Berita Politik
Pencaplokan Empat Pulau Rawan Konflik, Partai Aceh Sebut Pusat Buat Keputusan Sepihak
Partai Aceh melalui Juru Bicaranya, Nurzahri, menyorot sikap Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Dalam semua pertemuan itu disepakati bahwa permasalahan wilayah Aceh dan Sumatera merujuk pada peta topografi yang dibuat TNI pada tahun 1978, dan dalam peta itu ke empat pulau yang menjadi sengketa dan juga di perbatasan Tamiang dan Langkat masuk ke Aceh.
Lalu, pada tahun 2017, Perintah Pusat membuat peta RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) untu semua provinsi.
"Sumatera Utara sudah duluan buat.
Nah dalam peta yang dibuat itu mereka memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah mereka.
Kita sendiri buatnya di 2019, jadi sama-sama memasukkan wilayah itu ke dalam peta kita masing-masing," terangnya.
Akibatnya, status keempat pulau menjadi sengketa.
Sayangnya kata Nurzahri, tidak ada penyelesaian antara kedua pihak yang bersengketa, antara Aceh dan Sumatera Utara.
"Harusnya jika merujuk ke undang-undang, penyelesaian sengketa di Negara kitakan mempertemukan kedua pihak yang bersengketa, tapi ini tidak pernah.
Harusnya Pusat kembalilah pada aturan yang ada," pungkasnya.
Terlalu Euforia dengan MoU
Dr Badri Hasan selaku peneliti hukum di Aceh mengatakan, Pusat semestinya menghormati keistimewaan setiap daerah terlebih Aceh, di mana persoalan batas wilayah juga menjadi salah satu klausul yang telah disepakati dalam perjanjian damai.
"Itu disebutkan dalam UUD Pasal 18 b ayat 1, Negara mengakui dan menghormati satuan-satua pemerintah daerah yang bersifat khusus dan keistimewaan dan dalam pasal 18 b ayat 2 termasuk hak tradisional yang masih hidup," katanya.
Dia meminta Pemerintah Pusat menghargai keistimewaan dan kewibawaan Aceh.
"Ini bukti sejarah dan komitmen masa lalu, kita harus menghargai amanat mou Helsinki," tambah dia.
Namun Badri tak menampik, kondisi ini terjadinya akibat kelengahan para pihak di Aceh yang menurutnya terlalu euforia dengan kekhususan.