Jurnalisme Warga
KMP Papuyu, Transportasi Harapan Menghubungkan Masa Depan
Ada yang berlari mengejar kapal yang hendak menutup pintu (ramp door)-nya. Sementara petugas sibuk merobek separuh tiket penumpang
HAYATULLAH ZUBOIDI, S.Sos.I., M.Sos., Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Pulo Nasi (Pulo Aceh), Kabupaten Aceh Besar
Orang-orang dengan ransel besar di punggungnya tampak berjalan cepat pagi itu. Ada yang berlari mengejar kapal yang hendak menutup pintu (ramp door)-nya. Sementara petugas sibuk merobek separuh tiket penumpang sebagai tanda sudah ‘check-in’ di pintu masuk.
Setelah pintu ditutup rapat, kapten membunyikan klakson terakhir menandakan kapal akan segera berangkat. Kapal Motor Penumpang (KMP) Aceh Hebat 2 yang melayani rute penyeberangan Banda Aceh-Sabang di Pelabuhan Ulee Lheue beringsut meninggalkan dermaga menuju Balohan Sabang.
Dermaga mulai terasa sepi. Suara riak ombak seakan memecah keheningan. Dari jarak 50 meter, tampak KMP Papuyu bergerak menuju arah tempat KMP Aceh Hebat 2 bersandar sebelumnya. Tujuannya bukan ke Sabang, melainkan ke Pulo Nasi (Pulo Aceh), Kabupaten Aceh Besar.
Ukurannya badannya lebih kecil dari KMP Aceh Hebat 2 milik Pemerintah Aceh itu. Berdasarkan informasi dari PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Banda Aceh, spesifikasi KMP Papuyu dengan kode YB-4217, memiliki panjang secara keseluruhan (LOA) 33,50 meter. Panjang (LBP), 28,32 meter, lebar (B) 9,00 meter, kedalaman (D) 2,70 meter, dan sarat air (d) 1,70 meter.
Untuk kapasitas penumpang, kapal ini mampu menampug 105 orang, dua kendaraan kecil, dan enam bus/truk. Sedangkan kecepatannya mencapai 10-12 knot. Dengan kapal inilah saya bersama teman-teman akan menginjakkan kaki di pulau yang berpenghuni 1.563 jiwa itu. Tujuan kami ke sana, selain melaksanakan tugas kantor, juga sambil memancing ikan. Pulo Nasi terkenal dengan alamnya yang masih natural dan ikan-ikan di pinggiran pun masih banyak.
Kapal yang sudah beroperasi sejak tahun 2013 itu, memiliki rute khusus, yaitu melayani penyeberangan perintis Banda Aceh-Pulo Nasi, Kabupaten Aceh Besar. Namun, dalam sebulan sekali juga melayani rute Banda Aceh-Pulo Breueh (Pulo Aceh), sesuai kondisi air laut. Tahun 2024 sempat melayani rute segitiga, yaitu Banda Aceh-Pulo Nasi-Sabang. Rute tersebut kemudian dihentikan karena dinilai tidak tumbuh dan keterbatasan anggaran sehingga kembali ke rute sebelumnya, Banda Aceh-Pulo Nasi.
Tumpuan harapan warga Pulo
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu sekitar 1,5 jam, akhirnya kami tiba di Pelabuhan Lamteng, Pulo Nasi. Begitu kapal mendekat ke bibir dermaga, petugas bergegas melemparkan tali tambang untuk diikatkan oleh porter yang sudah menunggu di sana.
Pintu kapal dibuka perlahan. Kami sudah tidak sabar ingin segera mengeksplorasi alam Pulo Nasi. Sejumlah masyarakat juga sudah menunggu di sana. Ada yang ingin menyeberang dan mengirim barang, ada juga yang menunggu kiriman barang dari Banda Aceh.
Masyarakat Pulo Nasi menjadikan KMP Papuyu sebagai penyambung harapan. KMP Papuyu biasanya untuk mengangkut kebutuhan berat seperti bahan bangunan, kendaraan, hingga kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya. Jika pengoperasiannya macet, maka sebagian besar kebutuhan mereka akan terganggu.
Memang, selain KMP Papuyu, Pulo Nasi memiliki moda transportasi alternatif yang melayani rute yang sama, yaitu kapal motor kayu milik nelayan. Akan tetapi, kemampuan muatannya sangat terbatas. Ditambah lagi biaya yang harus dikeluarkan penumpang lebih besar dua kali lipat dibandingkan KMP Papuyu. Untuk satu orang penumpang plus satu unit sepeda motor menelan biaya Rp75 ribu, dengan rincian, penumpang Rp25 ribu, biaya sepeda motor 25 ribu, dan biaya naik turun sepeda motor ke dalam kapal Rp20 ribu.
Sedangkan kalau menggunakan KMP Papuyu untuk penyeberangan, satu penumpang hanya membayar Rp19.800. Untuk satu unit sepeda motor plus penumpang biaya yang harus dikeluarkan hanya Rp31.800. Sedangkan tarif untuk kendaraan penumpang Rp176.000 dan kendaraan pengangkut barang Rp172.000.
Pulo Nasi memiliki lima desa, yaitu Deudap, Alue Reuyeueng, Pasie Janeng, Lamteng, dan Rabo. Sebagai daerah pesisir dan terpencil, masyarakat Pulo Nasi mengandalkan laut sebagai lahan mata pencahariannya. Masyarakat pada umumnya merupakan nelayan tradisional. Hasil tangkapan mereka selain untuk konsumsi masyarakat setempat, juga dikirim ke Banda Aceh untuk dijual.
Kebutuhan masyarakat Pulo Nasi masih bergantung pada Banda Aceh, mulai dari bahan bangunan hingga kebutuhan pangan seperti beras, sayur-mayur, hingga kebutuhan lainnya. Begitu juga dengan pendidikan, umumnya masyarakat Pulo Nasi jika ingin melanjutkan pendidikan tingkat perguruan tinggi, maka harus ke Banda Aceh. Di pulau ini lembaga pendidikan tertinggi sampai tingkat SMA saja.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.