Jurnalisme Warga
Kiprah IPI Aceh di Tahun Pertama, Melawan Stigma Negatif
Kepenggurusan Pengurus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia (PD IPI) Aceh di bawah kepemimpinan Dr Nazaruddin Musa genap satu tahun

OLEH ARKIN, S.IP., Wakil Sekretaris Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Kepenggurusan Pengurus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia (PD IPI) Aceh di bawah kepemimpinan Dr Nazaruddin Musa genap satu tahun sejak dilantik pada 6 April 2021 lalu di Kyriad Hotel Muraya Aceh, Banda Aceh.
Sejak dilantik hingga kini kepenggurusan PD IPI Aceh periode 2021-2024 telah berkiprah dan melakukan sejumlah capaian untuk memperkenalkan profesi pustakawan di Provinsi Aceh dengan melakukan sejumlah program kerja prioritas di tahun pertama sesuai dengan visi misi Nazaruddin saat mencalonkan diri menjadi Ketua PD IPI Aceh.
Sesuai janji “kampaye” saat itu, selama tiga tahun kepengurusannya, doktor bidang Multimedia Management dari Universiti Utara Malaysia ini bersama pengurus berkomitmen untuk memperkenalkan profesi pustakawan, pengembangan kompetensi SDM pustakawan dan tenaga perpustakaan, serta membangun citra positif terhadap profesi.
Visi misinya saat itu, terwujudnya IPI Aceh yang interaktif, profesional, dan inovatif untuk kesejahteraan anggota masyarakat atau lebih dikenal dengan meng-IPI-kan IPI.
Kemudian, visi misi tersebut dijabarkan dalam delapan program prioritas, di antaranya diseminasi organisasi, pendidikan dan pelatihan, penguatan literasi, pembinaan dan pengabdian, kerja sama lintas sektoral, penelitian dan publikasi, ajang kreativitas, serta pendampingan untuk kegiatan akreditasi, sertifikasi, dan advokasi.
Capaian yang dimaksud adalah pembentukan IPI kabupaten/kota yang diinisiasi oleh bidang organisasi dan keanggotaan.
Sejauh ini baru satu yang terbentuk yaitu IPI Kota Banda Aceh dan akan segera dibentuk IPI kabupaten/kota lainnya di Aceh.
Di bidang pengembangan profesi, pendidikan, dan pelatihan selama ini para pengurus telah berpartisipasi aktif sebagai narasumber dan instruktur dalam berbagai pelatihan kepustakawanan, baik yang dilaksanakan oleh DPKA, Dinas Pendidikan Aceh, Kanwil Kemenag Aceh maupun instansi lainnya di Aceh.
Di bidang kerja sama dan advokasi untuk peningkatan sinergi lintas sektor dan stakeholder telah dilakukan berbagai kerja sama baik dengan DPKA yang secara struktur kepengurusan sebagai dewan pembina, instansi pemerintahan maupun swasta, serta berkolaborasi dengan media dalam diseminasi informasi kepada masyarakat.
Baca juga: Berbagi Pengalaman dengan Mahasiswa Baru, Ketua IPI Aceh: Jurusan Perpustakaan Menjanjikan
Baca juga: Pemkab Aceh Besar Gandeng PD IPI Aceh untuk Kembangkan Perpustakaan Digital di Sekolah
Selain itu, sebagai bentuk advokasi turut berperan dalam mendukung pembahasan Qanun Pengelolaan Perpustakaan di Aceh, salah satunya qanun perpustakaan yang telah disahkan DPRK Banda Aceh akhir tahun lalu.
Saat ini, IPI juga terlibat aktif sebagai tenaga ahli dalam penyusunan raqan penyelenggaraan perpustakaan di Aceh, yang tentunya diharapkan menjadi “angin segar” bagi alumni dan pengelola perpustakaan di Aceh.
IPI Aceh juga terlibat aktif di berbagai kegiatan seperti bedah perpustakaan bersama ALC, program “Geurakan Bek Beuo“ bersama PLA di Aceh Besar, dan kegiatan literasi di Nagan.
Selama satu tahun ini, IPI juga melalui bidang sertifikasi dan akreditasi aktif memberikan pelatihan bagi pengelola dan pendampingan dalam persiapan akreditasi perpustakaan.
Ketua PD IPI Aceh secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih atas kontribusi dan kerja sama para pengurus, mitra kerja, kolega, dan para pegiat literasi yang selama ini dengan semangat gotong royong membantunya dalam kepengurusan.
“Saya ucapkan terima kasih atas kerja sama dan kebersamaan dengan semangat gotong royong selama satu tahun ini untuk memperkenalkan profesi pustakawan Aceh agar sejajar dengan profesi lainnya,” kata Nazar dalam keterangan tertulis, Kamis (7/4/2022).
