Jurnalisme Warga

Menyantap Kepiting Raksasa di Aceh Singkil

INI, Man, kepiting besar yang saya ceritakan di perjalanan tadi,” ucap Yarmen Dinamika, Wartawan Harian Serambi Indonesia

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Menyantap Kepiting Raksasa di Aceh Singkil
FOR SERAMBINEWS.COM
HERMAN RN,  Dosen FKIP USK, Fasilitator FAMe, dan alumnus Dokarim Writing School, melaporkan dari Ketapang Indah, Aceh Singkil

OLEH HERMAN RN,  Dosen FKIP USK, Fasilitator FAMe, dan alumnus Dokarim Writing School, melaporkan dari Ketapang Indah, Aceh Singkil

“INI, Man, kepiting besar yang saya ceritakan di perjalanan tadi,” ucap Yarmen Dinamika, Wartawan Harian Serambi Indonesia.

Ia sampaikan itu sembari menunjuk seekor kepiting dalam pinggan atau piring nasi di atas meja makan restoran tempat kami singgah dan akan makan siang.

Saya melihat ke arah yang ia tunjuk.

Ada beberapa kepiting besar di sana.

Warnanya merah merekah dan mengundang selera makan siapa saja yang memandang.

Ada kepiting sebesar telapak tangan anak kecil.

Ada juga kepiting yang sebesar telapak tangan orang dewasa.

Dari beberapa kepiting yang disajikan di restoran Kiniko Duo, Anak Laut, Ketapang Indah itu mata saya tertarik pada kepiting raksasa yang ditunjuk oleh Yarmen.

Besar kepiting tersebut melebihi piring nasi tempat kepiting itu diletakkan.

"Wah, saya baru melihat ada kepiting sebesar ini.

Baca juga: Kepiting Asal Pantonlabu Diminati Warga, Harganya Capai Rp 150 Ribu Satu Ikat

Baca juga: Menengok Cara Budidaya Kepiting Soka Ala Pemuda Aceh Singkil

Apa dagingnya bisa dimakan?” tanya saya spontan.

“Ini sudah dimasak, untuk apa? Ya, untuk dimakanlah,” sahut putra Singkil yang bermukim di Banda Aceh itu sambil tersenyum.

“Sebelum makan kepiting itu, pastikan dulu kemampuan diri.

Yakin sanggup? Jangan nanti tumbang,” ujar Dr Edi Yandra, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA) yang hari itu adalah kepala rombongan tim kami.

Saya, Yarmen, dan Bu Dyah Erti Idawati diundang DPKA sebagai narasumber pada acara Kampanye Budaya Baca di Gedung Seni dan Budaya Aceh Singkil di Pulau Sarok, Kecamatan Singkil.

Sehabis ceramah itulah kami datang bertahap ke Resto Kiniko Duo di Desa Ketapang Indah, Aceh Singkil.

Tanpa menunggu aba-aba, saya mengambil seekor kepiting raksasa.

Dengan sepotong kayu sebesar anak patok lele, yang disediakan oleh awak restoran, saya mulai mengetuk capit kepiting itu.

Ternyata makan kepiting secara tradisional begini sangat mudah.

Hanya dengan ketukan sedikit keras, capit kepiting tersebut terbelah dengan mudah.

Di balik kulit capit tersebut, menyembul daging paha yang bulat, montok, dan berisi.

“Wow, dahsyat ini,” kata saya sembari mencecah daging capit kepiting dengan saus sambal yang sediakan.

Namanya saus cocol.

Terbuat dari kecap, cabai, barang merah, bawang putih, tomat, dan garam yang diblender.

Saya kembali mengetok capitan kepiting pada bagian ujung.

Lagi-lagi daging capit kepiting itu sangat memukau dan lezat.

Ternyata, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh sedang memperhatikan saya menikmati daging kepiting raksasa.

“Saya mau coba capit yang sebelahnya.

Kalau saya makan satu kepiting, takut tidak habis.

Boleh berbagi?” tanya Pak Edi.

Saya berikan capit kepiting yang sebelah lagi kepada Pak Kadis.

Setelah mempraktikkan cara mengetuk cangkang capit kepiting seperti yang saya lakukan, Pak Kadis pun terlihat sangat menikmati daging tersebut.

Hal yang membuat kepiting raksasa ini lezat karena cara masak dan bumbunya.

Ditambah lagi lokasi restoran yang kami singgahi tepat di pinggir laut.

Di bawah tempat duduk pengunjung, riak laut menjadi musik pengantar makan siang.

