Jurnalisme Warga
Antara Kiev, Wassenaar, dan Banda Aceh
KIEV (Kiyev, dengan nama baru “Kyiv”), ibu kota Ukraina, saat ini menjadi kota yang begitu dikenal warga dunia karena menjadi medan pertemuan

OLEH TEUKU CUT MAHMUD AZIZ, Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Almuslim dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Banda Aceh
KIEV (Kiyev, dengan nama baru “Kyiv”), ibu kota Ukraina, saat ini menjadi kota yang begitu dikenal warga dunia karena menjadi medan pertemuan antara Ukraina dan Rusia.
Kota ini baru saja disinggahi Presiden Joko Widodo dalam lawatan misi kemanusiaan dan perdamaian untuk menemui Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy.
Rusia telah menginvasi Ukraina empat bulan lamanya, sejak 24 Februari 2022.
Kota yang diinvasi tidak hanya Kiev/Kyiv, tapi juga Odesa, Chernihiv, Sumy, Kharkiv, dan Berdyansk.
Sebelum porak-poranda karena invasi, Kota Kiev yang berada di tepi Sungai Dnieper terlihat begitu indah dan memesona.
Sebagaimana peruntukkan sungai-sungai besar lainnya di Eropa, Sungai Dnieper juga menjadi sarana transportasi dan jalur lalu lintas barang antarnegara sekaligus menjadi penghubung antara Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Laut Hitam.
Kota yang dipenuhi dengan bangunan berarsitektur Romawi dan potmodernisme ini, dahulunya di tahun ’60-an, sebelum peristiwa G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI) pernah menjadi tempat belajar 2.000 mahasiswa Indonesia, yang mendapat beasiswa dari Pemerintah Uni Soviet untuk melanjutkan pendidikan di kampus-kampus terkemuka di sana.
Baca juga: Militer Inggris Sebut Pasukan Rusia Mulai Kelelahan, Terus Bertempur Sejak Awal Invasi ke Ukraina
Baca juga: Rusia Luncurkan Tiga Rudal ke Kharkiv, Bangunan, Rumah Penduduk dan Pusat Perbelanjaan Hancur
Selain ke Uni Soviet, banyak juga yang mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan ke Cina, Albania, Hungaria, Romania, Cekoslovakia, Vietnam, Korea Utara, dan Mesir (Amin Mudzakkir 2015).
Sebelum deklarasi kemerdekaan Ukraina tanggal 24 Agustus 1991, negara ini masih menjadi bagian negara Uni Soviet.
Setelah Mikhail Gorbachev mengeluarkan kebijakan Glasnost dan Perestroika tidak lama kemudian diikuti dengan bubarnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991.
Yang kemudian diikuti dengan terbentuknya 15 negara pecahan Uni Soviet, termasuk salah satunya adalah Rusia.
Mendengar Kiev mengantarkan saya pada memori tahun 2010 ketika menjadi ‘visiting researcher’ di Universitas Leiden, Belanda.
Banyak waktu saya habiskan untuk mencari data dan membaca buku di Perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut van Taal-Land-en Volkenkunde/ Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) yang berada berdekatan dengan Universitas Leiden.
KITLV menjadi salah satu tempat rujukan utama jika ingin memperdalam atau melakukan penelitian kepustakaan tentang sejarah Indonesia.
Jika ingin mendapatkan data lengkap tentang sejarah Aceh maka salah satunya ada di KITLV.
Di KITLV saya bertemu dengan banyak peneliti Indonesia yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, termasuk peneliti asing dari kampus di luar negeri.
KITLV dapat diibaratkan ‘rumahnya orang Indonesia’ karena tempat berkumpul para peneliti asal Indonesia dan Indonesianis.
Peneliti asing dan staf yang bekerja di KITV hampir semua mahir berbahasa Indonesia.
Benar-benar suasana Indonesia.
Di KITLV saya berkenalan dengan Dr Agus Salim, mantan dosen Bahasa Indonesia di Leningrad University, Rusia.
Hampir setiap minggu beliau ada di KITLV, membaca dan menulis.
Kami bertambah akrab karena sahabat beliau, Sardjio Mintardjo adalah bapak kos saya di Oegstgeest.
Oegstgeest tidak jauh lokasinya dari Leiden Centraal.
Sardjio Mintardjo juga sering datang dan membaca buku di KITLV.
Dr Agus Salim dan Sardjio Mintardjo merupakan eksil (exile) Indonesia yang menetap di Belanda.
Dr Agus Salim sebelumnya bekerja sebagai dosen di Fakultas Studi Asia-Afrika di Leningrad University.
Setelah pensiun, ia bersama keluarga pindah ke Wassenaar, Belanda.
