Jurnalisme Warga
Paradigma Siklus Tersakiti-Menyakiti
Ucapan khas indatu (nenek moyang) Aceh atas klaim tingkah polah manusia yang dinilai merusak itu seketika terkesan lebih saintifik

OLEH AYU ‘ULYA, Koordinator Perempuan Peduli Leuser dan Anggota AJI Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
“Mata hati, bashirah, terletak berdekatan dengan prefrontal cortex (bagian depan otak di belakang dahi).
Kalau prefrontal cortex rusak, maka individu tersebut tidak bisa mengontrol dirinya,” papar Irawan Satriotomo MD, PhD.
Pernyataan profesor neurosains itu sejenak membuat otak saya berhenti bekerja.
Sepersekian detik kemudian, tuturan hadih maja “tapeugah hana utak, tangkurak ubee raya” (dikata tak berotak, tapi tempurung kepala sangat besar) terpental dari alam bawah sadar.
Ucapan khas indatu (nenek moyang) Aceh atas klaim tingkah polah manusia yang dinilai merusak itu seketika terkesan lebih saintifik.
Kuliah tamu bertemakan “Neurobehavior and Behavioral Problems” yang dilaksanakan secara daring oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, 25/5/2022, yang dihadiri nyaris 400 peserta, berhasil menggugah pemikiran banyak orang akan betapa esensialnya mempelajari ilmu terkait salah satu organ terpenting manusia yang dinamakan otak.
Sejalan dengan penjelasan Prof Irawan terkait mata batin, Hideho Arita, Profesor Fakultas Kedokteran Univesitas Toho di Jepang juga memberikan pernyataan serupa.
Dia menjelaskan bahwa pusat hati terdapat di dua bagian otak.
Pertama, di otak emosi yang berada di sistem limbik.
Baca juga: Ghazali Abbas Adan Pertanyakan Suara Wali Nanggroe Sikapi Aceh Darurat Narkoba dan Krisis Moral
Baca juga: Judi Online Merusak Moral dan Ekonomi
Kedua, di bagian paling depan otak atau disebut dengan prefrontal area.
Dia menjelaskan penyebab kegundahan hati berupa stres psikis pada dasarnya terletak di otak.
“Saya menggunakan kata ‘stres otak’ karena ingin Anda tahu dengan jelas di mana ‘tempat hati’ manusia,” sebut sang profesor dalam bukunya yang berjudul Teknik Menghilangkan Stres dari Otak.
Penjelasan ilmiah tersebut mengingatkan saya pada pernyataan para tetua Aceh yang mengistilahkan ulah bengis manusia melalui frasa “hana ate” alias tidak berhati atau tidak berperasaan.
Lantas siapa sangka, ungkapan retro leluhur Aceh bisa sebegitu ilmiahnya bila dihubungkan dengan ilmu otak manusia.
Mirisnya, dalam kurun waktu yang sama, muncul pula berita daring di Banda Aceh terkait residivis yang dikabari telah bebas—yang kemudian dianggap belum sepenuhnya bertobat—dan kembali melakukan kekerasan seksual kepada anak di bawah umur.
Lantas, dalam keacakan informasi di hari itu, saya pun menemukan “benang merah” tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh kondisi otaknya.
Dalam sesi tanya jawab, Dokter Irawan menjelaskan bahwa otak adalah pemandu manusia untuk bertindak secara sadar.
Direktur Indonesia Brain Research Center (IBRC), Surya University, ini menjelaskan bahwa frontal lobes (otak bagian depan) berperan penting dalam mengatur fungsi memori, pemahaman bahasa, perencanaan, pengambilan keputusan, aksi, hingga manajemen risiko.
Dia jelaskan, kerusakan otak dapat mengganggu tatanan perilaku pada manusia.
Paparan asap rokok, kecanduan internet atau pornografi, adiksi obat-obatan terlarang, polusi air dan udara, malnutrisi, trauma, bahkan pengalaman tindak kekerasan disebutnya sebagai sederet pemicu kerusakan fungsi otak manusia.
Menurutnya, “Boleh jadi cerminan perilaku buruk manusia itu merupakan manifestasi dari kerusakan otaknya,” jelas sang peneliti senior di Center for Translational Research in Neurodegenerative Disease (CTRND), Univeritas Florida Amerika Serikat ini.
