Opini

Memberdayakan Nelayan

Menurut penelitian BPS tahun 2015-2017 bahwa kantung-kantung kemiskinan terjadi pada malahan sebagian besar pada masyarakat nelayan pesisir pantai

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Memberdayakan Nelayan
IST
KISWANTO, Dosen Universitas Teuku Umar

OLEH KISWANTO,  Dosen Universitas Teuku Umar

* Refleksi Hari Nelayan 6 April 2022

MASYARAKAT nelayan pesisir pantai identik masyarakat miskin.

Nasib nelayan skala kecil dan tradisional masih belum saja membaik hingga saat ini.

Meskipun, Undang- Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam sudah diterbitkan dan diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.

Dengan kata lain, walau sudah lima tahun UU tersebut ada dan dijalankan, namun perlindungan dan pemberdayaan yang seharusnya dilakukan Pemerintah kepada nelayan skala kecil dan tradisional, tak juga kunjung dilakukan.

Perahu kayu milik nelayan Pulau Banyak, Aceh Singkil, Rabu (2/3/2022).
Perahu kayu milik nelayan Pulau Banyak, Aceh Singkil, Rabu (2/3/2022). (SERAMBINEWS.COM/ DEDE ROSADI)

Menurut penelitian BPS tahun 2015-2017 bahwa kantung- kantung kemiskinan terjadi pada malahan sebagian besar pada masyarakat nelayan pesisir pantai.

Data BPS tahun 2017 menunjukkan bahwa 60 persen dari rakyat miskin di Indonesia merupakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.

Nelayan Indonesia dalam melawan kemiskinan sampai sekarang terlihat belum menunjukkan adanya peningkatan yan

g signifikan.

 

Persoalan ini terjadi dikarenakan masyarakat nelayan pesisir pantai rata-rata sumber daya manusianya masih rendah.

Beda halnya dibanding dengan masyarakat nelayan di negara Cina, Jepang, Thailand dan negara asia lainnya yang lebih maju baik secara SDM maupun secara teknologinya.

Baca juga: Nelayan Mulai Melaut usai Libur Meugang, Boat di Bawah 30 GT Harus Antre Solar Subsidi sampai 5 Hari

Baca juga: Perairan Sabang Berpotensi Angin Kencang, Nelayan Diminta Waspada

Apalagi dengan terjadinya perubahan iklim global, membuat nelayan tidak bisa melaut.

Pada dasarnya satu-satunya mata pencarian nelayan tradisional hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan di laut.

Ketika mereka tidak dapat melaut akan berdampak terhadap kondisi ekonomi mereka.

Dari kondisi inilah perlu dipikirkan strategi pemberdayaan masyarakat nelayan pesisir pantai untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Dengan kata lain memberdayakan masyarakat berarti memberikan kemampuan dan memandirikan masyarakat.

Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya.

Salah satu caranya pemberdayaan masyarakat nelayan pesisir adalah pengelolaan yang berbasis masyarakat melalui aplikasinya dengan mengelola ekosistem mangrove.

Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan dalam komunitasnya sendiri.

Artinya program pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan dalam satu siklus saja dan berhenti pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi harus terus berkesinambungan dan kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke tahapan berikutnya.

Secara umum terdapat tiga komponen pokok yang harus diperhatikan dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya dan sumber daya alam pesisir dan laut umumnya yaitu; di antaranya aktivitas sosial (social processes), ekonomi (economic processes) dan sumber daya alam itu sendiri (natural processes).

Ketiga komponen ini saling terikat dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Dari aspek sosial-ekonomi, budaya dan estetika manusia membutuhkan sumber daya alam untuk dapat meneruskan kehidupannya, di sisi lain keberadaan atau kelestarian sumber daya alam (SDA) khususnya pesisir dan laut sangat tergantung pada aktivitas manusia sebagai pengguna (user) utama dari sumber daya alam ini.

Baca juga: Nelayan belum Melaut, Stok Ikan Segar di Pasar Al Mahirah Banda Aceh & Labuy Aceh Besar Masih Kurang

Pengelolaan Mangrove Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove, sedikitnya terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan.

Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari.

Kedua konsep tersebut adalah protection and rehabilitation of mangrove forest.

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi (conservation area), dan sebagai bentuk sabuk hijau (green belt) di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Selama ini sudah banyak program-program dijalankan pemerintah sebagai upaya merehabilitasi kawasan hutan mangrove yang merupakan salah satu sumber daya alam (SDA) yang memiliki nilai ekologis dan juga ekonomis tinggi, namun sebagian besar usaha ini tidak berkelanjutan/ berkesinambungan dan pada akhirnya berujung pada suatu kegagalan.

Untuk itu pola pengelolaan yang selama ini digunakan pemerintah yang cenderung bersifat dari atas ke bawah (top down) harus segera di modifikasi atau diubah yaitu dengan mencoba melibatkan partisipasi masyarakat.

