Indonesia Masuk Daftar 15 Negara Berpotensi Resesi, Menkeu: Ekonomi RI Masih Kuat Tapi Tetap Waspada
Konflik Rusia dan Ukraina telah meningkatkan kekhawatiran atas pasokan makanan dan energi serta mendorong risiko ketidakstabilan sosial.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Survei Bloomberg menyebut negara Indonesia masuk pada urutan ke-14 dari 15 negara yang berpotensi mengalami resesi ekonomi.
Diketahui resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan dalam waktu yang stagnan dan lama, dimulai dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Sebanyak 15 negara yang berpotensi mengalami resesi versi survei Bloomberg adalah Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, lalu India.
Tidak hanya itu, Dana Moneter Internasional (IMF) juga mewanti-wanti bahwa prospek ekonomi global saat ini dalam kondisi gelap.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva memperingatkan gangguan pasokan gas alam ke Eropa, dapat menjerumuskan perekonomian banyak negara di benua ini ke jurang resesi.
Dalam sebuah postingan blog yang diterbitkan menjelang pertemuan pejabat dari Group of Twenty (G20) pekan ini, Kristalina Georgieva mengatakan invasi Rusia ke Ukraina telah menguncang perekonomian global, dan IMF siap untuk menurunkan prospek ekonomi global untuk tahun 2022 dan 2023.
Baca juga: Polisi Bawa Tiga Koper dari Rumah Irjen Sambo, Apa Isinya?
Baca juga: Satu Hektare Lahan di Aceh Besar Ludes Terbakar, Diduga Akibat Bakar Sampah Tanpa Pengawasan
Baca juga: Jessica Iskandar dan Vincent Verhaag Jadi Korban Penipuan, Rugi Rp9,8 Miliar, 11 Mobil Mewah Lenyap
Georgieva mengungkapkan perang di Ukraina telah memicu kenaikan harga bahan pangan dan energi yang dapat memperparah krisis biaya hidup dan mengancam 71 juta orang ke dalam kemiskinan.
"Negara-negara harus melakukan segala daya mereka untuk menurunkan inflasi yang tinggi, karena inflasi yang terus-menerus tinggi dapat menenggelamkan pemulihan dan lebih lanjut merusak standar hidup, terutama bagi yang rentan," ujar Georgieva, yang dikutip dari Reuters, Kamis (14/7/2022).
Dia menambahkan, konflik Rusia dan Ukraina telah meningkatkan kekhawatiran atas pasokan makanan dan energi serta mendorong risiko ketidakstabilan sosial.
Georgieva mengungkapkan, untuk menghindari kelaparan, kekurangan gizi dan migrasi, negara-negara kaya harus memberikan dukungan bagi mereka yang membutuhkan melalui pendanaan bilateral dan multirateral baru, serta menghentikan pembatasan ekspor pangan yang baru-baru ini terjadi,
Sebagian besar bank sentral juga perlu memperketat kebijakan moneter secara tegas, terutama di negara-negara dengan ekspektasi inflasi yang mulai menurun.
Georgieva menegaskan, negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi harus mengurangi ketergantungan pada pinjaman mata uang asing dan mengurangi pengeluaran fiskal guna meringankan beban pinjaman yang semakin mahal.
Selain itu menurut Georgieva, negara-negara berkembang dengan kewajiban valuta asing yang tinggi juga perlu mengurangi utang.
Dia mencatat sekitar 30 persen dari negara-negara berkembang dan 60 persen dari negara-negara berpenghasilan rendah saat ini dalam kondisi kesulitan membayar utang.
Terpisah, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah akan tetap waspada dengan adanya potensi resesi ekonomi Indonesia. Lantaran, kenaikan inflasi masih menjadi ancaman bagi Indonesia dan negara lainnya.
Baca juga: FKUB Aceh Tamiang Sepakat Tingkatkan Peran dan Fungsi untuk Jaga Kerukunan Umat
Baca juga: Anggota Bawaslu Ragukan Keamanan Kotak Suara untuk Pemilu 2024 karena Berbahan Kardus
Baca juga: Utang RI Tembus Rp 7.000 T, Apa yang Akan Dilakukan Sri Mulyani Agar Tak Bangkrut Seperti Sri Lanka?
Kendati demikian Menkeu meyakini kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih kuat dalam menghadapi guncangan global.
"Dalam 2 tahun ini kita diguncang berbagai hal, pandemi Covid-19, inflasi, disrupsi pasokan global, dan perang. Kita sudah belajar dari krisis lalu, semuanya memperkuat fondasi, sekarang kita jauh lebih prudent, resiliensinya lebih bagus," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Sofitel Nusa Dua, Bali.
Kata Menkeu, keadaan ekonomi dalam negeri cukup terjaga dengan baik ditandai dengan neraca pembayaran dan APBN yang baik. Tidak hanya itu korporasi dan konsumsi rumah tangga juga dalam kondisi yang baik.
"Kita relatif dalam situasi yang tadi disebutkan (survei Bloomberg) bahwa risikonya 3 persen dibandingkan negara lain yang berpotensi mengalami resesi," ujar Menkeu.
Menkeu mengatakan isu resesi masuk dalam pembahasan finance track yang mencakup perkembangan ekonomi global dan dinamika yang menyelimuti pemulihan, mulai naiknya harga energi, pangan, hingga risiko stagflasi.
"Agenda pertama akan sangat penting, isu aktual, yaitu perkembangan perekonomian global. Faktor-faktor kontribusi kinerja ekonomi global, baik IMF dan World Bank, OECD, kemungkinan revisi ke bawah, inflasi, harga pangan, harga energi, geopolitik, kita akan membahasnya semua di exit policy,"ujarnya.
Diketahui saat ini kondisi inflasi Indonesia berada pada kisaran 0,61 % (mtm) dan 4,35 % (yoy). Inflasi inti masih sebesar 2,63 % (yoy).(Tribun Network/bloomberg/far/kps/ktn/wly)