Demikian juga Sardjio Mintardjo, sebelumnya adalah pegawai negeri sipil di Kantor Pemerintahan di Rumania, dan setelah lama pensiun, ia bersama istri asal Rumania dan ketiga putrinya pindah ke Belanda dan menetap di Oegstgeest.
Daerah asal Dr Agus Salim adalah Aceh.
Kota asalnya Lhokseumawe.
Lulus dari SMA, ia melanjutkan studi di Universitas Padjajaran (Unpad).
Ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Uni Soviet untuk melajutkan pendidikan di universitas di Kiev.
Ada sejumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.
Pada suatu kesempatan saya pernah diundang Dr Agus di rumahnya di Wassenaar.
Wassenaar menjadi tempat kediaman banyak bangsawan, orang-orang kaya, dan diplomat.
Wisma Dubes RI berlokasi di sana.
Di rumah Dr Agus, saya dihidangi sayur lodeh, tempe goreng, dan ikan sambal.
Terasa nikmat sekali.
“Pon Cut harus nambah makannya,”ujar istri Dr Agus asal Jawa Barat.
“Pasti saya tambah.
Masakan Ibu enak sekali,” jawab saya.
Semua pada tertawa.
Istri Dr Agus juga pensiunan dosen di salah satu kampus terkemuka di Rusia.
Dr Agus dan istrinya merupakan alumni Unpad yang dikirim ke luar negeri untuk dipersiapkan menjadi dosen Unpad.
Banyak lulusan Unpad yang dikirim ke Uni Soviet.
Mereka berdua termasuk eksil yang paspornya dicabut oleh Pemerintah Orde Baru tahun 1966 setelah peristiwa G30S/PKI.
Banyak dari mereka tidak tahu apa-apa terkait peristiwa politik tahun 1965.
Mereka mendaftar sekolah ke luar negeri karena ada peluang beasiswa.
Karena ini kesempatan langka.
Setelah makan siang, Dr Agus membuka album yang berisi foto-foto kenangan waktu masih menjadi mahasiswa di Kiev.
Ia menunjuk foto deretan mahasiswa Indonesia yang mengenakan baju seragam hitam-putih, sedang mengikuti acara di kampus.
“Ini kami semua mahasiswa Indonesia.
Ini foto saya, Pon Cut.
Ini istri saya.
Yang di foto ini, saya benar-benar lupa siapa namanya.
Sama sekali tidak ingat lagi.
Teman baik saya, orang Aceh.
Orangnya pintar dan ganteng.
Kami benar-benar terputus komunikasi sejak ia kembali ke Indonesia.
Kami tidak tahu di mana ia sekarang,” kata Dr Agus.
“Rasanya ingin sekali bertemu kembali,” tambahnya.
Lalu saya mengatakan bahwa teman asal Aceh tersebut bernama Rubani.
Mendengar ini, ia dan istrinya menoleh ke sana.
“Iya kami baru ingat, iya benar itu namanya.
Namanya Rubani! Mengapa Pon Cut bisa tahu?” tanyanya sambil kegirangan.
Saya jawab bahwa “Pak Rubani, tetangga saya di Geuceu Kompleks, Banda Aceh.
Beliau teman ibu saya.
Ibu pernah cerita, ada temannya Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang pernah kuliah di Uni Soviet.
Sedangkan ibu saya memilih profesi sebagai jaksa.
” Saya tambahkan lagi bahwa “Anak Pak Rubani yang paling tua adalah teman SMP saya.
Wajahnya mirip dengan wajah Pak Rubani.
” Lalu di depan mereka saya telepon teman di Banda Aceh yang juga tetangga Pak Rubani.
Ia mengabari bahwa Pak Rubani telah meninggal dunia sebulan yang lalu.
Mendengar berita duka ini, mereka sangat sedih.
Dr Agus mengambil dua foto dan menyampaikan pesan, jika saya kembali ke Banda Aceh, mohon berkenan menyerahkan dua foto tersebut ke istri Pak Rubani, dan menyampaikan salam hormat dari mereka.
“Baik,” saya katakan.
Kepada mereka, ada saya ceritakan bahwa Pak Rubani pensiunan dosen di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Almarhum pernah menjabat pimpinan DPRD Tingkat II Banda Aceh.
Dr Agus ada mengatakan, bersyukur ia duluan kembali ke tanah air sebelum Peristiwa ‘65.
Setiba di Banda Aceh, saya menuju Geuceu Kompleks dan menyerahkan langsung dua foto tersebut kepada istri Pak Rubani.
Demikian juga titipan salam dari Wassenaar.
Baca juga: Putin Keluarkan Dekrit Jalur Cepat Perluas Kewarganegaraan Rusia ke Seluruh Ukraina
Baca juga: Presiden Amerika Serikat Teken Bantuan Senjata Baru ke Ukraina, Untuk Hadapi Serangan Rusia