Jurnalisme warga
Ketika Tambo dan Jingki Tak Lagi Berfungsi di Aceh
Tradisi atau reusam suatu masyarakat tidak selamanya berlangsung secara menoton. Ia selalu menyesuaikan diri selaras dengan perkembangan zaman

Modal untuk membeli binatang sembelihan adalah secara meuripe (patungan) antara rakyat desa yang dikoordinasikan oleh kepala kampung (keuchik).
Bayarnya pun kadang-kadang setelah panen padi.
Sementara bagi masyarakat di kota kebanyakan membeli sendiri di pasar daging.
2) Tabuhan tambo bertalu-talu
Bila ketetapan awal puasa telah pasti, maka orang pun mulai menabuh beduk (peh tambo), sebagai pengumuman bahwa puasa dimulai esok hari.
Dari setiap meunasah (langgar/surau) suara beduk bertalu-talu.
Beduk di Aceh disebut tambo, dibuat dari kayu besar yang dilubangi bagian tengahnya sepanjang lebih kurang 2 meter.
Di salah satu ujung kayu yang berlubang itu dipasang kulit lembu sebagai landasan untuk ditabuh.
Saat pengumuman mulai puasa telah berlalu, semua warga laki-laki, baik tua maupun muda, berkumpul di meunasah.
Mereka mulai tadarus Al-Qur’an.
Kalau terasa haus, mereka minum ie bu (bubur beras encer -di Pidie) yang telah disediakan di serambi meunasah.
Tadarus Al-Qur’an berlangsung hingga waktu sahur.
Pada pukul 2 dini hari tambo mulai ditabuh kembali.
Ini merupakan kode bagi kaum ibu supaya bangun untuk mempersiapkan makanan sahur.
Sekitar pukul 03.30 WIB, sekali lagi giliran menabuh tambo.