Ramadhan Mubarak
Ramadhan dan Upaya Menghidupkan Itikaf
Itikaf (al-i`tikaf) merupakan ibadah sunat yaitu menetap atau berada di masjid untuk waktu tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT
Oleh: Prof Dr Al Yasa’ Abubakar MA, Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Itikaf (al-i`tikaf) merupakan ibadah sunat yaitu menetap atau berada di masjid untuk waktu tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Itikaf akan lebih baik sekiranya disertai dengan amalan lain seperti melakukan shalat sunat, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, berdiskusi, belajar, atau pekerjaan lain yang bermanfaat yang boleh dikerjakan dalam masjid.
Rukun itikaf ada dua, berniat melakukannya karena Allah dan berdiam di dalam masjid selama waktu tertentu.
Sedangkan syarat utamanya adalah suci dari hadas, di samping berakal dan beragama Islam sebagai syarat umum untuk ibadah.
Itikaf dianggap berakhir kalau orang yang melakukannya keluar dari masjid.
Namun kalau dia berniat itikaf untuk waktu yang lama (sehari semalam misalnya), maka keluar untuk keperluan harian seperti ke kamar mandi (buang air, dan bersuci) atau makan dan minum, menurut ukuran waktu yang patut, tidak membatalkan itikaf.
Rasulullah sering mengerjakan i`tikaf bahkan selalu mengerjakannya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (kalau berada di Madinah).
Ada beberapa hadis yang menjelaskan itikaf.
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (3)
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (4)
Dua dari padanya penuturan Aisyah.
Satu dirawikan oleh al-Bukhari dan Muslim, Nabi SAW biasa mengerjakan itikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat.
Lalu, istri-istri beliau tetap beritikaf sesudah beliau wafat.
Satu lagi dirawikan oleh al-Bukhari, Ibnu Majah dan Abu Daud, Nabi SAW selalu mengerjakan itikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedang pada tahun kewafatannya beliau beritikaf dua puluh hari.
Setelah Rasululah wafat, para Sahabat laki-laki dan perempuan, termasuk ummahat-ul mukminin tetap melakukan itikaf, sehingga ibadat ini tetap hidup di tengah umat.
Para ulama sepakat bahwa itikaf merupakan ibadat sunat, yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, terutama di bulan Ramadhan.
Rasulullah, istri-istri beliau, dan banyak Sahabat pada sepuluh hari terakhir Ramadhan boleh dikatakan tidak keluar dari masjid kecuali untuk keperluan pokok harian.
Hatta untuk tidur pun mereka berada di masjid.
Para ulama sepakat bahwa itikaf mesti dilakukan di masjid berdasarkan firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 187 yang potongannya bermakna (Janganlah kamu melakukan hubungan badan dengan istrimu ketika sedang beritikaf di masjid).
Pada masa Nabi, jumlah masjid relatif terbatas, hanya ada dua, Nabawi dan Quba` (masjid pertama yang dibangun Rasulullah).
Sedang shalat Jumat pada masa Rasulullah kuat dugaan hanya ada di Masjid Nabawi, belum ada di tempat lain baik di Madinah atau di luar Madinah.
Setelah Rasulullah wafat jumlah masjid bertambah banyak sekali, sehingga terjadi diskusi mengenai persyaratan masjid yang boleh digunakan untuk itikaf.
Menurut jumhur ulama, masjid yang digunakan untuk menunaikan shalat fardhu berjamaah secara rutin dapat dijadikan tempat melakukan itikaf.
Kalau dia beritikaf pada hari Jumat atau sampai masuk waktu menunaikan shalat Jumat, maka dia mesti beritikaf di masjid yang ada shalat fardhu berjamah dan shalat Jumatnya.
Alasannya agar dia tidak perlu keluar dari masjid tempat dia beritikaf untuk menunaikan shalat fardhu berjamaah dan shalat Jumat.
Apabila dia keluar dari masjid tempat itikaf, lalu pergi ke masjid lain untuk menunaikan shalat fardhu berjamaah atau shalat Jumat, maka itikafnya dianggap batal.
Sekiranya kriteria ini kita pegang, maka sebagian mushalla dan meunasah di Aceh sudah dapat digunakan untuk itikaf.
Sebaliknya, masjid yang hanya digunakan untuk shalat Jumat tetapi tidak ada shalat fardhu berjamaahnya tidak dapat digunakan untuk iktikaf.
Syarat mesti dilakukan di masjid, bukan hanya berlaku untuk laki-laki tetapi juga untuk perempuan.
Di atas sudah disebutkan pada masa Rasulullah, para Sahabat perempuan, termasuk istri-istri beliau, ikut itikaf di masjid bersama beliau.
Dalam hadis lain penuturan Aisyah dirawikan oleh al-Bukhari, disebutkan pernah salah seorang istri beliau yang sedang isitihadah ikut melakukan itikaf di masjid bersama Rasulullah (dengan cara menggunakan tempayan untuk menampung darah, wadha`at at-thasta tahtaha min-ad dam).
Menurut para ulama, kalau itikaf boleh dilakukan di luar masjid, tentu Rasulullah akan mengizinkan istrinya yang sedang istihadah untuk itikaf tidak di masjid karena itu lebih maslahat.
Hadis ini juga memberi petunjuk bahwa itikaf merupakan ibadah yang relatif sangat dianjurkan untuk dikerjakan termasuk oleh perempuan.
Untuk itu, mari kita hidupkan dan budayakan itikaf di lingkungan kita masing-masing, karena tempat untuk melakukan itikaf relatif mudah dijangkau dan selalu terbuka untuk umum.
Sekiranya saudara kita yang suka ‘diskusi di warung kopi’ memindahkan diskusinya ke masjid-masjid sambil itikaf, tentu suasana berpuasa untuk memperoleh taqwa di daerah kita ini akan memperoleh nuansa baru, karena itikaf akan menjadi budaya yang betul-betul hidup di tengah masyarakat.
Wallahu a`lam bish-shawab
Baca juga: Shalat Tarawih dan Shalat Malam (5)
Baca juga: Sejarah Shalat Tarawih