Namun, di balik ganasnya efek kerusakan otak yang dipaparkan oleh sang profesor ilmu otak tersebut, dia tetap menyelipkan kabar gembira dalam presentasinya.
Walau rata-rata proses perkembangan otak manusia selesai di usia 20 tahunan, akan tetapi otak manusia memiliki kemampuan untuk terus berkembang bahkan menyembuhkan diri.
Kemampuan otak untuk beradaptasi menjadi lebih baik itu dikenal dengan istilah neuroplasticity.
“Kalau traumanya mendalam dan masuk alam bawah sadar, maka butuh proses penyembuhan yang mendalam juga, butuh waktu.
Maka harus diceritakan, biar perasaannya plong,” jelas sang asisten profesor di Departemen Anatomi dan Neurobiologi, Universitas Kagawa, Jepang, tersebut memberikan tawaran solusi penyembuhan trauma psikologis pada otak.
Dokter Irawan memaparkan, beberapa jenis psikoterapi seperti terapi bicara (talk therapy) dan terapi kognitif perilaku (cognitive behavioral therapy) dapat membantu proses peningkatan kesembuhan trauma otak tertentu.
Sang dokter juga menyatakan bahwa asupan gizi seimbang, waktu tidur yang cukup, dan lingkungan yang sehat juga menjadi faktor penting lainnya yang dapat mendukung proses pengikisan adiksi dan penyembuhan trauma.
Trauma dan adiksi
Dr.Gabor Maté (pakar trauma, stres, dan adiksi) mengevaluasi bahwa kebanyakan orang keliru dalam menilai dan mempertanyakan fenomena terkait trauma dan adiksi.
Dalam bukunya, “In the Realm of Hungry Ghosts”, dokter sekaligus psikolog ini menyebutkan, “Kita tidak seharusnya berkata, ‘Mengapa mereka kecanduan?’ Akan tetapi kita harus terlebih dahulu memahami, ‘Luka apa yang mereka sembunyikan melalui kecanduan? Dan mengapa luka itu hadir?’,” jelasnya.
Terkait kondisi di Aceh, dosen sekaligus peneliti sosial di Universitas Syiah Kuala, Rizanna Rosemary MSi, MHC, PhD, yang saya hubungi melalui kontak seluler menyetujui implikasi rendahnya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Aceh yang disebabkan oleh maraknya kasus adiksi.
“Rokok dan mi instan sama-sama mengandung zat adiktif yang membuat candu dan berbahaya untuk jangka panjang.
Banyak penelitian membahas hal itu.
Namun menariknya, di lapangan saya dan tim menemukan bahwa ketergantungan akan rokok memiliki implikasi sosial ekonomi di Aceh yang cukup signifikan,” sebut sang penulis buku “Merindukan Negeri Tanpa Asap Rokok” ini.
Jika ditarik poin kunci terkait kerusakan otak, adiksi, dan trauma pada masyarakat Aceh, maka akan tepat sasaran jika menggunakan referensi penelitian dari Dr Maté.
Dia jelaskan bahwa pada dasarnya tidak semua kecanduan berakar pada masalah kekerasan (abuse) atau trauma.
Namun, menurutnya, semua jenis kecanduan berasal dari pengalaman internal yang menyakitkan.
Dia menilai kecanduan berakar pada penderitaan emosional.
“Sakit hati adalah pusat dari semua perilaku adiktif,” kata sang pakar.
Maka saran Prof Irawan untuk membuat perubahan besar melaui evolusi pola pikir perlu didengarkan.
Dia mengajak untuk mengubah pola pikir lintas aspek yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan, hingga negara.
Sebab, menurutnya, pola pikir berdampak pada pola perilaku.
Pada akhirnya, penting untuk menyadari bahwa semua perkembangan fisik, mental, dan intelektual yang membentuk perilaku seseorang berkaitan erat dengan kondisi kesehatan otaknya.
Baca juga: Bisa Pengaruhi Kinerja Otak, Ini 13 Makanan yang Bisa Tingkatkan Kecerdasan Diungkap dr Zaidul Akbar
Baca juga: Waspada, Sering Rebahan Seharian Berisiko bagi Otak