Beberapa ikan terlihat menari- nari di antara buih yang muncul dari pecahan ombak pada tiang restoran tempat kami duduk.

Tiang-tiang itu penuh dengan tiram.

Orang Singkil tak memakannya seperti kita di Banda Aceh atau Aceh Besar.

Tak lama berselang, tiba Dyah Erti Idawati, istri Gubenur Aceh, Nova Iriansyah.

Dyah tiba beserta rombongannya dari BKMT Aceh.

Mereka duduk tepat di meja sebelah saya.

Tak mau ketinggalan, Dyah pun mencoba mengupas cangkang kepiting raksasa di depannya.

Kelezatan kepiting rebus hasil masakan restoran di wilayah Anak Laut itu semakin memukau.

Ibu-ibu yang turut serta dalam rombongan Bu Gubernur turut melahap kepiting yang tersedia.

Selain kepiting, Restoran Kiniko juga menyajikan gulai burung punai, satai lokan, dan ikan karang yang sudah pasti sangat segar.

Ikan-ikan yang disajikan belum terkena es batu seperti umumnya restoran besar di kota-kota besar.

Ikan-ikan di restoran itu ditangkap sekadarnya, disesuaikan dengan kebutuhan sajian restoran.

Inilah kelebihan Aceh Singkil.

Hal ini diakui oleh Camat Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil.

Menurut Camat Pulau Banyak, Mukhlis, ikan-ikan karang dengan segala jenis yang ada di lautan Aceh Singkil bisa ditangkap dengan mudah.

Pada musim tertentu, ikan-ikan itu mencari makan hingga ke tepi pantai bahkan melompat ke darat.

Apa yang diutarakan oleh Camat Mukhlis ada benarnya.

Selain menikmati kepiting dan ikan karang di Restoran Kiniko, Anak Laut, saya dan teman-teman berkesempatan menikmati ikan karang goreng di Pulau Panjang, Kecamatan Pulau Banyak, Aceh Singkil.

Ikan karang yang disajikan sungguh segar dan berisi.

Surga kuliner Setelah merasakan berbagai kelezatan makanan khas Aceh Singkil yang umumnya merupakan hasil laut setempat, saya mulai berpikir, jangan- jangan Aceh Singkil layak menjadi surga kuliner yang dapat memancing dan memantik pariwisata, lokal dan mancanegara.

Jika saja hal ini dapat dibenahi dan disosialisasikan kepada publik, tentu banyak turis yang akan datang ke Aceh Singkil, terutama ke Pulau Bayak.

Apalagi, keindahan alam Pulau Banyak memang sangat memikat.

Bening air lautnya nyaris seperti air sungai di pegunungan.

Dari jarak lima meter di tepi pantai, kita masih dapat melihat warna pasir di dasar laut tersebut.

Hal yang berbeda dengan kebanyakan laut di tempat lain.

Laut Pulau Banyak tidak keruh.

Bahkan, ketika ombak memecah di pesisir pantai, kita masih dapat melhat buih yang putih di antara beningnya air laut.

Padahal, biasanya ombak laut yang memecah di bibir pantai keruh karena pasir yang bergulung akibat pertemuan ombak datang dan ombak yang kembali ke tengah laut.

Hal inilah yang membedakan dengan laut di Pulau Banyak.

Pecahan ombak di bibir pantai sama sekali tidak menghadirkan air yang keruh, melainkan warna laut bertambah indah.

Tidak salah jika Ibu Gubernur Aceh mengatakan Pulau Banyak tamsil Raja Ampat kedua di Indonesia.

Kiranya peran Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten, dan para elite di Aceh sangat diperlukan dalam upaya memajukan objek wisata dan wisata kuliner Aceh Singkil.

Peran masyarakat Aceh, terutama netizen juga sangat dibutuhkan.

Dengan banyaknya netizen menunjukkan bukti kehebatan Pulau Banyak dan kelezatan kuliner Aceh Singkil, tentu harapan Bu Gubernur Aceh untuk melihat Pulau Banyak sebagai Raja Ampat kedua akan cepat tercapai.

Bayangkan saja, jika di Simeulu ada lobster raksasa, di Pulau Banyak ada kepiting raksasa dan burung punai, kenikmatan mana lagi yang akan didustakan dari perairan Aceh?

Baca juga: Budidaya Kepiting Bakau Binaan Baitul Mal Aceh di Simeulue Mulai Dipanen

Baca juga: Maknyusnya Martabak Kepiting Asal Pijay, Bermula dari Coba-coba Kini Jadi Kuliner Incaran Konsumen 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved