Selama Lima Tahun, Tiga Keni Gayo Diletakkan di Ruang Pertemuan Balar Sumut, Untuk Apa?
"Keberadaan tiga keni atau dalam bahasa Indonesia disebut kendi itu bisa menciptakan perhatian lebih fokus pada saat diskusi," kata Kepala Balar Sumut
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mursal Ismail
"Keberadaan tiga keni atau dalam bahasa Indonesia disebut kendi itu bisa menciptakan perhatian lebih fokus pada saat diskusi," kata Kepala Balar Sumut Dr Ketut Wiradnyana, M.Si.
Laporan Fikar W Eda | Sumatera Utara
SERAMBINEWS.COM, MEDAN - Tiga buah Keni Gayo diletakkan di tengah ruang diskusi dan ruang pertemuan di Kantor Balai Arkeologi Sumatera Utara (Balar Sumut).
Sudah lima tahun Keni itu diletakkan di sana. Lantas untuk apa?
"Keberadaan tiga keni atau dalam bahasa Indonesia disebut kendi itu bisa menciptakan perhatian lebih fokus pada saat diskusi," kata Kepala Balar Sumut Dr Ketut Wiradnyana, M.Si.
Balar Sumut saat ini berubah nama menjadi Pusat Penelitian Arkeologi, Bahasa dan Sastra seiring dengan lahir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
"Sengaja kami letakkan Keni Gayo di tengah ruangan ini. Membuat perhatian lebih fokus dan lebih dingin," kata Ketut yang memimpin penelitian arkeologi selama 11 tahun di Ceruk Mendale, Ujung Karang, Loyang Muslim, Loyang Pukes di tepi Danau Laut Tawar, Aceh Tengah.
Baca juga: Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh Gelar Ekspedisi Gayo Alas
Tiga Keni Gayo itu diletakkan persis di pusat ruangan, ditempatkan pada sebuah meja berlapis kain adat Batak.
"Saya merasakan, keberadaan Keni Gayo ini membuat kita lebih fokus pada saat diskusi di ruangan ini," kata Ketut Wiradnyana.
Tiga Keni Gayo itu terdiri atas Keni Rawan, Keni Banan, dan Keni Labu.
Ketiga keni itu berwarna hitam dan pada permukaannya dipenuhi dengan hiasan motif yang sangat khas yang sekarang dikenal dengan sebutan kerawang Gayo.
"Motif-motif ini adalah motif yang kita temukan dari gerabah prasejarah yang banyak terdapat di lokasi penelitian kita di Aceh Tengah.
Tapi jenis yang kita pajang ini bukan berasal dari prasejarah, melainkan keni yang dibuat di era sekarang, namun motifnya, berasal dari prasejarah," kata Ketut Wiradnyana, seraya menunjukkan motif "puter tali.'
Baca juga: Hindari Ternak dari Luar Daerah Masuk ke Gayo Lues, Pemerintah Perketat Perbatasan
Ia menyebutkan gerabah yang mereka temukan dengan motif-motif itu terdapat di Loyang Mendale, Ujung Karang, dan Loyang Muslimin.
"Motif-motif ini memiliki kesamaan dengan pola hias dari kelompok budaya Sa-Huynh Kalanay yang tersebar di Vietnam.
Kelompok budaya ini juga mongoloid Austronesia, namun paling belakangan penyebarannya di era prasejarah," kata Ketut.
“Produknya pasca 2000 SM. Kelompok budaya Sa-Huynh Kalanay inilah yang memberi banyak variasi dalam pola hias.
Salah satu cirinya adalah, tidak ada ruang kosong dalam gerabah yang mereka hasilkan. Gerabah-gerabah itu diukir sedemikian rupa sehingga ruangnya penuh," jelasnya sambil memperlihatkan permukaan keningang penuh dengan hiasan.
Baca juga: Tour de Aceh Etape I Sukses Digelar, Parkside Gayo Petro Hotel Dukung Even Pembangkit Pariwisata
Keni (gerabah) merupakan karya budaya orang Gayo yang terbuat dari tanah liat, dan campuran pasir halus.
Keni Gayo terdiri atas empat bentuk yang disesuaikan dengan jenis kelamin pemakainya.
Masing-masing bentuk memiliki ciri serta fungsi yang berbeda.
"Keni Rawan yang berkaki tinggi dan melebar ke bawah dipakai oleh kaum laki-laki. Keni Banan yang berbentuk bulat tanpa kaki dipakai kaum perempuan.
Keni Labu bentuknya mirip buah labu dipakai oleh sesepuh perempuan.
Satu lagi Keni Ganyong bentuknya mirip labu, tapi ukuran lebih kecil dipakai oleh anak-anak.
Secara umum, kegunaan utama keni bagi masyarakat Gayo adalah wadah air minum," jelas Ketut.
Ketut menyarankan agar motif-motif yang ditemukan dari masa prasejarah direproduksi kembali dalam bentuk keni yang dibuat di era sekarang ini.
"Kita punya dokumen motif dari era prasejarah seperti yang kita temukan.
Silakan kalau mau dipelajari, ini adalah pengetahuan yang sangat berharga dan diterapkan di keni sekarang," katanya. (*)