Konflik Rusia vs Ukraina

Harga Barang Meroket di Eropa, Inflasi Jerman Pecah Rekor

Harga barang konsumsi di Denmark, kawasan Baltik, dan Jerman, dilaporkan melonjak ke level tertinggi pada awal bulan ini

Editor: bakri
Serambi on TV

MOSKOW - Harga barang konsumsi di Denmark, kawasan Baltik, dan Jerman, dilaporkan melonjak ke level tertinggi pada awal bulan ini.

Angka resmi Statistik Denmark, Selasa (10/5/2022), menunjukkan inflasi di negara itu mencapai level tertinggi dalam 38 tahun terakhir.

Indeks harga konsumen (CPI) Denmark melonjak dari 5,4 persen pada Maret menjadi 6,7 prsen di April.

Harga-harga barang melonjak di tengah kenaikan biaya energi global terdampak konflik Rusia-Ukraina.

Penggerak inflasi utama di Denmark adalah listrik, gas alam, makanan dan tembakau.

Harga barang telah naik 10,3 persen selama setahun terakhir, tingkat yang tidak tercatat sejak November 1982.

Apa yang disebut tingkat inflasi inti, yang tidak termasuk energi dan bahan makanan yang tidak diproses, di Denmark naik menjadi 3,6 persen, tertinggi sejak 1990, naik dari 3,2 persen di bulan Maret.

Denmark bukan satu-satunya negara yang menderita akibat melonjaknya harga menyusul operasi militer Rusia di Ukraina dan sanksi Barat yang dihasilkan terhadap Moskow.

Harga bahan bakar dan makanan telah meroket di seluruh dunia selama dua bulan terakhir di tengah kekhawatiran penghentian pasokan energi Rusia dan gangguan rantai pasokan.

Untuk menghadapi kenaikan harga, bank sentral di AS, Inggris, dan negara lain telah menaikkan suku bunga.

Baca juga: Bantuan AS Bukan Didasarkan Kemauan Ukraina Melawan Rusia, Ini Alasannya

Baca juga: Perang Pecah di Pulau Zmiinyi, Tentara Ukraina Hancurkan Sejumlah Persenjataan Rusia

Namun, Nationalbanken Denmark belum mengubah suku bunga utamanya, sementara Bank Sentral Eropa juga mempertahankan suku bunga sejauh ini meskipun inflasi melonjak di zona euro.

Indeks harga konsumen Estonia mengalami lonjakan dramatis 18,8 persen tahun-ke-tahun di bulan April, dengan harga naik lebih cepat daripada sebelumnya dalam beberapa decade.

Badan Statistik Estonia melaporkan harga barang dan jasa masing-masing 14,4 persen dan 27,8 persen lebih mahal di April dibandingkan periode sama tahun lalu.

Harga listrik mengalami lonjakan besar sebesar 119 persen, sementara energi panas menjadi 57,7 persen lebih mahal daripada April 2021.

Sementara itu, gas melonjak 237,2 persen.

Harga sewa juga melonjak 34,4 persen.

“Pada bulan April, skema kompensasi otomatis untuk listrik, biaya transmisi listrik, pemanasan distrik, gas pipa dan biaya transmisi gas berakhir,” jelas Trasanov dari Badan Statistik Estonia.

Perubahan harga untuk makanan dan minuman non-alkohol, serta perubahan harga untuk transportasi, menyumbang hampir seperlima dari total kenaikan.

Harga kentang dilaporkan melonjak 134,3 persen, minyak naik 57 persen, sereal dan tepung mengalami lonjakan harga 37,7 persen.

Sementara harga produk pasta dan telur masing-masing tumbuh 36,9 persen dan 34,8 persen.

Sementara itu, ikan segar mengalami kenaikan harga sebesar 30,7 persen.

Bensin 32,5 persen dan solar 48,6 persen lebih mahal.

Inflasi di Jerman mencapai level tertinggi sejak 1981 pada bulan April, didorong oleh lonjakan harga minyak, gas dan petrokimia.

Menurut Kantor Statistik Federal, harga konsumen, diselaraskan untuk membuatnya sebanding dengan data inflasi dari negara-negara Uni Eropa (HICP) lainnya.

Angkanya meningkat pada tingkat tahunan 7,8 persen di bulan April, naik dari 7,6 persen di bulan Maret.

Inflasi zona euro mencapai rekor tertinggi bulan lalu.

“Harapan untuk sedikit meredanya tekanan inflasi, yang tampak nyata mengingat penurunan harga bensin, sekali lagi gagal terwujud,” kata analis bank LBBW Elmar Voelker kepada Reuters.

Menteri Ekonomi Robert Habeck mengatakan, Jerman memperkirakan tingkat inflasi 6,1 persen tahun ini dan 2,8 persen pada 2023, karena dampak harga energi.

Hantam Balik AS

Sebuah jajak pendapat terbaru yang dilansir Express.co.uk menunjukkan 53 persen orang Amerika percaya sanksi ke Rusia lebih merugikan AS daripada Rusia.

Kebanyakan orang Amerika juga fokus pada kesulitan ekonomi di dalam negeri.

Lebih dari dua dari lima responden acuh tak acuh terhadap nasib Ukraina Di tengah melonjaknya harga gas dan meningkatnya biaya hidup, pemilih kehilangan kepercayaan pada kepemimpinan Presiden AS Joe Biden.

Sebanyak 43 persen responden mengatakan mereka "baik-baik saja", dalam situasi Ukraina berkonflik dengan Rusia.

Angka inflasi mencapai titik tertinggi dalam 40 tahun terakhir, ditambah harga gas mendekati rekor tertinggi, pemerintah Biden mendapat penilaian negatif di semua kebijakannya.

Sekitar 56 persen responden menyatakan tak setuju cara menangani masalah luar negeri.

Biden menjatuhkan sanksi kepada sektor perbankan dan energi Rusia, dan pemerintahannya telah mengirim senjata senilai hampir $4 miliar ke Ukraina.

Menteri Pertahanan Lloyd Austin berjanji bulan lalu untuk memindahkan langit dan bumi guna membiayai pertempuran Kiev.

Di mata Kremlin, banjir senjata ditambah pengaturan pembagian intelijen AS dan NATO dengan Kiev berarti bahwa Barat pada dasarnya berperang melawan Rusia melalui proksinya.

“Orang Amerika pada awalnya sangat pro sanksi, (tetapi) mereka tidak tertarik pada sanksi seperti sebelumnya,” kata Direktur Institut Demokrasi Patrick Basham kepada Express.

“Biden membuat prediksi ini sejak awal – rubel akan menjadi puing-puing, kami akan menghancurkan ekonomi Rusia, orang-orang akan bangkit, Putin akan keluar, Rusia akan melarikan diri dari Ukraina … (tapi) tidak ada dari hal-hal itu yang terjadi,” katanya.

Perbedaan antara harapan dan kenyataan ini menurutnya membuat orang AS menjadi sinis. (tribunnews.com)

Baca juga: Rusia Dituding Padamkan Internet Satelit Ukraina Saat Awal Perang

Baca juga: Ukraina Tutup Aliran Gas Rusia di Wilayah Separatis Dukungan Moskow, Krisis Energi Eropa Makin Parah

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved