Jurnalisme Warga
Listrik Tenaga Angin Tampil di G20
G20 atau Group of Twenty adalah sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar dunia
Oleh Prof.Dr.APRIDAR, S.E., M.Si., Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh, melaporkan dari Nusa Dua, Bali
G20 atau Group of Twenty adalah sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia, terdiri atas 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa.
Pertemuan dilakukan secara bergilir setiap tahunnya.
Pada tahun 2022 pertemuan dilaksanakan di Nusa Dua Bali, Indonesia, tanggal 13 sampai dengan 17 Juli.
Ajang pertemuan yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi tersebut mendapat perhatian yang sangat luar biasa.
Berbagai rangkaian aktivitas dilakukan dalam forum internasional tersebut, dengan harapan adanya pencerahan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan ekonominya.
Pada pertemuan kali ini, kami merasa sangat terhormat karena diberi kesempatan mengikuti ajang yang sangat penting bagi bangsa Indonesia ini.
Undangan yang kami terima sebagai peserta Join Seminar Bank Indonesia (BI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Keluarga Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (Kafegama), yaitu Seminar on Strategic in G20 “Innovation and Regulatory on Digital Finance” di Nusa Dua Convention Center Bali tersebut, juga diberi fasilitas transportasi serta akomodasi di Mercure Hotels yang sangat nyaman.
Sehingga, kami dapat mengikuti berbagai agenda, termasuk meninjau pameran berbagai inovasi.
Yang menjadi perhatian banyak peserta, yaitu pameran Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB) merupakan energi yang sangat ramah lingkungan, menjadi andalan bagi negara maju untuk memenuhi kebutuhan energi bagi masyarakatnya.
Baca juga: Gubernur BI Ingatkan Anggota G20 Atasi Risiko Eksklusi Keuangan
Baca juga: Bangun Ekonomi Berkelanjutan, G20 Terus Kembangkan Blue, Green, dan Circular Economy
Belanda merupakan negeri yang sangat konsisten memanfaatkan anugerah dari Allah Swt untuk kebutuhan listrik bangsanya sehingga mereka juga disebut sebagai Negeri Kincir Angin.
Bila kita telusuri ke berbagai negara di Eropa, ternyata hampir semua memanfaatkan potensi angin untuk diubah dengan kincir yang dipasang turbin untuk memperoleh energi listrik yang akan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyatnya.
Energi yang sangat ramah lingkungan tersebut, selain menekan kerusakan lingkungan juga dapat menekan tingkat kebisingan yang membuat banyak orang mengalami stres.
Energi yang telah digunakan berbagai negara maju tersebut, sepertinya masih belum banyak dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia yang memiliki sumber angin hampir di semua tempat.
Sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan, mereka membangun 30 turbin atau kincir angin sehingga memperoleh energi listrik 78,75 Megawatt (MW).
Dari energi listrik yang diperoleh dapat menerangi 70.000 rumah, di mana setiap rumah rata-rata mengonsumsi listrik 900 kWh.
Energi listrik yang diperoleh dari PLTB juga dapat terhubung dengan Interkoneksi Jaringan Kelistrikan Sidrap-Maros Sulbangsel sebanyak 150 kV.
Pemanfaatan lahan pribadi dan kehutanan di daerah tersebut menjadikan daerah yang dahunya hutan belantara, menjadi tumbuh berbagai aktivitas ekonomi di seputaran pabrik tersebut.
Namun, pembangkit listrik tenaga angin tersebut aktivitasnya terasa adem dikarenakan tidak bising.
Dengan modal yang relatif tidak terlalu mahal, yaitu sekitar US$ 150 juta pembangkit listrik tersebut sudah dapat berjalan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Operasi dan pemeliharaan dilakukan oleh UPC Renewables, di mana pembagian kerja untuk pemeliharaan turbin dilakukan oleh Siemens Gamesa dan entitas lokal UPC berperan sebagai subkontraktor Siemens Gamesa.
Untuk pabrik turbin Siemens Gamesa G114 dapat menghasilkan 2,625 MW di mana menara yang dibangun tingginya 80 meter.
Kecepatan angin yang terjadi secara rata-rata selama 12 bulan yaitu 6,62m per detik.
Setelah dihitung terjadi pengurangan emisi setara dengan 155 ribu ton CO2 setiap tahunnya.
Efek dari pencemaran udara yang berasal dari emisi yang sangat berbahaya terhadap keberlangsungan hidup manusia di muka Bumi ini, merupakan tanggung jawab manusia yang hidup sekarang ini bagi penerus bangsa.
Sehingga, rasa kepedulian inilah yang menjadikan konter pameran UPC Renewabbles banyak dikunjungi peserta G20 Nusa Dua Indonesia.
Berdasarkan perhitungan evaluasi proyek atau kelayakan usaha, PLTB yang diperkirakan turbin tersebut umur ekonominya 30 tahun lebih, sehingga untuk jangka panjang sangat layak untuk diterapkan di Indonesia.
Kehadiran kincir angin di berbagai tempat yang telah dipasang, tidak ada yang merusak pemandangan.
Bahkan tempat-tempat yang telah ada turbin kincir angin, menjadikan daerah tersebut memperoleh perhatian masyarakat serta dapat meningkatkan kunjungan masyarakat yang juga bagian dari ketertarikan para wisatawan.
Aceh yang memiliki kecepatan angin rata-rata di atas 7 meter per detik, seharusnya lebih dahulu membuka PLTB baik di Dataran Tinggi Gayo maupun di sepanjang pantai timur dan barat selatan Aceh.
Anugerah yang begitu melimpah Allah berikan bagi masyarakat Aceh, seharusnya lebih memilih membangun pembangkit listrik yang memang sangat ramah lingkungan tersebut.
Seharusnya potensi gas alam dan minyak bumi yang terkandung di Bumi Serambi Makkah tersebut dijadikan sebagai simpanan energi bagi anak cucu pelanjut kepemimpinan ke depan.
Sebagaimana yang kita pahami, di bumi Amerika, Eropa, dan Australia juga memiliki banyak minyak dan gas alam, tapi mereka tidak pernah menyentuhnya.
Penguasaan teknologi canggih yang mampu menyedot berbagai sumber daya di dalam bumi, selalu mereka praktikkan pada bangsa-bangsa lain khususnya yang minim pengetahuan terhadap kemampuan tersebut.
Bahkan mereka mampu menyedot isi bumi yang begitu banyak dalam waktu singkat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh perusahaan ExxonMobil di Arun Aceh dan berbagai daerah di Indonesia.
Saatnya masyarakat Aceh terbuka mata, untuk lebih berpihak pada pemanfaatan energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Libido dan nafsu untuk menguras hasil bumi Aceh yang begitu melimpah, seharusnya lebih diarahkan kepada pemanfaatan energi yang dapat diperbarui.
Bila nanti masih kurang untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat, baru diarahkan pada energi yang tidak dapat diperbarui secara bertahap.
Pemihakan yang lebih mengedepankan kepentinggan jangka panjang, merupakan tindakan bijak untuk menyelamatkan generasi depan yang lebih penting dilakukan.
Perilaku rakus dalam menguras energi secara berlebihan, tentu masuk dalam kategori manusia merusak bumi yang telah Allah ciptakan dengan sempurna bagi makhluk.
Walaupun manusia tamak tersebut selalu mengatakan ia tidak merusak bumi ini, justru ia beralasan termasuk orang yang memelihara bumi ini.
Hatinya telah ditutup terhadap kebajikan akibat dari banyaknya dosa yang dilakukan.
Sehingga, orang-orang tersebut tidak pantas sebagi pengelola bangsa dan negara yang telah diciptakan dengan indah dan damai.
Inovasi yang ditampilkan pada forum G20 hendaknya dapat dijadikan pencerahan bagi Aceh untuk diterapkan, sebagai bagian dari langkah konkret dalam memperbaiki daerah yang telah menuju kepada kerusakan lingkungan yang parah.
Berbagai tambang ilegal yang telah benar-benar merusak lingkungan sehingga kita sering mendapat musibah banjir bandang, sawah dan kebun kekeringan, serta berbagai musibah terjadi seharusnya dijadikan pembelajaran.
Semoga pemihakan kepada pemelihara lingkungan yang baik, dapat kita jadikan sebagai bagian dari tobat serta rasa syukur atas nikmat yang luar bisa Allah curahkan bagi hamba-Nya.
Segala kabajikan yang dilakukan oleh setiap umat manusia tentu akan memperoleh ganjaran yang baik di dunia maupun di akhirat.
Baca juga: Cita Rasa KTT G20 di Bali Akan Berbeda dengan KTT G7 dan NATO di Eropa Tentang Perang Ukraina
Baca juga: Presidensi G20 Indonesia Diharapkan Hasilkan Kerja Sama yang Mendukung Pemulihan Ekonomi Global