Berita Jakarta
Pusat Kajian Kebudayaan Gayo Gelar Bincang Budaya, Bahas Seni Didong dalam Transjakarta
"Fikar sempat mengangkat Didong, sastra lisan Gayo yang memadukan seni vokal, seni puisi, dan seni gerak dalam Bus Transjakarta," ujarnya.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Saifullah
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Pusat Kajian Kebudayaan Gayo (PKG) kembali menyelenggarakan Bincang Budaya.
Kali ini membahas "Didong dalam Trans Jakarta" dengan narasumber penyair Fikar W Eda. B
incang Budaya dilakukan secara daring, Rabu (20/4/2022) pukul 10.00 WIB hingga 11.30 WIB, melalui Zoom Meeting dengan link https://us02web.zoom.us/j/83120849627?pwd=bThXZnpPd3BheXk1OWtyLzBKdjcxQT09, Meeting ID: 831 2084 9627, dan Passcode: 958327.
Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Yusradi Usman Al-Gayoni menjelaskan, Fikar W Eda merupakan orang Gayo sekaligus dari orang Aceh pertama yang lulus S-2 IKJ Angkatan III (alumnus 2012).
"Fikar sempat mengangkat Didong, sastra lisan Gayo yang memadukan seni vokal, seni puisi, dan seni gerak dalam Bus Transjakarta. Ini menarik karena pertama dalam sejarah Didong di Jakarta," sebut Yusradi.
Selain Didong Transjakarta, lanjut Yusradi, dibahas pula sejarah Didong di Jakarta dengan menghadirkan langsung ceh-ceh dan kelop-kelop Didong dari Gayo ke Jakarta.
Baca juga: “Pride Of Gayo”, Upaya Pemerintah Aceh Lestarikan Seni Didong di Masa Stagnasi
"Melalui Bincang Budaya besok, diharapkan juga ada pemikiran bagaimana melestarikan Didong dengan terus beradaptasi di era digital, era industri 4.0. Mulainya artificial intelligence,” urai dia.
“Sehingga bisa terwaris ke anak-anak milenial, generasi Z, dan post Z tentunya. Termasuk, bagaimana mengemas pertunjukan Didong dalam situasi new normal, menuju endemi, saat masih berlangsungnya Covid-19 seperti sekarang," sebutnya.
Pasalnya, tegas penulis buku "Tutur Gayo" itu, Didong adalah sastra lisan yang paling bertahan di Gayo saat ini.
“Jadi ini pintu masuk untuk mengetahui tentang Gayo karena segala sesuatu tertulis dalam Didong, dan sekaligus sebagai sarana efektif dalam pembelajaran, pengajaran, pelestarian, dan pewarisan seni, bahasa, budaya, adat istirahat, dan sejarah Gayo ke generasi Gayo mendatang,” pungkas dia.(*)