Dengan kata lain memberi kesempatan kepada masyarakat (human system) sekitar kawasan untuk turut berpartisipasi dalam upaya pengelolaan dan pengawasan ini.

Perlu diketahui juga bahwa di wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan mangrove dan biasanya dikelola oleh masyarakat setempat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya.

Untuk itu pola pengelolaan dan pengawasan ekosistem mangrove yang bersifat partisipatif merupakan salah satu solusi yang tepat.

Dalam upaya pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut dalam hal ini termasuk di dalamnya hutan mangrove dilakukan melalui tiga strategi.

Pertama, strategi persuasif yang dilakukan dalam bentuk pembinaan-pembinaan.

Kegiatan pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat nelayan meliputi penyuluhan tentang pentingnya hutan mangrove dan pelestariannya, pengelolaan tambak yang ramah lingkungan serta pentingnya organisasi/kelompok masyarakat.

Kedua, strategi edukatif yang dilakukan dalam bentuk pelatihan-pelatihan.

Melalui pelatihan diharapkan dapat meningkatkan keterampilan kelompok sasaran terhadap suatu aspek tertentu.

Kegiatan pelatihan yang telah dilakukan adalah peningkatan pemahaman dan ketrampilan kelompok sasaran di bidang rehabilitasi mangrove seperti pelatihan peningkatan pemahaman dan ketrampilan di bidang perikanan budidaya, udang tambak ramah lingkungan, budidaya bandeng.

Selain itu juga pelatihan pengelolaan keuangan, kepengurusan dan aturan main pelaksanaan program.

Ketiga, strategi fasilitatif yang dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan usaha yang merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi mangrove.

Bantuan usaha yang diberikan umumnya berkaitan dengan program rehabilitasi mangrove, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu bantuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi kelompok sasaran.

Menurut Hidayati (1999) bahwa salah satu langkah yang dapat dilakukan agar masyarakat nelayan dapat berpartisipasi dalam pengelolaan berbasiskan masyarakat adalah melalui pemberdayaan masyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut, Bengen (2001) menyebutkan bahwa masalah pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

Hal ini dapat ditempuh dengan kerja sama masyarakat nelayan dengan pemerintah.

Salah satunya adalah penataan kawasan ekonomi wisata bahari ekosistem mangrove.

Kasus di kawasan Mangrove Center Makassar Lantebung yang disiapkan sebagai kawasan Ekominawisata Bahari Kota Makassar.

Ratusan masyarakat nelayan ketika tidak melaut terkendala perubahan iklim.

Mereka mengakui dalam sehari bisa mendapatkan hingga 3 kg kepiting rajungan, yang dijualnya dengan harga Rp18 - 20 ribu per kg.

Bahkan Ikan-ikan pun sudah banyak karena mangrove sebagai tempat bertelur terjaga dengan baik.

Bahkan keberadaan ekosistem mangrove dapat dijadikan wisata mangrove di daerah mereka.

Sehingga masyarakat nelayan bisa menambah penghasilan warga dari jasa-jasa yang mereka berikan, seperti sewa perahu, menjual ikan dan produk-produk hasil laut lainnya yang diusahakan istri-istri mereka.

Hal ini menjadi sangat penting bahwa di setiap pemberdayaan nelayan dengan melakukan restorasi ekosistem mangrove telah berdampak secara ekologis dan sosial ekonomi pada mereka.

Tanpa adanya upaya pemeliharaan atau perlindungan secara berkesinambungan yang melibatkan partisipasi masyarakat (human system) di sekitar kawasan, maka upaya pengelolaan ekosistem mangrove kecil kemungkinannya akan berhasil.

Pada hakikatnya potensi ekonomi ekosistem mangrove berasal dari tiga sumber yaitu flora, fauna, dan jasa lingkungan dari ekosistem mangrove tersebut.

Di samping menghasilkan bahan dasar untuk industri.

Ekosistem mangrove menyediakan berbagai jenis produk dan jasa yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun nasional serta sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat sekitar hutan.

Semua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut jika keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumber dayanya berdasarkan pada prinsip- prinsip kelestarian.

Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumber daya renewable dan penyangga sistem kehidupan jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove berlangsung tanpa gangguan.

Momentum Hari Nelayan yang jatuh pada tanggal 6 April 2022, bahwasanya pemberdayaan masyarakat nelayan pesisir merupakan hal yang perlu diperhatikan dengan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama dalam pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove.

Oleh karena itu, persepsi atau sudut pandang masyarakat mengenai keberadaan ekosistem mangrove perlu untuk diarahkan kepada cara pandang yang positif.

Baca juga: Boat Nelayan dari Luar Simeulue Diduga Gunakan Bom Ikan

Baca juga: Kapolres Aceh Besar Serahkan Bantuan Modal Kepada 200 Pelaku Usaha, Mulai PKL,Warkop, dan Nelayan

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved