Opini

Siapa Pj Gubernur Aceh?

PJ merupakan representasi dari kepentingan Pusat serta dapat menjalankan agenda-agenda kepentingan rezim, termasuk juga dalam menyukseskan Pilpres

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Siapa Pj Gubernur Aceh?
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr iur Chairul Fahmi MA, Peneliti pada The Aceh Institute

Oleh Dr iur Chairul Fahmi MA, Peneliti pada The Aceh Institute

PERTANYAAN di atas menjadi pembahasan hangat oleh berbagai kalangan di Aceh saat ini.

Sejumlah petinggi partai politik dan elite lokal lainnya sudah pasti ingin memastikan bahwa Pelaksana Jabatan (PJ) Gubernur Aceh ke depan tetap menjadi bagian dari menjaga kepentingan kelompoknya.

Disisi lain, rezim Jakarta juga menginginkan bahwa PJ merupakan representasi dari kepentingan Pusat serta dapat menjalankan agenda-agenda kepentingan rezim, termasuk juga dalam menyukseskan pelaksanaan Pilpres dan Pilkada pada 2024 nantinya.

Dalam diskusi tentang “Siapa sosok PJ Gubernur Aceh” yang dilaksanakan oleh The Aceh Institute beberapa waktu lalu, Jubir Partai Aceh, Tgk Jamaica mengatakan bahwa PJ Gubernur Aceh layaknya berasal dari kalangan militer.

Namun politisi PA lainnya, Cut “Farah” Mutia tidak sepakat, karena menurutnya, Aceh bukan lagi zona perang/ konflik.

“Jika ada sipil, mengapa harus dari militer” katanya seperti dikutip oleh Serambi Indonesia (30/5).

Sebaliknya, mantan ketua Komnas HAM RI, Otto Syamsuddin Ishak mengatakan PJ Gubernur haruslah orang yang mengerti tentang pelbagai persoalan yang terjadi di Aceh, khususnya dalam hal mengatasi masalah kemiskinan dan perpecahan dalam masyarakat (fragmented society).

Penulis sepakat dengan pendapat Dr Otto bahwa persoalan mendasar di Aceh bukanlah masalah keamanan, tapi kemiskinan.

Kemiskinan yang muncul bukan karena kultural, melainkan terjadi secara sistematis dan terstruktur.

Baca juga: Terkait Pj Gubernur, Otto: Aceh Sudah Kalah Lobi

Baca juga: Ini Kriteria Pj Gubernur Aceh versi HUDA, Tu Sop: Pj Harus Jadikan Syariat Kekuatan dalam Membangun

Rakyat termiskinkan oleh kelompok elite lokal yang menguasai modal (kapital) yang bersumber dari dana otonomi khusus (OTSUS).

Penguasaan dan pengelolaan oleh para Kleptokratos dengan para kroni-kroninya telah menyebabkan masyarakat mengalami disparitas yang sangat jauh, antara elite yang kaya dengan rakyat yang sengsara.

Kleptokrasi Kleptokrasi ini berasal dari Bahasa Yunani, yaitu kleptes (pencuri), dan kratos (kuasa).

Secara istilah, ini merupakan suatu sistem pemerintahan yang mengambil uang dari dana publik (rakyat) untuk memperkaya kelompok tertentu atau diri sendiri.

Dalam Bahasa lain, para sistem pemerintahan ini terbalut dengan praktik-praktik korupsi dan atau melakukan pencucian uang publik melalui mekanisme dana pokok-pokok pikiran (pokir) oleh legislatif.

Praktik kleptokrasi atau Bahasa Jerman disebut dengan istilah Raubwirtschaft ini merupakan praktik lama.

Sejak zaman Romawi telah terjadi praktik pencurian oleh rezim terhadap dana-dana rakyat, sampai abad modern, zaman ‘demokrasi’.

Pada masa berkuasanya rezim Soeharto, praktik kleptokrasi terjadi dibalik layar, namun terjadi secara sistematis dan terstruktur.

Penguasaan secara politik dan struktur pemerintahan oleh rezim baik dieksekutif, legislatif dan yudikatif serta militer membuat praktikpraktik ini berjalan selama lebih 32 tahun lamanya.

Dalam konteks lokal.

Praktik ini mulai muncul pasca tsunami dan berakhirnya konflik.

Namun terjadi secara konfrontatif dan kompetitif.

Persaingan antara firkah- firkah elite lokal dalam merebut sumber-sumber dana negara dalam berbagai proyek-proyek pembangunan menyebabkan disparitas dan fragmented society semakin melebar.

Distruktur eksekutif, relasi penguasa dan pengusaha menjadi sangat vital.

Karena calon penguasa sangat ditentukan oleh sokongan dana dari pengusaha dalam proses pemenangan.

Sebaliknya kompensasi penguasaan project pembangunan sudah ditentukan siapa pemenangnya.

“Jangan harap dapat memenangkan sebuah proyek pembangunan, jika tidak punya relasi dengan penguasaan plus cuan di awal di Aceh ini” kata seorang kontraktor dalam sebuah acara peh-tem di warung kopi.

Pun begitu, “Jangan berharap kualitas pembangunan itu berkelas dan berkualitas seperti project jalan Lhoknga – Calang yang dibuat dari dana USAID di bawah rezim theivocary, karena berbagai pungutan tak resmi”.Sambungnya.

Sementara dilegislatif, praktik serupa juga terjadi, di bawah proyek Pokir, sejumlah praktik “theavokrasi” menjadi rahasia umum.