Melawan stigma negatif Satu tahun pertama, Nazar bersama pengurus lainnya fokus kepada program memperkenalkan profesi pustakawan dan mengubah stigma negatif bagi profesi ini dengan berbagai keterbatasan yang ada.
Merujuk pada Musyawarah Daerah (Musda) XIII PD IPI Aceh tahun lalu, sudah 39 tahun profesi ini hadir di Aceh.
Namun, keberadaan profesi ini masih belum mendapat tempat di hati para pengambil kebijakan di negeri ini, khususnya Aceh.
Menurut Nazaruddin, mungkin profesi ini masih belum banyak dilirik dan dipandang sebelah mata akibat stigma negatif "sebagai orang buangan" yang masih melekat.
Wajar saja, ketika pejabat yang dipindahkan ke perpustakaan dianggap tak berkompeten dan terkesan “diarsipkan”.
Lantas kenapa profesi pustakawan tidak sepopuler profesi lain di Indonesia yang notabene sama-sama memberikan layanan kepada masyarakat? Menanggapi hal tersebut, Nazaruddin dalam pernyataanya menjelaskan bahwa kenyataannya tidak ada anak-anak yang berminat untuk memilih profesi pustakawan.
Beberapa profesi yang paling digemari adalah dokter, TNI/Polri, dosen/guru dan pilot.
Umumnya alasan mereka menyukai profesi tersebut adalah karena faktor finansial dan penampilan.
Jika memang benar kedua alasan ini yang membuat profesi tersebut digemari, maka sebenarnya tidak sulit untuk membuat profesi pustakawan juga digemari.
Permasalahan akan selesai dengan meningkatkan finansial dan penampilan pustakawan juga.
Namun, pada hakikatnya bukan itu yang menjadi alasan yang sebenarnya.
Alasan yang sebenarnya adalah kebermanfaatan profesi tersebut bagi masyarakat.
Hal ini sebagaimana konsep Islam di mana indikator manusia yang baik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Indikator manfaat dapat diukur dengan mudah.
Tanyakan saja apakah masyarakat bisa hidup tanpa ada dokter dan TNI/Polri, misalnya? Lalu tanyakan juga apakah masyarakat bisa hidup tanpa pustakawan? Jika jawabnya bisa maka selama itu juga profesi pustakawan sepertinya masih belum menjadi profesi favorit masyarakat.
Di sisi lain, persoalannya tidak boleh berhenti sampai di sini.
Pertanyaan selanjutnya yang paling mendasar yang perlu ditanyakan adalah mengapa masyarakat Indonesia bisa hidup atau tidak mengalami masalah tanpa pustakawan? Menurut Nazaruddin, ada dua alasan utama untuk menjawab pertanyaan di atas.
Pertama, belum terlaksananya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dengan baik.
Meskipun secara legalitas pemerintah sudah mengatur tentang peran perpustakaan, tetapi pada tataran realitas aturan tersebut masih belum berjalan sinergis di lapangan dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait.
Misalnya, sistem pembelajaran di Indonesia belum menjadikan perpustakaan sumber pembelajaran (library based learning).
Hal ini menyebabkan peran perpustakaan/pustakawan menjadi tidak penting karena pemanfaatan perpustakaan tak menjadi suatu keharusan.
Efeknya peran pustakawan tentu juga tak terlihat dan berkembang karena tak mendapat tantangan berarti.
Kedua, lemahnya kompetensi, kepercayaan diri, dan motivasi pustakawan itu sendiri.
Pustakawan tidak berupaya untuk menjalankan tugas pokoknya dan tanggung jawabnya dengan baik, kreatif, dan inovatif.
Seharusnya, pustakawan menjadikan tantangan ketidakpopuleran ini untuk terus berupaya secara profesional memberi manfaat kepada masyarakat.
Kiprah tahun kedua
Di tahun kedua, IPI Aceh akan fokus pada peningkatan profesionalisme para pustakawan Aceh melalui penguatan kompetensi kepustakawanan.
Peningkatan profesionalisme ini sangat penting dilakukan untuk memastikan pustakawan di seluruh Aceh setara dalam hal pengetahuan dan keahlian sesuai perkembangan zaman.
Di bawah koordinasi bidang pendidikan dan pelatihan, nantinya program ini dilakukan oleh para pustakawan yang memiliki kompetensi dalam bidang-bidang tertentu secara sukarela dan daring agar menjangkau para pustakawan di seluruh Aceh.
Kedua, meningkatkan program pengabdian masyarakat melalui transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial dan peningkatan literasi.
Baca juga: Ketua IPI Aceh Ajak Pustakawan Tingkatkan Kompetisi dan Branding Diri
Baca juga: IPI Aceh Gelar Musda Secara Virtual, 2 Kandidat akan Bertarung Jadi Ketua, Pemilihan via E-Voting