung ke Sawang.
Mengingat saat musim durian bukan hanya pendatang lokal yang berkunjung ke sini, tetapi juga dari luar daerah, maka aturan yang berlaku di gampong ini harus dipatuhi.
Pada saat kami berkunjung, ternyata pohon durian tidak berbuah lagi.
Alhasil, kami pun pulang dengan rasa sedikit kecewa, tetapi pada saat kami melewati jalan simpang Krueng Mane ada sekelompok orang sedang berkumpul mengelilingi seorang bapak separuh baya yang sedang menawarkan durian.
Tanpa menunggu penawaran selanjutnya kami pun membeli beberapa durian, langsung dikupas dan isinya dimasukkan ke dalam wadah yang memang kami bawa.
“Ini bukan durian Sawang,” ujar penjualnya, “melainkan durian Timang Gajah, Bener Meriah.
” Setelah dicicipi rasanya sedikit beda, tapi yang penting keinginan kami sudah terpenuhi.
Aneka olahan durian yang lezat dan gurih ini juga dapat kita nikmati di Geureudong Pase, tepatnya di sebuah warung khas durian Samudra Pase.
Olahan berupa martabak durian, pulut durian, es krim durian dan aneka olehan lainnya, diracik langsung oleh ahlinya.
Semoga musim durian berikutnya kita dapat berkunjung kembali ke kampung durian Sawang, menikmati lezat dan gurihnya buah yang memiliki warna dan aroma khas ini.
Tips dari orang tua agar aromanya tidak mengganggu orang yang tidak menyukai durian, maka minumlah air menggunakan bekas biji pada kulit durian.
Baca juga: Wow! Timang Gajah, Bener Meriah Masih Panen Durian hingga April, Jika Beli di Kebun Harganya Murah
Baca juga: Durian Lokal Kekuyang Masuk Musim Panen, Pengunjung Bisa Langsung Beli dari Kebun Mulai Rp 10 Ribu