Kasus beasiswa hanya satu dari sejumlah praktik yang sama yang terungkap ke publik.

Modusnya hampir serupa.

Setiap legislator mempunyai tim yang menawarkan dana publik dari skema Pokir ke individu (mahasiswa), pembangunan pesantren, rumah duafa, masjid atau fasilitas publik lainnya.

Dan setiap penerima harus membuat komitmen fee, yaitu menyetor 30 % atau 40 % atau sejumlah lainnya sesuai permintaan tim.

Sementara pengelolaan pembangunan juga dikelola atau diswakelola oleh tim “pemilik” dana aspirasi tersebut.

Praktik ini serupa dengan model pencucian uang, yaitu melegalisasi praktik-praktik “tidak halal” untuk meraup uang yang sepatutnya menjadi hak para beneficiaries.

Namun hal ini sudah seperti huruf atau kebiasaan yang lumrah di negeri yang mencap diri sebagai provinsi yang bersyariat (Islam).

Di Amerika Serikat, skema Pokir lebih dikenal dengan istilah Pork Barel (kentong babi).

Sebuah metafor yang dilabelkan kepada para politisi yang membawa dana publik khusus untuk konstituennya.

Para politisi mengalokasikan sejumlah dana publik untuk tim atau konstituen agar tetap terjaga suara keterpilihannya di pemilihan berikutnya.

Selain itu, proses pengalokasian ini dilakukan secara non-kompetitif dan cenderung diskriminatif.

Lebih baik, dalam konteks ini, legislator via tim khususnya tidak lagi “disunat” melainkan sepenuhnya untuk kepentingan konstituen.

Pj untuk rakyat Kembali ke pertanyaan, siapa yang layak jadi Pj Gubernur Aceh? Bagi penulis, tidak penting apakah sosok Pj berasal dari sipil atau militer.

Yang penting adalah yang mampu merubah perilaku-perilaku birokrat dan politisi di bawah budaya rezim kleptokrasi atau teavokrasi.

Seorang Pj juga tidak penting, apakah berasal dari etnis Aceh, atau non-Aceh, yang utama adalah berintegritas, dan berkomitmen membangun Aceh menjadi lebih berperadaban dan berkemajuan.

Karena kuasa Pj mesti layaknya seorang pemimpin yang bernegarawan.

Proses ini diawali oleh sosok yang tidak punya konflik interest, hutang budi dengan partai atau politisi, paham birokrasi, undang-undang, sertai orientasi dari konstitusi, yaitu mewujudkan kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat secara menyeluruh – tidak partial.

Maka seorang Pj juga harus berani mengubah pola pengelolaan anggaran yang lebih sehat, adil, efektif, dan efisien, termasuk menghapus program Pokir.

Sebaliknya, pengalokasian anggaran harus benar-benar berdasarkan kebutuhan dan tidak diskriminatif untuk tujuan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

Dalam laporannya, Kemenkue merilis bahwa sejak dialokasi dana Otsus pada tahun 2008 sampai 2021, Aceh sudah menerima dana 88,43 triliun.

Selain itu Aceh juga memperoleh dari sumber PAD, dana perimbangan, dana insentif daerah, dana keistimewaan dan dana desa.

Namun dana yang melimpah ini tidak berkorelasi positif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.

Anehnya, dalam kurun waktu 2013 – 2020, Aceh mengembalikan sisa dana Otsus sebesar 7.7 triliun ke kas negara.

Dalam mewujudkan daerah yang berbasis kesejahteraan, maka basic need rakyat harus dipenuhi.

Misalnya di sektor kesehatan.

Setiap orang harus membayar premi Kesehatan (BPJS dan/atau JKA) sesuai dengan pendapatannya.

Namun dia harus mendapatkan benefit sesuai kebutuhan pengobatannya.

Tidak sepatutnya seorang pasien mendapatkan pelayanan medis dan pengobatan diskriminatif atau berkasta karena perbedaan premi yang dibayarkan.

Karena pelayanan negara terhadap warga harus diberikan secara adil dan merata.

Namun perbedaan bayaran premi karena berdasarkan pendapatnya, menjadi kewajiban negara untuk menyubsidinya.

Di sektor pendidikan, Pj Gubernur Aceh ke depan harus mampu memberikan fasilitas dan akses pendidikan bagi setiap warga Aceh secara gratis-- khususnya di sekolah-sekolah negeri.

Jika perlu ke tingkat universitas.

Sementara di sektor pembangunan infrastruktur, Pj harus mampu memastikan proses procurement di sektor pembangunan infrastruktur bebas dari bau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Komitmen ini penting agar infrastruktur benar- benar bermanfaat dan berkualitas.

Biasanya hubungan erat antara penguasa dan pengusaha, konflik kepentingan dalam evaluasi tawaran, keterlibatan pengusaha/kontraktor dalam design spesifikasi, kriteria pemilihan atau evaluasi yang tidak jelas dan spesifikasi yang dibuat khusus untuk perusahaan tersebut dapat berpotensi melahirkan praktik KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Terakhir, tapi bukan akhir.

Seorang Pj Gubernur Aceh adalah orang yang mampu menghilangkan gab dan disparitas kelas sosial dan ekonomi di Aceh, serta mampu membangun masyarakat Aceh yang prosperity for all (kesejahteraan bersama untuk semuanya).

Wallahualam.

Baca juga: PDA Inginkan Pj Gubernur Aceh Orang Berbintang 

Baca juga: Terkait Pj Gubernur, Anggota DPRA Minta Pusat tidak Kirim Penyakit ke Aceh

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved