Berita Bireuen

Prodi HI Umuslim Gelar Kuliah Umum dengan Dosen Internasional Prof Saeki Natsuko, Ini yang Dibahas

Dalam kesempatan itu, Prof Saeki Natsuko menjelaskan tentang bagaimana turis muslim telah menjadi target pasar pariwisata dunia Internasional.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Amirullah
Dok. Prodi Hubungan Internasional Universitas Al-Muslim
Dosen Internasional Universitas Al-Muslim (UMUSLIM) Bireuen, Prof Saeki Natsuko memberikan kuliah umum pada Selasa (31/5/2022) dan Kamis (2/6/2022). 

Prodi HI Umuslim Gelar Kuliah Umum dengan Dosen Internasional Prof Saeki Natsuko, Ini yang Dibahasanya

SERAMBINEWS.COM, BIREUEN - Dosen Internasional Universitas Al-Muslim (UMUSLIM) Bireuen, Prof Saeki Natsuko memberikan kuliah umum pada Selasa (31/5/2022) dan Kamis (2/6/2022).

Kuliah umum bersama Prof Saeki Natsuko diselenggarakan oleh program studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Al-Muslim.

Kuliah umum yang disampaikan Prof Natsuko merupakan bagian tidak terpisahkan dari materi pertemuan dua matakuliah yang ada pada Prodi HI UMUSLIM, yakni “Agama dan Budaya dalam Hubungan Internasional” dan “Gender dan Isu-Isu Globalisasi”.

Kuliah umum matakuliah “Agama dan Budaya dalam Hubungan Internasional” dilaksanakan secara hybrid pada hari Selasa (31/5/2022) di ruang kuliah F1 kampus Timur UMUSLIM, dengan tema “Tenaga Kerja Muslim Indonesia di Negeri Sakura: Gotong Royong, Peleburan Budaya dan Agama, serta Kehidupan Sosial Masyarakat”.

Dalam kesempatan itu, Prof Saeki Natsuko menjelaskan tentang bagaimana turis muslim telah menjadi target pasar pariwisata dunia Internasional.

Ia mengatakan jumlah turis muslim diperkirakan bertambah 8,2 persen setiap tahunnya.

Baca juga: Umuslim Gelar Kuliah Umum, Hadirkan Pakar Mikro Ekspresi, Analisis Perilaku dan Komunikasi

“Di Jepang sendiri, sampai tahun 2019, jumlah turis muslim mencapai  sekitar 413 ribu,” sebut dia.

Oleh karenanya, Prof Natsuko mengatakan setiap negara memerlukan kebijakan khusus untuk kenyamanan beribadah bagi turis muslim.

“Di Jepang, telah diterbitkan panduan bagi pengusaha, rumah makan tentang ketentuan pelayanan bagi turis muslim serta sudah terdapat beberapa restoran dan ruang ibadah yang diperuntukkan bagi turis muslim,” kata dia.

Adapun sertifikat halal makanan di Jepang tidak diperoleh melalui suatu lembaga khusus seperti BPOM MUI di Indonesia.

Ia menyebut, di Jepang, sertifikat halal dikeluarkan oleh komunitas muslim setempat.

Dalam keberagaman beragama di Jepang, Prof Saeki Natsuko menjelaskan bahwa UUD Jepang menjamin kebebasan beragama, sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang agama adalah sesuatu yang tabu dibahas di Jepang.

“Walaupun begitu, komunitas muslim Jepang masih kesulitan dalam menerapkan beberapa ketentuan hukum,” kata Prof Natsuko.

Baca juga: Isi Kuliah Umum di USK, Sekjen DPR RI Nyatakan Aceh Punya Sejumlah Persoalan yang Mengkhawatirkan

 Ia mencontohkan terkait foto diri pada dokumen resmi, dimana dilarang untuk berfoto menggunakan jilbab atas dasar keselamatan jiwa.

“Begitu juga untuk lahan pemakaman, masih terjadi pro kontra bagi masyarakat Jepang,” ujarnya.

Hal ini, kata Prof Natsuko, disebabkan prosesi pemakaman muslim dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas air minum bersih di Jepang.

“Komunitas muslim di Jepang, biasanya juga melakukan gotong royong membersihkan jalan dan ilalang sebagai langkah upaya muslim Jepang dapat melebur dan diterima di Jepang” lanjutnya.

Sementara itu, pada kuliah umum matakuliah “Gender dan Isu-Isu Globalisasi” yang digelar pada Kamis (2/6/2022) yang juga secara hybrid di ruang Multimedia Perpustakaan UMUSLIM, mengangkat tema “Telaah isu Isu Gender Dalam Konflik Bersenjata”.

Dalam kuliah umum tersebut, Prof Saeki Natsuko menyampaikan, ada tiga tipologi kekerasan seksual yang terjadi selama konflik bersenjata.

Pertama, kata dia, tindakan asusila secara kenikmatan yang diartikan sebagai harfiah seorang laki-laki yang mendominasi sebagai tentara memiliki nafsu seksual.

“Tidak tersedianya tempat pelampiasan khusus bagi tentara sehingga mengarah kepada korban sipil perempuan di wilayah konflik,” terangnya.

Baca juga: Kuliah Umum di FKM UI, Airlangga Ingatkan Pentingnya Insan Kesehatan Akrab Dengan Teknologi Digital

Kemudian yang kedua, Prof Natsuko mengatakan tindakan asusilal untuk jaminan keamanan negara, maksudnya kekerasan seksual yang terjadi karena ketidakstabilan negara sehingga masyarakat frustasi.

“Dalam hal ini, tidak hanya tentara yang melakukan tindak kekerasan seksual namun juga masyarakat sipil sebagai pelaku. Seperti kerusuhan tahun 1998, kerusuhan pasca 1966,” ujarnya.

Ketiga, tindakan asusila secara sistematis. Ia mengatakan, hal ini merupakan salah satu taktik atau strategi dalam operasi militer untuk memenangkan peperangan.

Dalam kuliah umum ini, Prof Saeki Natsuko didampingi oleh dua narasumber lainnya, yakni korban konflik bersenjata Masyitah, dan LSM JARI dari Lhokseumawe

Masyitah mengatakan, pada tahun 1990-an, perempuan Aceh pada masa konflik terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah dikarenakan laki-laki tidak boleh keluar.

Bahkan mirisnya, kata dia, perempuan pada saat itu kerap kali menjadi korban pelecehan seksual oleh aparat bersenjata.

“Namun, pasca ditandatangi MoU Helsinki tahun 2005, perempuan tidak perlu mencari nafkah lagi, karena keluarga atau suami sudah bisa kembali dan berkumpul bersama,” katanya.

Kuliah umum ini pun cukup memantik semangat para audien yang hadir untuk bertanya, diantaranya muncul pertanyaan dari beberapa mahasiswa Amikom Yogyakarta dan mahasiswa UMUSLIM.

Prof Natsuko menutup diskusi dengan menayangkan video ‘Jugun Lanfu’, dimana film ini menceritakan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh Tentara Jepang semasa perang dunia ke II di beberapa negara Asia seperti China, Filipina, Indonesia, dan Timor Leste.

Prof Natsuko menambahkan pelaku kekerasan seksual selama konflik bersenjata berganti sesuai masanya.

“Adakalanya mereka awalnya sebagai korban dan adakalanya mereka berada sebagai pelaku,” ujarnya.

Di akhir diskusi Prof Natsuko menyampaikan permintaan maaf sebesar-besarnya atas apa yang menimpa masyarakat Indonesia secara keseluruhan, terkhusus di Jawa atas perlakuan kekerasan seksual tentara kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II berlangsung. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved